Aku berpapasan dengan becak Bapak di pertengahan gang.
“Mau ke mana, le?” Bapak menghentikan sejenak becaknya.
“Warung Mak Inten, Pak,” jawabku. “Disuruh Ibu beli kopi.”
“Wooh..”
Bapak kemudian melanjutkan lagi kayuhannya pada pedal becak dan beberapa langkah ke depan aku sudah sampai di warung Mak Inten. Segera kusebutkan apa yang harus kubeli, dan Mak Inten melayaninya dengan cepat.
Ketika aku berbalik masih sempat kudengar bisikan Bulik Narmi, salah seorang tetanggaku, “Joko-nya si Jum itu lho, sudah ganteng, pinter, nurut lagi sama orang tua. Coba anakku ada yang perempuan, sudah ta’pesen jadi mantu.” Dan Mak Inten terkikik menanggapinya.
Astaga... Ibu-ibu ini...
Aku mempercepat langkahku. Meninggalkan rumpian ibu-ibu di warung Mak Inten. Bapak tentunya sudah sampai di rumah dan menunggu kopi kedua untuk hari ini.
_____
Bapak memang penyuka kopi. Pagi-pagi, sebelum mulai narik becak, Bapak selalu menyeruputnya secangkir dengan nikmatnya. Bapak lebih suka kopi yang sudah dikemas bersama gulanya. Merknya harus Pesawat Terbang, tak mau merk yang lain. Apalagi kopi eceran yang bisa dibeli per ons. Kopi jitu. Siji-Pitu. Satu-Tujuh. Kopi murah yang katanya campuran dengan perbandingan satu butir kopi dengan tujuh butir jagung yang digiling bersama.