Menjelang siang, Bapak ngopi lagi. Hal itu dilakukannya sebelum mengangkut semua bahan rujak cingur yang akan diracik Ibu ke warung yang letaknya di seberang mulut gang sebelah. Setelah itu Bapak akan narik becak lagi sampai sore.
Saat pulang, sesudah mandi, Bapak akan ngopi lagi. Begitulah ritual yang berlangsung setiap hari.
Kesibukan Ibu menyiapkan bahan rujak cingur membuat Ibu tak sempat memasak lagi untuk makan kami sehari-hari. Ibu hanya sempat memasak nasi saja. Jadilah warung Bu Seto di mulut gang menjadi langganan kami sehari-hari untuk mendapatkan sayur dan lauk siap dimakan.
Bapak tak pernah protes. Sikap nrimo Bapak membuatku belajar bersyukur atas apa yang kuperoleh sehari-harinya. Masih bisa cukup makan, bisa bernaung di bawah atap sebuah rumah mungil yang terasa hangat setiap harinya, masih bisa bersekolah di sekolah yang cukup bagus, walau untuk itu aku tahu Bapak dan Ibu bekerja sekeras-kerasnya.
Bapak hanya akan menggerundel sedikit kalau telat ngopi. Tapi tak pernah sampai berlarut-larut karena Ibu selalu dengan sigap memenuhi kebutuhan Bapak untuk ngopi.
_____
Aku heran ketika sampai di rumah. Bapak sudah duduk di depan meja besar di dapur sambil memasukkan lontong ke dalam keranjang sambil ngopi.
“Lah, itu masih ada kopi?” celetukku.
“Iya..,” Ibu tertawa pendek. “Masih ada satu bungkus, nyelip di dekat toples gula.”
Aku menutup kotak-kotak plasik berisi tempe, tahu, dan menjes goreng, kemudian menumpuknya di atas kotak tertutup berisi cingur. Tampaknya semua sudah siap untuk diangkut ke warung.