Pak Imran melanjutkan penjelasannya, “Bu Hasanah sempat mengatakan bahwa Aminah sempat ingin.......mengakhiri hidupnya di kamarnya karena dirundung teman-teman kuliahnya. Bu Hasanah baru dapat menghentikan Aminah setelah beliau mengingatkannya padamu, Nak.”
Tanpa penjelasan panjang, Ghulam mengerti satu hal.
Aminah tak hanya menyukainya, namun menjadikan dirinya sebagai alasan hidup.
“Barulah dua hari kemudian, Aminah mengakui bahwa kau adalah satu-satunya orang selain Bu Hasanah yang berteman baik dan peduli dengannya.”
Pak Imran lalu mengambil kertas dan menulis sesuatu untuk Ghulam, “Terkadang, dampak dari berempati, walau bagimu kecil, bisa menjadi besar bagi orang yang membutuhkannya.”
Sayang, kisah empati dan cinta mereka berakhir maut di tangan para ekstrimis dan Pak Imran hanya bisa menangis. Sang Ayah selamat, anaknya tidak.
Ia bahkan tak tahu lagi apa yang akan dirasakan Bu Hasanah begitu tahu anak angkatnya meninggal dalam serangan ekstremis tersebut.
Cerpen ini terinspirasi dari konflik yang dihadapi Umat Islam di India.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H