PENDAHULUAN/LATAR BELAKANG
Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan kepada Permenkumham No. 3 Tahun 2018, dimana dalam peraturan tersebut dijelaskan tentang pemberian hak remisi terhadap narapidana, yaitu tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Sebelum Pembebasan, dan Cuti Bersyarat. Â bahwa "WBP memiliki hak mendapatkan remisi apabila telah memenuhi syarat yaitu, berkelakuan baik dan telah menjalani pidana lebih dari enam bulan." Dapat diartikan bahwa, negara yang melalui pemasyarakatan harus memenuhi hak setiap WBP apabila mereka telah memenuhi keadaan yang telah ditetapkan. Maka, mereka yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dapat memperoleh remisi, dan apabila tidak diberikan hak dari mereka merupakan pelanggaran terhadap praturan perundang-undangan.
Dalam mengizinkan pengurangan, ada pertimbangan yang digunakan sebagai tolok ukur untuk memutuskan apakah pengurangan disiplin diberikan dan jumlah tahanan. Menurut Seno Adji, sejauh memungkinkan pengurangan melalui pekerjaan penjara, ia merekomendasikan bahwa kapasitas administrasi dalam pelaksanaannya memerlukan kontrol dari luar (Adji, 2006). Pemberian remisi harus selaras dengan perhitungan ekspirasi untuk mengetahui besaran pengurangan masa pidana yang diperoleh Warga Binaan Pemasyarakatan. Kesalahan dalam penetapan diawal perhitungan ekspirasi akan berpengaruh kepada pengeluaran narapidana yang tidak pada waktunya, baik dalam keterlambatan melakukan pengeluaran (overstaying) maupun pengerluaran terlalu dini untuk dikeluarkan karena masa penahanan seharusnya belum berakhir.
Hal ini akan berpengaruh kepada program pembinaan yang akan dilaksanakan WBP, yaitu bahwa tidak maksimalnya pelaksanaan program pembinaan dan ketidaksesuaian pemberian apresiasi (remisi) kepada narapidana. Dalam pasal 5 Permenkumham No 3 Tahun 2018 syarat pemeberian remisi, bahwa remisi adalah hak narapidana yang akan diberikan ketika telah menjalani masa pidana dari 6 bulan dan adanya bukti telah mengikuti program pengajaran dengan predikat bagus. Tetapi, dalam pelaksanaannya tidak sesuai yaitu dimana perhitungan masa menjalani pidana untuk memberikan remisi dimulai dari ketika narapidana menjalani masa penahanan pertama kali (tersangka).
KONSEP/TEORI DAN TUJUAN PENELITITAN
Konsep dan teori dari penelitian ini adalah hak asasi narapidana, dimana jurnal ini membahas tentang hak asasi narapidana yaitu berupa pemberian remisi. Remisi bisa diberikan kepada narapidana yang berhak dan memenuhi semua persyaratan untuk mendapatkan remisi. Ordonasi pemberian hak narapidana adalah Permenkumham 3 Tahun 2018.
Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk: Sesuai dengan latar belakang penulis kemukakan, dalam proses pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perhitungan ekspirasi dalam penetapan pemberian remisi kepada narapidana.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode hukum normantif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal juga merupakan studi dokumen atau penelitian perpustakaan, yang mana penelitian ini mengkaji peraturan-peraturan tertulis dan juga bahan hukum lainnya. Penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji atau meneliti data sekunder.
Obyek Penelitian
Yang menjadi obyek penelitian dalam jurnal ini adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian hak remisi, asimilasi, CMK, PB, CMB, dan CB. Peneliti mencantumkan dua perundang undangan yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 dan Undang- Undang 12 Tahun 1995. Dalam dua peraturan tersebut, penulis berpendapat bahwa kedua peraturan tersebut terdapat hal kontradiktif, dimana tidak berbanding lurus dengan tata cara pemberian remisi yang diatur dalam Permenkumham 3 Tahun 2018, yang mana dalam perhitungan masa pidana dihitung sejak masa penahanan yang menjadi landasan dalam pemberian remisi, yang artinya pemberian remisi sudah dihitung sejak seorang narapidana masih berstatus tersangka atau tahanan yang dalam aturan pada saat berstatus tahanan yang belum melaksanakan program pembinaan, sedangkan pada Undang-Undang No.12 Tahun 1995 remisi dihitung sejak narapidana diajtuhi dan menjalankan masa pidananya.