“Sebentar, Ghulam. Dari mana Ayahmu tahu Aminah yatim piatu? Dan bagaimana Ayahmu membantu tetanggamu mencari yatim piatu?”
“Bapakku tak hanya seorang penyedia jasa sewa mobil, Bapak kadang bekerja sebagai supir taksi,” Tulis Ghulam, “Bapak kenal dekat dengan Pak Farhan, kau mungkin tahu Pak Farhan terkadang pergi menuju tempat rapat dengan taksi, bukan?”
“Nah, supir dari taksi langganan Pak Farhan adalah Bapakku, Aminah.” Ghulam tersenyum riang.
“Aminah belum paham, Ghulam,” Aminah memiringkan kepalanya, “Apa hubungannya?” Mungkin terdengar sedikit tak sopan, tetapi Aminah memang tak tahu banyak mengenai cara berbicara dengan orang di sekitarnya dan itu dapat dibuktikan dengan tidak terbiasanya ia menatap mata lawan bicara.
Ghulam dapat memaklumi itu, “Suatu hari, Pak Farhan memberitahu Bapak mengenai sekolah dan teman-temanku di sini, Aminah. Dari situlah Bapak tahu mengenai dirimu.” Itu adalah satu-satunya cara bagi Ghulam untuk menjelaskan secara singkat bagaimana Bapak Ghulam mengetahui Aminah.
Bapak Ghulam, supir taksi, kepala sekolah bernama Pak Farhan berlangganan taksi pada Bapak Ghulam, tetangga, panti asuhan.
Dari kata kunci itu, Aminah mulai berpikir bahwa ia akan diantar oleh Bapak Ghulam menuju panti asuhan tetangganya. Ia mulai tersenyum tanpa menyadari Ghulam telah menyodorkan kertas sekali lagi, “Jadi, maukah kau ikut Bapakku ke panti asuhan?”
Tentu saja Aminah mengangguk dan menangis bahagia. Apalagi begitu ia akhirnya menjadi lebih dari sekadar yatim piatu yang masuk panti asuhan begitu sampai di tujuan : anak angkat dari Bu Hasanah sang pendiri panti asuhan. Bu Hasanah sendiri berasal dari Bangladesh.
Saat itu, Ghulam berpikir bahwa tangis haru Aminah muncul karena akhirnya ada orang yang mau menjadikannya anak angkat.
Datanglah masa sekolah menengah atas, sudah empat tahun lamanya setelah peristiwa sederhana dengan arti besar itu terjadi. Mereka mengira hidup mereka akan membaik, nyatanya inilah awal dari hancurnya hidup mereka.
Hari pertama masuk sekolah bagi Ghulam terganggu begitu ia mendengar suara jerit tangis. Walaupun pada awalnya ia baru masuk melewati gerbang, suara itu terdengar di ujung kiri gedung sekolah atau lebih tepatnya parkiran sekolah. Semakin cepat ia berlari ke sana, semakin ia menyadari bahwa suara itu milik seorang gadis yang dipalak beberapa anak wanita berjumlah empat orang.