“Sebelum Aminah menjadi anak angkat Bu Hasanah, Aminah seorang yatim piatu. Mungkin kau tahu itu, bukan?” Matanya mulai menatap mata Ghulam sebelum mereka berdua mengalihkan pandangan, tersipu malu. “Nah, di rumah Aminah dahulu, Aminah seringkali dipukuli warga dan bahkan diludahi.”
Mendengar hal itu rasanya membuat darah Ghulam mendidih. Ia lebih memilih untuk diam sejenak sambil menghembuskan nafas sebelum akhirnya menulis lagi, kali ini dengan tulisan yang berbeda.
APA?!
Dipukuli DAN diludahi?!
Mengapa?
Begitu Ghulam selesai menuliskannya, entah mengapa matanya mengalir air mata seakan dia sebenarnya tahu jawabannya pasti menyakitkan, “Karena para tetangga memiliki sentimen tersendiri terhadap orang tua Aminah, Lam” Aminah ikut menangis, lagi, “Ibu Aminah senang bercadar dan karena itu warga menuduh Ibu teroris, sementara Ayah Aminah seorang pedagang baju Muslim. Walaupun Ayah Aminah hanya berjualan gamis dan hijab tanpa ada cadar ataupun peci, tetap saja Ayah dituduh seorang penyedia pakaian untuk teroris negara tetangga.”
Pak Khan yang sedari tadi hanya mendengar percakapan mereka hanya bisa menundukkan kepalanya, membayangkan apa yang siswi itu alami selama hidupnya. “Bapak akan pergi keluar sebentar,” Katanyanya pelan, kemudian berbalik badan meninggalkan dua orang siswa itu di UKS.
Ghulam menulis lagi, “Maafkan aku jika aku tak bisa berbuat banyak untukmu, Aminah,”
“Tak apa, j-justru Aminah sangat senang begitu Bu Hasanah menjadikan Aminah anak angkatnya,” Aminah menyeka matanya sejenak, “Bu Hasanah baik sekali pada Aminah, Bu Hasanahlah yang mengasuh Aminah hingga sekarang dan mengajari Aminah bagaimana untuk mengatakan satu hal padamu, Ghulam,”
Ghulam memilih diam sejenak, menunggu kata apa yang keluar dari lisan Aminah.
“Aminah berharap suatu saat nanti dapat bertemu dengan Ghulam.” Aminah tersenyum ceria begitu mengucapkan kata ini.