Mohon tunggu...
Chris D.a
Chris D.a Mohon Tunggu... -

Just an ordinary man. Hard-worker, husband, father

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Kopi

22 Januari 2016   15:53 Diperbarui: 22 Januari 2016   22:48 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

 

“Bi.. Tolong belikan kopi di warung Mak Inten! Sebentar lagi bapakmu pulang.”

Aku menoleh pada Ibu yang sedang sibuk menyiangi kangkung. Sedetik kemudian kutatap penggorengan panas di depanku, masih ada beberapa menjes kacang di dalamnya.

“Lah, ini menjes-nya bagaimana?” gumamku.

“Sudah, tinggalkan dulu,” Ibu beranjak dari duduknya.

Tak ada hal lain yang bisa kulakukan kecuali menerima uang dari Ibu dan beranjak pergi.

“Kopinya setengah lusin saja.”

Masih kudengar pesan dari Ibu sebelum pintu depan tertutup di belakang punggungku.

_____

 

Aku berpapasan dengan becak Bapak di pertengahan gang.

“Mau ke mana, le?” Bapak menghentikan sejenak becaknya.

“Warung Mak Inten, Pak,” jawabku. “Disuruh Ibu beli kopi.”

“Wooh..”

Bapak kemudian melanjutkan lagi kayuhannya pada pedal becak dan beberapa langkah ke depan aku sudah sampai di warung Mak Inten. Segera kusebutkan apa yang harus kubeli, dan Mak Inten melayaninya dengan cepat.

Ketika aku berbalik masih sempat kudengar bisikan Bulik Narmi, salah seorang tetanggaku, “Joko-nya si Jum itu lho, sudah ganteng, pinter, nurut lagi sama orang tua. Coba anakku ada yang perempuan, sudah ta’pesen jadi mantu.” Dan Mak Inten terkikik menanggapinya.

Astaga... Ibu-ibu ini...

Aku mempercepat langkahku. Meninggalkan rumpian ibu-ibu di warung Mak Inten. Bapak tentunya sudah sampai di rumah dan menunggu kopi kedua untuk hari ini.

_____

 

Bapak memang penyuka kopi. Pagi-pagi, sebelum mulai narik becak, Bapak selalu menyeruputnya secangkir dengan nikmatnya. Bapak lebih suka kopi yang sudah dikemas bersama gulanya. Merknya harus Pesawat Terbang, tak mau merk yang lain. Apalagi kopi eceran yang bisa dibeli per ons. Kopi jitu. Siji-Pitu. Satu-Tujuh. Kopi murah yang katanya campuran dengan perbandingan satu butir kopi dengan tujuh butir jagung yang digiling bersama.

Menjelang siang, Bapak ngopi lagi. Hal itu dilakukannya sebelum mengangkut semua bahan rujak cingur yang akan diracik Ibu ke warung yang letaknya di seberang mulut gang sebelah. Setelah itu Bapak akan narik becak lagi sampai sore.

Saat pulang, sesudah mandi, Bapak akan ngopi lagi. Begitulah ritual yang berlangsung setiap hari.

Kesibukan Ibu menyiapkan bahan rujak cingur membuat Ibu tak sempat memasak lagi untuk makan kami sehari-hari. Ibu hanya sempat memasak nasi saja. Jadilah warung Bu Seto di mulut gang menjadi langganan kami sehari-hari untuk mendapatkan sayur dan lauk siap dimakan.

Bapak tak pernah protes. Sikap nrimo Bapak membuatku belajar bersyukur atas apa yang kuperoleh sehari-harinya. Masih bisa cukup makan, bisa bernaung di bawah atap sebuah rumah mungil yang terasa hangat setiap harinya, masih bisa bersekolah di sekolah yang cukup bagus, walau untuk itu aku tahu Bapak dan Ibu bekerja sekeras-kerasnya.

Bapak hanya akan menggerundel sedikit kalau telat ngopi. Tapi tak pernah sampai berlarut-larut karena Ibu selalu dengan sigap memenuhi kebutuhan Bapak untuk ngopi.

_____

 

Aku heran ketika sampai di rumah. Bapak sudah duduk di depan meja besar di dapur sambil memasukkan lontong ke dalam keranjang sambil ngopi.

“Lah, itu masih ada kopi?” celetukku.

“Iya..,” Ibu tertawa pendek. “Masih ada satu bungkus, nyelip di dekat toples gula.”

Aku menutup kotak-kotak plasik berisi tempe, tahu, dan menjes goreng, kemudian menumpuknya di atas kotak tertutup berisi cingur. Tampaknya semua sudah siap untuk diangkut ke warung.

“Beres-beres ya, le?” ucap Ibu sebelum menyusul langkah Bapak. “Setelah itu beli sayur dan lauk. Uangnya ambil dulu di warung.”

Aku mengangguk.

Hari Minggu begini memang sudah tugasku untuk membereskan segala kekacauan yang ditinggalkan Ibu. Kubenahi semua kantong kresek bekas yang berisi semua sampah. Ketika aku hendak mengikat kantong terakhir, mendadak aku tertarik pada sesuatu.

Bekas bungkus kopi Pesawat Terbang yang tergeletak di atas tumpukan buangan tangkai kangkung entah kenapa membuat perhatianku tersedot. Ada tanda bahwa bungkus kopi itu berhadiah.

Temukan hologram bertuliskan jenis hadiahnya di dalam!

Sudah sering Ibu atau aku menemukan hologram bertuliskan Anda belum beruntung dalam bungkus kopi Pesawat Terbang. Tapi pernah juga beberapa kali menemukan hologram yang bertuliskan hadiah sebungkus kopi atau uang Rp 500,00 bila bungkus itu ditukarkan di warung tempat membelinya. Mak Inten bersedia menerima penukaran itu. Lumayanlah dapat kopi gratis atau uang koin Rp 500,00.

Maka kupungut dan kusisihkan bungkus kopi bekas itu. Dengan cepat kubereskan semua sampah dan kumasukkan ke dalam tong sampah besar di depan rumah. Selesai menyapu dan mengepel, aku pun ke warung rujak cingur Ibu untuk mengambil uang pembeli sayur dan lauk matang.

_____

 

Seperti yang sudah-sudah, aku menikmati makan siangku sendirian. Sambil menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut, kuraih bungkus kopi yang tadi kuselipkan di antara teko dengan toples gula.

Dan aku langsung tertegun.

Kukucek mataku beberapa detik kemudian. Masih terbaca tulisan yang sama pada hologram di dalam bungkus kopi itu.

Selamat! Anda memenangkan hadiah utama berupa uang sebesar Rp 2.000.000.000,00. Segera hubungi nomor telepon berikut ini : 0800-123456789 (layanan 24 jam bebas pulsa)

Aku tersentak ketika telingaku menangkap bunyi denting nyaring sendok beradu dengan piring. Aku menjatuhkan sendok yang kupegang tanpa sadar. Seketika tanganku gemetar.

Dua milyar? Benarkah?

Aku benar-benar tak sabar menunggu hingga Ibu pulang dari warung dan Bapak pulang dari narik becak.

_____

 

“Halah! Aku kok ndak percaya,” Bapak mengibaskan tangannya. “Jaman sekarang orang nipu itu pinter, le. Ngomongnya dapat dua milyar, tapi disuruh ini-itu, beli ini- itu lebih dulu. Kantong jebol, uang ndak dapat.”

“Tapi ini di dalam bungkusnya, Pak,” aku mencoba menyela.

Ora percoyo!” Bapak tetap berkeras.

Kutatap Ibu.

“Benar apa kata Bapakmu, le,” alih-alih mendukungku, Ibu malah mengamini ucapan Bapak. “Kita ini betul boleh jadi orang susah, tapi jangan sampai jadi orang bodoh. Jangan mau ditipu. Sudah, buang saja bungkus kopi itu.”

Aku terdiam.

_____

 

Pak Diran membolak-balik bungkus kopi di tangannya. Aku menatapnya kosong. Otakku sudah tak mampu berpikir apa-apa lagi.

Kemarin aku tak menuruti kata-kata Ibu untuk membuang saja bungkus kopi itu. Diam-diam aku menyimpannya sambil memikirkan bagaimana menelisik kebenaran tulisan dalam hologram di dalamnya. Kami tak mempunyai pesawat telepon yang bisa digunakan untuk memeriksa kebenaran hologram itu.

Hingga semalam aku menemukan siapa yang mungkin bisa kumintai tolong. Pak Diran. Kepala SMA tempatku menuntut ilmu. Hampir aku tak bisa memicingkan mata menunggu pagi datang.

“Kelihatannya asli, Bi,” ucap Pak Diran, hati-hati.

Jantungku langsung berdebar kencang.

“Tapi jangan senang dulu, kita cek dulu,” Pak Diran meraih gagang telepon di mejanya.

Beberapa saat kemudian, ketika melihat betapa shock wajah Pak Diran setelah melakukan sambungan telepon, aku tahu hidupku akan berubah.

_____

 

Menjelang jam dua siang, penantianku berakhir. Beberapa orang dari kantor cabang perusahaan kopi Pesawat Terbang di Surabaya langsung diutus untuk menemuiku di sekolah oleh kantor pusat Jakarta.

Benar! Aku memang memenangkan hadiah uang sebesar dua milyar rupiah itu. Bersih. Bulat. Tanpa potongan pajak sama sekali karena semuanya sudah ditanggung perusahaan kopi Pesawat Terbang.

Tak ada waktu untuk terhenyak lagi. Aku hanya terdiam ketika semua guru bergantian memelukku dengan wajah penuh haru. Tapi perayaan di ruangan Pak Diran harus diakhiri juga dan dipindahkan ke rumah.

Pak Diran dan Bu Virni, Wakasek bidang kesiswaan, memang mendampingiku pulang bersama utusan dari kopi Pesawat Terbang. Bapak tak ada di pangkalan dekat sekolahku ketika rombongan kami pulang. Aku pun menitip pesan pada beberapa teman Bapak di situ, agar Bapak segera pulang. Pak Diran mampir ke warung rujak Ibu, memberi pesan yang sama.

Bapak dan Ibu hampir bersamaan tiba di rumah. Ketika utusan dari kopi Pesawat Terbang menjelaskan semuanya, Bapak dan Ibu hanya bisa terdiam sambil menatapku. Terlihat betul bahwa keduanya sangat kaget. Jauh lebih kaget daripada aku ketika tadi mengetahui bahwa hadiah uang itu benar adanya.

Sejenak kemudian kulihat tangan Bapak meraih bahu Ibu, kemudian melambaikan tangan padaku. Kami berpelukan bertiga. Tenggelam dalam tangis dan tawa yang sudah tertahan sekian lama dihimpit kesusahan hidup.

Lalu Bapak melemas dalam pelukanku dan Ibu.

_____

 

Perasaanku benar. Tentang kehidupanku yang akan berubah.

Ibu dan aku mendapat uang dua milyar rupiah untuk bekal melanjutkan hidup dan masa depan. Tapi harus kehilangan Bapak yang mendapat serangan jantung karena peristiwa itu.

__________

 

* A side story of this.

** Ditulis atas seijin penulis aslinya.

*** Pertama kali dipublikasikan di sini)

 

(JP.22.01.2016.Chris D.a)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun