“Ayo, serahkan uangnya, anak culun!” Awalnya, topik mereka adalah ‘uang’. Aminah hanya bisa menggelengkan kepala dan akhirnya mereka memulai ejekan baru untuknya.
“Kau mau parkir sepeda tua bangka itu di sini? Najis! Jijik, ah!” Timpal seorang gadis, para perundung tampaknya memiliki banyak sekali perhiasan. Dari kalung hingga gelang emas, tak ada yang tahu bagaimana mereka bisa menggunakan perhiasan di sekolah tanpa takut maling dan preman.
“Tahu, tuh. Sepeda karatan begitu kok dipelihara!” Ucap ‘pemimpin’ kelompok anak itu, dilihat dari rambutnya. Anak itu berambut panjang dan hitam sehitam hatinya sementara ketiga temannya memilih model rambut diikat ke belakang.
Ghulam tak mau lagi mendengar ucapan-ucapan lain dari mulut mereka dan langsung mengadukan pada petugas keamanan yang berdiri di dekat gerbang.
Begitu ia sampai di depan petugas keamanan dengan berlari, ia langsung menarik baju sang petugas sambil melambaikan kertas bertuliskan, “TOLONG!”. Awalnya sang petugas bingung dengan tingkah laku Ghulam, tetapi sang petugas akhirnya mengikuti Ghulam kembali ke parkiran sekolah.
Mereka melihat Aminah menangis dengan lutut terluka dan wajah lebam serta sepeda yang rusak. Para perundung telah berlari menuju lapangan sekolah untuk upacara bendera.
“Ada apa, nak?” Tanya sang petugas, “Mengapa kaki anak ini luka, ya?” Pikirnya. Pertanyaan yang sebenarnya dipikirkan adalah “mengapa lukanya seperti tersayat pisau”.
“A-Aminah mau p-parkir sepeda,” Aminah menangis sesenggukan sambil menahan sakit pada kakinya, “Mereka me-meminta uang dengan paksa” Ucapannya tersendat.
“Dipalak?” Aminah mengangguk begitu ditanya sang petugas, “Oleh siapa?” pertanyaan kedua dari petugas itu dijawab dengan kepala menggeleng tanda tak tahu.
Ghulam memberikan bahasa isyarat pada sang petugas, “Saya kurang tahu, Pak. Tetapi pelakunya ada empat orang dan mereka wanita, Pak,”
“Seperti apa ciri-ciri fisik mereka?” Jawaban sang petugas mungkin tenang, namun matanya menatap tajam pada Ghulam.