“Sebelum saya memberitahukannya, mungkin sebaiknya kita mengangkut dia bersama,” Ghulam memberi pesan isyarat sambil menunjuk ke dalam gedung sekolah, lebih tepatnya UKS.
“Oh ya, Bapak lupa. Kau benar, nak,” Sang petugas melihat sekeliling sebelum berbicara lagi, “Ayo kita angkat ia ke UKS,”
Aminah terbaring lemah di salah satu dari dua kasur UKS, Ghulam akhirnya tetap diizinkan ikut upacara bendera walau sempat ditanyakan oleh seorang guru mengenai keterlambatannya.
Setelah upacara selesai, Ghulam kembali berbicara dengan sang petugas. Ia menyebutkan apa saja yang ia tahu mengenai ciri fisik para perundung.
“Baik, jadi salah satu pelakunya berambut lurus dan hitam, ya?” Pak Khan, begitulah nama panggilan sang petugas, memegang jenggotnya. “Maaf jika jawaban terakhir Bapak mungkin tak memuaskan, tetapi kalian hanya bisa bertahan.”
Ghulam bingung, ia mengangkat bahunya tanda tak mengerti, untunglah Pak Khan paham maksudnya. “Sebenarnya, ada kenyataan pahit di sekolah-sekolah di seluruh negeri belakangan ini : sebagian besar sekolah di sini kadang tak menyadari atau bahkan tak peduli dengan kasus perundungan. Sekolah ini adalah salah satunya, walaupun ada peraturan yang melarang perundungan, kepala sekolah selalu mengacuhkan kasus-kasus perundungan dan beralasan bahwa perundungan adalah bagian dari tekanan hidup yang dapat memperkuat mental.”
Ghulam hanya bisa mengernyitkan dahi dan menghentakkan kakinya satu kali. Jika ia bisa berbicara, mungkin ia akan berteriak dan memaki dengan marah siapapun yang membiarkan dan melakukan perundungan di sekolah ini.
Aminah, sudah mulai sadar, segera memanggil Ghulam, “Ghulam, Aminah tak apa-apa,” Gadis itu tersenyum, “Aminah sudah biasa, kok,”
“Lalu, mengapa kau tadi menangis, Aminah?” Tanya Ghulam melalui buku tulis di tangannya.
“Aminah menahan sakit,” Dia masih mempertahankan senyumnya, “Dan Aminah tak menangis karena dirundung atau sepeda Aminah rusak, karena Aminah sudah terbiasa.”
“Maksudmu?” Ghulam menulis lagi.