“MATI KAU, TERORIS!” teriak salah satu ekstremis yang memukuli Ghulam, tak sadar diri bahwa merekalah teroris sebenarnya.
Pak Imran hanya bisa memukuli sekali ekstremis yang menghajar anaknya sebelum akhirnya dijadikan karung tinju oleh kumpulan ikat kepala saffron lainnya dan ditendang keluar masjid.
‘Berdarah’ takkan cukup untuk menjelaskan tragedi pembantaian itu, masjidnya dibakar bersama dengan beberapa korban yang terkapar lemah di dalamnya.
Pak Imran hanya bisa terduduk lemah di luar masjid setelah masjid itu menjadi abu. Namun, ia sempat melihat beberapa orang dengan serban hitam.
Tak usah menanyakan keadaan Aminah, ia bersimbah darah tanpa ada harapan hidup.
Ghulam jauh lebih parah lagi, ia mungkin sudah terbakar hidup-hidup di dalam masjid.
Tak ada yang bisa memadamkan api di masjid karena orang-orang yang membawa bak penuh air untuk memadamkan apinya menjadi korban batu bata dan batang kayu.
Orang-orang bersurban hitam yang dilihat Pak Imran adalah orang-orang Sikh, baru bisa keluar dan membantu setelah para ekstremis berikat kepala saffron pergi.
Salah satu tetua Sikh mulai menelepon ambulans. Setelah itu, ia meminta warga sekitar untuk mulai membantu para korban dengan memberi makan dan minum serta obat-obatan seadanya.
Ambulans datang, para petugas medis mulai menggotong korban-korban yang terluka parah, termasuk Ghulam dan Aminah. Pak Imran bersusah payah menaiki ambulans yang mengangkut Ghulam ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Pak Imran menunggu hasil pemeriksaan dokter. Pak Imran benar-benar berharap tak pernah mendengar hasil akhirnya beberapa menit kemudian.