Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bambang DH Pentolan BSH Ahok, dan “Penulis Skenario” Bu Risma ke DKI

25 Agustus 2016   19:38 Diperbarui: 25 Agustus 2016   19:45 6448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisnu Sakti Buana dan Bambang DH (Kompas.com)


Pada April – Mei 2016 beredar berbagai poster dan spanduk di beberapa kawasan di Jakarta, juga viral di media sosial suara-suara dukungan kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Bu Risma) untuk maju di pilgub DKI Jakarta 2017.

Waktu itu ada yang curiga bahwa yang berada di belakang aksi tersebut adalah pelaksana tugas (plt) Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Bambang DH. Karena sebenarnya sudah merupakan rahasia umum bahwa dia bersama dengan kader-kader PDIP Surabaya dan Jawa Timur memang sudah lama ingin menyingkirkan Bu Risma dari kursi kekuasaannya di Surabaya, demi menaikkan wakilnya, Wisnu Sakti Buana sebagai Wali Kota Surabaya, dan demi bisa mengusungkan jago mereka kelak di pilgub Jawa Timur 2018.

Beberapa kader di PDIP DKI, terutama yang di DPRD DKI, yang bergabung dengan Bambang DH pun tentu punya kepentingannya sendiri yang klop dengan kepentingan Bambang dan kawan-kawannya itu, yakni menyingkirkan Ahok. Kebetulan, Bambang pun diam-diam punya dendam kepada Ahok.

Tetapi, ketika hal itu dikonfirmasikan kepadanya, Bambang menyangkal. Dia bahkan menyindir bahwa dia tahu, siapa sebenarnya yang berada di belakang aksi tersebut, yaitu orang yang sebenarnya berambisi menjadi gubernur DKI Jakarta, tetapi tidak mau berterus terang, dengan meminjam tangan orang lain melakukan aksi-aksi tersebut.

Sindiran tersebut jelas ditujukan kepada Bu Risma.

Jadi, di sini bertemulah kepentingan dari tiga kelompok: DPC PDIP Surabaya, DPD PDIP Jawa Timur, dan DPD DKI Jakarta. Mereka punya kepentingan-kpentingan masing-masing yang saling mengisi, yaitu menyingkirkan Bu Risma dari Surabaya dan Jawa Timur, “dibuang” ke Jakarta; dan di Jakarta, menyingkirkan Ahok dari kursi DKI-1.

Bambang DH Menolak Ahok

Pada 31 Juli 2016, memanfaatkan acara pelantikan kader di Kantor DPD PDIP DKI, Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan, Bambang DH memprovokasi kader-kader PDIP DKI yang hadir untuk bersama-sama dia melakukan deklarasi menolak Ahok sebagai calon petahana gubernur DKI Jakarta.

Pada kesempatanitu Bambang berseru kepada para kader PDIP DKI itu untuk tidak takut menyuarakan penolakan terhadap Ahok di bawah komandonya, karena ia siap pasang badan, bertanggung jawab sepenuhnya atas aksi penolakan tersebut, termasuk jika atas tindakannya itu dipecat dari PDIP.

Saat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mulai mengarahkan sinyalnya untuk mendukung Ahok-Djarot sebagai pasangan calon petahana, pada 16 Agustus 2016 muncullah video di YouTube yang memperlihatkan segelintir kader PDIP DKI Jakarta, di dalamnya termasuk Bambang DH sendiri, Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi, Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPD PDIP DKI Jakarta Gembong Warsono, dan anggota DPRD DKI Jakarta Merry Hotma. Mereka menyanyikan yel-yel “Ahok pasti tumbang. Ahok pasti tumbang, ...”


Lokasi dan waktu pengambilan video tersebut di Kantor DPD PDIP DKI Jakarta, pada 31 Juli 2016 tersebut di atas.

Patut diduga pihak yang mengunggah video tersebut adalah dari mereka juga, terkait dengan semakin kuatnya sinyal keputusan Megawati bahwa PDIP mengusung Ahok. Maksud mereka dengan menyebarkan video tersebut bisa mempengaruhi keputusan Megawati, agar tidak jadi memutuskan PDIP mengusung Ahok.

Prasetyo Edi Marsudi dan kawan-kawannya di DPRD DKI Jakarta berkepentingan menyingkirkan Ahok dari kursi DKI-1, karena selama Ahok yang mendudukinya, mereka merasa sangat terkekang, diduga karena tidak bisa lagi bermain anggaran, dan “permainan” lain sejenisnya seperti pada kasus suap reklamasi yang telah memakan korban salah satu pentolan mereka, M Sanusi yang kini masuk tahanan KPK, dan saat tulisan ini dibuat sedang dalam proses persidangan di pengadilan Tipikor Jakarta.

Kasus suap reklamasi itu berpotensi akan menyeret beberapa lagi nama anggota DPRD DKI, termasuk dan terutama Prasetyo sendiri dan rekannya M taufik dari Partai Gerindra. Karena nama mereka beberapkali disebut terlibat, di persidangan Sanusi itu.

Kalau Ahok menjadi gubernur di tahun 2017 sampai lima tahun ke depan lagi, bisa dibayangkan bagaimana sengsaranya mereka menjadi anggota DPRD DKI Jakarta, karena hanya bisa mengandalkan gaji resmi dari negara, tidak bisa cari “ceperan” untuk makan lobster, misalnya.

Pada Senin, 8 Agustus 2016, Bambang DH melanjutkan aksinya dengan lagi-lagi mengatasnamakan PDIP DKI menggagaskan dibentuknya koalisi yang terdiri dari 7 parpol (PDIP, Gerindra, PKS, PPP, PKB, Demokrat, dan PAN) dengan nama “Koalisi Kekeluargaan.”

Walaupun tak mengakuinya secara terus-terang, jelaslah bahwa koalisi tujuh parpol itu sengaja dibentuk untuk melawan Ahok.

Yang paling bersemangat dan menonjol di antara para tokoh koalisi tersebut lagi-lagi Bambang DH. Kepada wartawan, dia mengatakan bahwa koalisi tersebut telah bersepakat menetapkan 7 kriteria mutlak orang yang layak memimpin DKI Jakarta, yaitu: arif, bijaksana, beradab, santun, beretika, bersih dan cerdas.

Kriteria “beradab”, “santun”, dan “beretika” jelas sengaja dimasukkan karena mereka beranggapan Ahok adalah tipe pimpinan yang tidak mempunyai kriteria itu.

Koalisi tersebut juga merupakan koalisi yang dipaksakan dan aneh tapi nyata, karena normalnya parpol-parpol itu sebelumnya sudah mempunyai bakal calon gubernur yang sama terlebih dulu barulah mereka berkoalisi. Bukan sebaliknya, melakukan koalisi “kucing dalam karung”, setelah itu baru ketujuhnya mencari-cari satu bakal calon gubernur mereka. Ini hanyalah “koalisi-koalisian” yang dibentuk khusus untuk melawan Ahok, atau dapat juga disebut “koalisi asal-bukan-Ajok”.

Maka itu, saya yakin, koalisi kekeluargaan ini bukan keluarga yang harmonis, mereka akan segera bercerai.

Aksi dan kegaduhan yang dibuat Bambang DH memaksa DPP PDIP bereaksi.

Sekjen PDIP Hasto Krityanto segera melakukan klarifikasi, ia menegaskan bahwa meskipun Megawati memberi keleluasan bagi para kader untuk membangun kerjasama dengan partai politik lain, tetapi mengenai Bambang DH yang mengatasnamakan PDIP bergabung di Koalisi Kekeluargaan itu tidak sepengetahuan dan bukan merupakan instruksi dari Megawati (sumber).

Kenapa Bambang DH Begitu Membenci Ahok?

Pertanyannya sekarang: Kenapa Bambang begitu membenci Ahok, dan ingin menyingkirkannya, sekaligus ingin Bu Risma hijrah dari Surabaya ke DKI Jakarta?

Bambang DH sebelumnya ada di barisan pendukung Ahok, ia bahkan sempat senang sekali ketika di akhir tahun 2013 Ahok mewacanakan akan memilih dia sebagai wakil gubernurnya jika Jokowi nyapres dan menang.

Ketika itu meskipun masih wacana, Bambang sudah sangat optimis dan senang bahwa ia akan dipilih Ahok sebagai wakil gubernur DKI Jakarta menggantikan posisi Ahok yang naik menjadi gubernur, karena Jokowi menjadi Presiden.

Ketika ditanya wartawan, Bambang dengan ceria mengatakan, ia sudah dihubungi beberapakali oleh Ahok mengenai wacana tersebut, dan ia sudah menyatakan bersedia, meskipun harus menunggu persetujuan dari PDIP terlebih dahulu.

Namun, ketika Jokowi benar-benar menjadi Presiden, dan Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok malah mencoret nama Bambang DH sebagai calon wakil gubernurnya, karena Ahok baru tahu, ternyata Bambang masih berstatus tersangka kasus gratifikasi di Polda Jawa Timur.

Status tersangka Bambang itu ditetapkan oleh Polda Jawa Timur pada 27 November 2013, ia disangka terlibat dalam kasus suap jasa pungut sebesar Rp 720 juta dari DPRD Surabaya saat menjadi Walikota Surabaya.

Sejak 27 November 2013 sampai dengan 4 Februari 2016 berkas kasus itu sudah bolak-balik antara Polda Jawa Timur dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sebanyak tujuh kali. KPK pun sebenarnya sudah turun tangan melakukan supervisi di antara kedua instansi penegak hukum di Jawa Timur itu, tapi belum juga tuntas.

Pernyataan Ahok bahwa ia tidak jadi memilih Bambang DH karena yang bersangkutan ternyata masih dalam status tersangka kasus gratifikasi di Jawa Timur itu disampiakna Ahok pada 28 November 2014.

Ahok akhirnya memilih dan direstui oleh PDIP: mantan Wali Kota Blitar, Djarot Saiful Hidayat, yang sampai hari ini mendampingi Ahok, dan kemungkinan besar akan diusung kembali oleh PDIP untuk pilgub DKI 2017.

Diduga, itulah sebabnya yang membuat Bambang DH yang semula adalah pendukung Ahok berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi seorang pembenci Ahok nomor wahid, menjadi salah satu pentolan BSH Ahok.

Ia menderita sakit hati luar biasa kepada Ahok, ketika Ahok mengingatkan publik bahwa dia masih berstatus tersangka penerima gratifikasi, ia merasa pernyatan Ahok sebelumnya bahwa akan memilihnya sebagai wakil gubernur DKI Jakarta itu ternyata hanya PHP dari Ahok. Ia merasa diperdayai dan dipermalui Ahok. Tanpa mau tahu dengan alasan Ahok yang memang demikianlah keadaanya, yaitu bahwa dia masih dalam status tersangka kasus gratifikasi oleh Polda Jawa Timur, yang masih disandangnya sampai hari ini.

Sejak saat itu diduga Bambang DH ingin membalas sakit hatinya kepada Ahok, tetapi belum tahu bagaimana caranya. Sampai datanglah momen pilgub DKI 2017 itu.

Terbukalah peluang untuk membalas rasa sakit hati itu dengan cara menggalang kekuatan sepenuhnya di PDIP, terutama PDIP DKI untuk menolak Ahok untuk dipilih kembali sebagai gubernur DKI Jakarta. Jabatannya sebagai Ketua DPD PDIP DKI Jakarta (meskipun hanya plt.) dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memenuhi hasrat pribadinya itu.

Agar kekuatan menolak itu semakin kuat, Bambang merasa perlu diadakan juga kolaborasi kekuatan dengan parpol-parpol lain. Maka itulah yang dilakukan oleh Bambang DH ketika membawa PDIP DKI membentuk koalisi kekeluargaan yang aneh bin ajaib itu.

Lalu, ketika para lawan politik Ahok sedang mencari-cari lawan Ahok yang sepandan, muncullah ide untuk membawa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ke DKI Jakarta untuk dicalonkan sebagai calon gubernur DKI melawan Ahok.

Kebetulan sekali, Bambang DH juga termasuk dari kelompok PDIP Surabaya yang tempo hari menolak keras Bu Risma untuk maju lagi di pilwali Surabaya 2015 (periode kedua), karena yang mereka inginkan adalah Wisnu Sakti Buana-lah yang maju.

Wisnu Sakti Buana, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Wali Kota Surabaya adalah putra bungsu sesepuh PDIP, Sutjipto (alm.). Sedangkan Bambang DH adalah anak didik setia Sutjipto ketika tokoh itu masih hidup. Maka itu ia pun sangat ingin mewujudkan ambisi besar Wisnu untuk menjadi Wali Kota Surabaya.

Ambisi mereka itu “terhalang” dengan adanya Bu Risma, yang didukung oleh mayoritas warga Surabaya. Oleh karena itu penghalang yang bernama Bu Risma itu harus disingkirkan, dengan cara apapun.

Latar Belakang Hubungan Bambang DH-Bu Risma-Wisnu Sakti Buana

Bambang Dwi Hartono (DH) adalah Wakil Wali Kota Surabaya, saat Wali Kota-nya dijabat oleh Soenarto Soemoprawiro, dengan masa jabatan 2002-2005. Namun karena menderita sakit serius yang berkepanjangan, pada 16 Januari 2002 DPRD Surabaya memberhentikan Soenarto dari jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya, dan Bambang DH menjadi pelaksana tugas (plt) Wali Kota Surabaya sampai dengan 10 Juni 2002. Soenarto sendiri akhirnya meninggal dunia di Australia karena sakitnya itu pada 17 Februari 2003.

Pada 10 Juni 2002 Bambang dilantik sebagai Wali Kota Surabaya definitf sampai habis masa jabatannya pada 7 Maret 2005.

Pada pilwali Surabaya 2005, Bambang yang berpasangan dengan Arif Affandi terpilih sebagai Wali Kota Surabaya untuk masa jabatan 31 Agustus 2005 – 31 Agustus 2010.

Selesai masa jabatannya itu, PDIP masih berkeinginan untuk mencalonkan kembali Bambang sebagai Wali Kota Surabaya 2010-2015, tetapi ditolak KPU, karena dianggap Bambang sudah menjabat untuk dua periode. Sesuai dengan ketentuan UU Pilkada, seseorang maksimal hanya boleh menjabat sebagai kepala daerah sebanyak dua kali.

Namun PDIP dan Bambang beranggapan bahwa seharusnya periode pertama di mana Bambang menggantikan Soenarto tidak dihitung sebagai satu periode buat Bambang, mereka pun mengajukan uji materi ketentuan Undang-Undang Pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya permohonan mereka itu ditolak MK.

Maka, PDIP pun terpaksa mencari pengganti Bambang.

Alternatif calon wali kota Surabaya pengganti Bambang yang menguat ketika itu adalah Ketua DPC PDIP Surabaya Wisnu Sakti Buana dan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bapeko) Surabaya Tri Rismaharini (Bu Risma).

DPC PDIP Surabaya mendukung ketuanya: Wisnu Sakti Buana, tetapi meskipun saat itu bukan kader PDIP, tetapi karena kinerjanya sebagai Bapeko dinilai sangat memuaskan dalam menata kota Surabaya, DPP PDIP (Megawati) lebih memilih Tri Rismaharini.

Demi bisa tetap bisa menjabat di level setinggi mungkin di Kota Surabaya, tak bisa lagi menjadi wali kota, Bambang pun rela turun levelnya menjadi calon wakil wali kota mendampingi Bu Risma.

Kerelaan Bambang yang dari semula wali kota menjadi wakil wali kota, yang sebelumnya adalah atasan Bu Risma menjadi bawahan Bu Risma tersebut bagi saya merupakan sesuatu yang unik, yang memberi kesan Bambang adalah seorang yang haus kekuasaan. Tentang ini pernah saya tulis di Kompasiana, 9 Desember 2009, dengan judul: Pertama Kali Terjadi di Dunia?

Risma-Bambang terpilih sebagai Walikota/Wakil WaliKota Surabaya untuk periode  28 September2010 – 28 September 2015. 

Sejak gagal dicalonkan sebagai wali kota Surabaya,karena partainya lebih memilih Bu Risma, diam-diam Wisnu dan para pendukungnyamenaruh dengki dan sakit hati kepada Bu Risma.

Upaya Pertama Melengserkan Bu Risma

Setelah dilantik, tiga bulan kemudian (Desember 2010) Bu Risma berencana mengadakan mutasi besar-besaran di Pemkot Surabaya.

Sebagai Ketua DPC PDIP Surabaya Wisnu Sakti Buana menggunakan kesempatan itu untuk mengajukan sejumlah nama dalam sebuah daftar yang cukup panjang kepada Bu Risma. Nama-nama itu adalah mereka di jajaran kelurahan dan camat yang dianggap Wisnu berjasa memenangkan PDIP dalam Pemilu 2009, juga beberapa orang dekatnya, direkomendasikan agar dipromosikan oleh Bu Risma. Ada pula nama-nama yang dianggap merugikan PDIP direkomendasikan untuk disingkirkan.

Bu Risma tidak menganggap daftar nama yang dibuat Wisnu itu. Yang dilakukan Ibu Risma adalah berdasarkan pengamatan dan penilaiannya sendiri, dia melakukan promosi dan mutasi itu. Akibatnya banyak nama yang direkomendasi Wisnu untuk dipromosilkan, malah disingkirkan. Sebaliknya, yang direkomendasikan disingkirikan, ada yang dipromosikan.

Wisnu semakin dendam kepada Bu Risma.

Kesempatan melampiaskan dendam itu terbuka, ketika Januari 2011 Bu Risma menerbitkan Perda yang menaikkan secara drastis pajak reklame ukuran besar (billboard). Perda yang sejatinya merupakan kebijakan seorang kepala daerah itu dijadikan masalah besar oleh DPRD Surabaya di bawah komando Wisnu Sakti Buana.

Wisnu mengajak Ketua DPC Partai Demokrat Ali Wardhana untuk menggalang kekuatan di DPRD Surabaya, mengadakan sidang paripurna untuk memaksa Bu Risma menurunkan kembali tarif pajak reklame tersebut, tetapi Bu Risma menolaknya.

Hak Angket pun digunakan DPRD Surabaya dengan maksud ingin melengserkan Bu Risma.

Hasilnya, DPRD Surabaya sepakat memutuskan Bu Risma bersalah karena telah menyalahgunakan wewewenangnya dengan menaikkan pajak reklame ukuran besar tersebut secara drastis, merugikan dan membuat resah dunia investasi, khususnya para pengusaha reklame di Surabaya.

Kegaduhan pun terjadi antara DPRD Surabaya di bawah komando Wisnu Sakti Buana melawan Wali Kota Bu Risma. Masyarakat Surabaya pun turun ke jalan menyampaikan pernyataan sikapnya: menolak pelengseran Bu Risma, dan siap membela Bu Risma apapun terjadi. Suasana semakin panas, memaksa DPP PDIP dan DPP Demokrat turun tangan, memerintahkan ketua DPC-nya masing-masing agar menghentikan manuver politik mereka yang hendak melengserkan Bu Risma tersebut.

Upaya pertama melengserkan Bu Risma pun gagal.

Menaikkan pajak reklame besar oleh Bu Risma yang dijadikan alasan DPRD Surabaya untuk melengserkan Bu Risma itu tentu saja alasan yang terlalu mengada-ada, di balik itu sebenarnya ada alasan yang sebenarnya yaitu penolakan Bu Risma membangun jalan tol dalam kota sepanjang 25 kilometer, dengan alasan malah akan membuat Surabaya tambah macet, merusak estetika kota, dan akan banyak rakyat yang dikorbankan karena harus digusur dari tanahnya.

Prinsip Bu Risma untuk tidak membangun jalan tol tengah kota di Surabaya masih bertahan sampai sekarang.

Merekayasa Wisnu Sakti Buana Menjadi Wakil Wali Kota Surabaya

Sementara itu, Bambang DH tidak bertahan lama di kursi Wakil Wali Kota-nya. Pada 14 Juni 2013 dia mengundurkan diri, karena akan mengikuti pilgub Jawa Timur berpasangan dengan Said Abdullah. Ambisi Bambang menjadi gubernur Jawa Timur kandas, karena mereka dikalahkan oleh pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf.

Mundurnya Bambang DH sempat membuat kursi wakil wali kota Surabaya kosong selama 6 bulan. Wisnu yang masih berambisi besar menjadi wali kota Surabaya pun mengincarnya, padahal Bu Risma tidak menghendakinya, dan terutama karena bukankah ia pernah menjadi motor utama upaya pelengseran Bu Risma di DPRD Surabaya. Demi mencapai ambisinya itu Wisnu pun pura-pura tidak tahu dan pura-pura lupa.

Sekuat apapun Bu Risma, ternyata ia tak berdaya ketika dikeroyok oleh DPC PDIP Surabaya, DPRD Surabaya, dan juga Gubernur Jawa Timur.

Berkat sokongan dari Bambang DH dan kader-kader PDIP Surabaya dan Jawa Timur, dan melalui rekayasa, intrik politik beraroma uang suap, serta campur tangan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, penolakan Bu Risma, dan ganjilnya proses pelantikan, akhirnya Wisnu Sakti Buana berhasil dilantik DPRD Surabaya sebagai Wakil Wali Kota Surabaya, pada 24 Januari 2014.

Yang dimaksud dengan keganjilan di pelantikan Wisnu tersebut adalah sebenarnya Wisnu sendiri dan DPRD Surabaya tahu bahwa antara Bu Risma dengan Wisnu sama sekali tidak ada kecocokan, bahkan Wisnu adalah tokoh pentingyang pernah mencoba melengserkan Bu Risma dari jabatan Wali Kota-nya, pengangkatan dan pelantikan Wisnu itu juga tanpa sepengetahuan dan persetujuan Bu Risma yang berarti menyalahi PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (selengkapnya baca artikel saya tentang intrik politik itu di sini).

Ketika Wisnu dilantik pun Bu Risma tidak menghadirni acara pelantikan itu. Meskipun alasan resminya sakit, publik pun tahu alasan sebenarnya Bu Risma adalah karena sesungguhnya ia tidak suka Wisnu dijadikan wakilnya, bukan hanya karena Wisnu pernah mencoba melengserkannya, tetapi juga terdapat perbedaan gaya kepimpinan, visi dan misi yang sangat signifikan di antara keduanya.

Bu Risma menolak pembangunan jalan tol tengah kota di Surabaya, sebaliknya Wisnu sangat mendukung. Bahkan setelah menjadi wakilnya Bu Risma pun Wisnu masih berani bersuara keras menentang kebijakan Bu Risma tersebut.

"Terserah, mau dibuat di bawah tanah biar tidak kelihatan atau ditinggikan setinggi langit. Yang penting, tol harus ada," katanya Wisnu saat diwawancara Majalah Tempo. "Kalau enggak, ya, ubah Surabaya dari kota niaga menjadi kota wisata saja." (Tempo, 17/02/2014).

Demikian juga ketika Bu Risma sudah berketetapan membongkar pusat prostitusi Dolly, Wisnu kepada wartawan juga secara terang-terangan mengritik keras kebijakan Bu Risma itu. Seolah-olah dia oposisinya Bu Risma, bukan wakilnya Bu Risma (baca artikel saya di sini).

Upaya Kedua: Menyingkirkan Bu Risma

Dikarenakan adanya perubahan sistem pilkada menjadi pilkada serentak, maka pilwali Surabaya yang semula dijadwalkan Juni 2015, diundur sampai dengan 9 Desember 2015. Sedangkan masa jabatan Bu Risma bersama Wisnu berakhir pada 28 September 2015. Untuk mengisi kekosongan kursi Wali Kota Surabaya, Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk Kepala Inspektorat Jawa Timur Nurwiyatno sebagai pejabat sementara (Pjs) Wali Kota Surabaya.

Namun demikian persiapan menjelang pilwali Surabaya 2015 itu pun sudah dimulai, dan sekali lagi bermunculanlah musuh-musuh lama Bu Risma, yaitu mereka yang tempo hari berkeinginan kuat untuk melengserkannya dari jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kader-kader PDIP Surabaya sendiri, pendukung setia Wisnu Sakti Buana, dan Bambang DH.

Kali ini strateginya adalah menyusun beberapa skenario untuk bisa menyingkirkan Bu Risma, dengan aksi-aksi penolakan terhadap Bu Risma, sebelum dia dicalonkan kembali menjadi Wali Kota Surabaya periode 2015-2020, dan mengusung Wisnu Sakti Buana.

Upaya itu antara lain diwujudkan oleh DPC PDIP Kota Surabaya yang ketuanya masih Wisnu Sakti Buana juga dengan menggelar rapat kerja cabang (Rakercab) pada Minggu, 15 Maret 2015 dengan agenda menyolidkan dukungan partai untuk mengusung kadernya sendiri, dan menolak keras bakal calon yang bukan merupakan kader PDIP. Ketika itu Bu Risma belum masuk menjadi anggota PDIP (sumber).

Agenda Tersembunyi di Balik Skenario “Bu Risma ke DKI”

Siapa lagi yang dimaksud dengan mengusung kader sendiri kalau bukan Wisnu Sakti Buana, dan siapa lagi yang dimaksud dengan menolak dengan keras bakal yang bukan kader partai, kalau bukan Bu Risma?

Padahal, seminggu sebelumnya Wisnu sendiri mengatakan bahwa mekanisme penentuan calon itu berdasarkan rekomendasi dan penetapan DPP PDIP. Dalam hal ini yang memutuskan adalah Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum partai.

Strategi DPD PDIP DKI Jakarta di bawah komando Bambang DH terhadap Ahok sekarang mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh DPC PDIP ketika hendak menyingkirkan Bu Risma dari bursa pilwali Surabaya 2015, yaitu dengan melakukan gerakan menolak Bu Risma oleh DPC PDIP Surabaya.

Dua upaya yang sama-sama melangkahi keputusan DPP PDIP dalam hal ini Megawati Soekarnoputri.

Kenapa bisa strategi menyingkirkan Bu Risma di Surabaya dahulu itu bisa mirip dengan strategi menyingkirkan Ahok di DKI Jakarta sekarang? Bisa jadi karena di belakang dua upaya tersebut terdapat penulis-penulis skenario yang sama. Mereka jugalah yang kini menjadi penulis skenario di belakang layar wacana PDIP mengusung Bu Risma di pilgub DKI 2017.

Ada agenda tersembunyi di balik skenario mendorong PDIP untuk mengusung Bu Risma melawan Ahok di pilgub DKI 2017, yang jika berhasil diwujudkan, mereka memperoleh keuntungan berlipat ganda, tak perduli Bu Risma menang atau pun kalah di pilgub DKI itu. Yang terpenting adalah sukses menyingkirkan Bu Risma dari Surabaya, dan Jawa Timur, agenda mereka sukses.

Jika PDIP jadi mengusung Bu Risma ke Jakarta, maka berarti pesta pora bagi kubu DPC PDIP Surabaya, karena secara otomatis Wisnu Sakti Buana akan naik menggantikan Bu Risma menjadi Wali Kota Surabaya! Akhirnya ambisi besar dan cita-cita yang sudah lama dipendam itu pun tercapailah sudah tanpa harus bersusah payah melakukan apa pun.

Target berikutnya adalah pilgub Jawa Timur 2018. Jika Bu Risma masih berkuasa di Surabaya, maka dia berpeluang besar akan diusung DPP PDIP. Tetapi jika Bu Risma sudah tidak berkuasa lagi di Surabaya, maka peluang itu terbuka lebar bagi kandidat calon merekalah yang maju.

Cara Bambang Menolak Bu Risma, Kini Diulangi pada Ahok

Skenario pertama Bambang pernah dicoba ketika menjelang pilwali Surabaya 2015, sebagai Ketua Bappilu PDIP Surabaya, ia malah beberapakali membuat pernyataan tajam yang sangat memojokkan Bu Risma, intinya Bambang ingin menekankan pemahaman kepada warga Surabaya bahwa Bu Risma tidak layak lagi menjabat sebagai Wali Kota Surabaya untuk kedua kalinya.

Menjelang pilwali Surabaya 2015, pada 17 Agustus 2015, ketika menjadi inspektur upacara di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, Bambang membanding-bandingkan Rasiyo dengan Bu Risma.

Menurut dia, Rasiyo yang adalah kakak kelasnya di masa kuliah dan sahabat lamanya, merupakan sosok yang sangat santun, dekat dengan rakyat, mengayomi, tegas, berpengalaman dan tidak pernah marah, tak pernah punya pamrih dalam bekerja. Hal tersebut berbeda jauh dan bertolak belakang dengan Bu Risma yang sangat arogan.

Bambang bahkan membagi resep bagaimana bisa mengalahkan elektabilitas Bu Risma yang sangat tinggi. Kuncinya, kata Bambang adalah mampu memainkan peran media untuk memberikan informasi kepada rakyat sosok Rasiyo yang mengayomi yang sangat dirinduhkan oleh warga Surabaya (sumber).

Sebelumnya, pada September 2014, Bambang yang ketika itu adalah Wakil Ketua DPD PDIP Jawa Timur juga pernah membuat manuver penolakan terhadap Bu Risma, dengan membuat pernyataan yang mengdiskreditkan Bu Risma; yang disebutnya sebagai sosok yang arogan, temperamental, dan tidak berprestasi saat menjadi Wali Kota Surabaya.

Dalam sebuah wawancara, Bambang menyatakan bahwa selama menjadi Wali Kota Surabaya, Bu Risma tidak pernah menunjukkan prestasinya, tidak memberikan suatu hal yang baru di kota Surabaya, oleh karena itu dia mempersilakan Bu Risma mencari partai lain sebagai pengusung jika masih ingin maju. Sampai saat itu Bu Risma belum menjadi kader PDIP.

Pernyataan Bambang itu membuat Hasto Kristiyanto, ketika itu adalah Wakil Sekjen PDIP mengadakan klarifikasi kepada media. Menurut Hasto, pernyataan Bambang DH yang mengdiskreditkan Bu Risma itu bukan sikap resmi PDIP, melainkan hanya pendapat pribadi Bambang.

Bertolak belakang dengan pernyataan Bambang DH itu, Hasto mengatakan, sampai sejauh ini PDIP dan Megawati merasa puas dengan kinerja Bu Risma (sumber).

Terlihatlah ada persamaan pola manuver politik Bambang DH saat di Surabaya ketika melakukan manuver-manuver politik menolak Bu Risma dengan yang dilakukan juga di DKI Jakarta sekarang ketika menolak Ahok, sebagaimana diuraikan di atas.

Dari fakta-fakta dan ulasan tersebut di atas tampak pula latar belakang, motivasi, dan kepentngan politik pribadi yang sangat tinggi pada Bambang DH dan Wisnu Sakti Buana untuk mendorong Bu Risma ke Jakarta mengikuti pilgub DKI jakarta, dengan aksi Bambang DH menolak Ahok, yang sesungguhnya bertentangan dengan pandangan PDIP (Megawati) sendiri terhadap Bu Risma, maupun Ahok. *****

Artikel terkait:

Strategi Busuk di Balik Gerakan Mendorong Bu Risma Maju di Pilgub DKI Jakarta.

Lewat Drama Tekanan Politik kepada Bu Risma, Kita Bisa Menilai Mereka

Semoga Bu Risma Ingat Kisah Nabi Yunus

Wisnu Sakti Buana Wakil Walikota yang Oposan

Pertama Kali Terjadi di Dunia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun