Mohon tunggu...
Mochammad Chaerul Novryan
Mochammad Chaerul Novryan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - keren

suka kamu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Jurnal Penelitian Hukum Normatif

11 September 2023   11:43 Diperbarui: 11 September 2023   13:50 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

REVIEWER : MOCHAMMAD CHAERUL NOVRYAN

DOSEN PENGAMPU : MARKUS MARSELINUS SOGE, S.H., M.H.

JURNAL I

JUDUL JURNAL

KAJIAN YURIDIS PERHITUNGAN EKSPIRASI DALAM PEMENUHAN HAK REMISI NARAPIDANA STUDI KASUS DI LAPAS KELAS IIA PADANG

NAMA PENULIS

Jimly Ashiddiqie Arsas, Padmono Wibowo

NAMA JURNAL

JURNAL KOMUNIKASI HUKUM Volume 9 Nomor 1, Februari 2023

LINK ARTIKEL

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/55188\

PENDAHULUAN/LATAR BELAKANG

Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan kepada Permenkumham No. 3 Tahun 2018, dimana dalam peraturan tersebut dijelaskan tentang pemberian hak remisi terhadap narapidana, yaitu tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Sebelum Pembebasan, dan Cuti Bersyarat.  bahwa "WBP memiliki hak mendapatkan remisi apabila telah memenuhi syarat yaitu, berkelakuan baik dan telah menjalani pidana lebih dari enam bulan." Dapat diartikan bahwa, negara yang melalui pemasyarakatan harus memenuhi hak setiap WBP apabila mereka telah memenuhi keadaan yang telah ditetapkan. Maka, mereka yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dapat memperoleh remisi, dan apabila tidak diberikan hak dari mereka merupakan pelanggaran terhadap praturan perundang-undangan.

Dalam mengizinkan pengurangan, ada pertimbangan yang digunakan sebagai tolok ukur untuk memutuskan apakah pengurangan disiplin diberikan dan jumlah tahanan. Menurut Seno Adji, sejauh memungkinkan pengurangan melalui pekerjaan penjara, ia merekomendasikan bahwa kapasitas administrasi dalam pelaksanaannya memerlukan kontrol dari luar (Adji, 2006). Pemberian remisi harus selaras dengan perhitungan ekspirasi untuk mengetahui besaran pengurangan masa pidana yang diperoleh Warga Binaan Pemasyarakatan. Kesalahan dalam penetapan diawal perhitungan ekspirasi akan berpengaruh kepada pengeluaran narapidana yang tidak pada waktunya, baik dalam keterlambatan melakukan pengeluaran (overstaying) maupun pengerluaran terlalu dini untuk dikeluarkan karena masa penahanan seharusnya belum berakhir.

Hal ini akan berpengaruh kepada program pembinaan yang akan dilaksanakan WBP, yaitu bahwa tidak maksimalnya pelaksanaan program pembinaan dan ketidaksesuaian pemberian apresiasi (remisi) kepada narapidana. Dalam pasal 5 Permenkumham No 3 Tahun 2018 syarat pemeberian remisi, bahwa remisi adalah hak narapidana yang akan diberikan ketika telah menjalani masa pidana dari 6 bulan dan adanya bukti telah mengikuti program pengajaran dengan predikat bagus. Tetapi, dalam pelaksanaannya tidak sesuai yaitu dimana perhitungan masa menjalani pidana untuk memberikan remisi dimulai dari ketika narapidana menjalani masa penahanan pertama kali (tersangka).

KONSEP/TEORI DAN TUJUAN PENELITITAN

Konsep dan teori dari penelitian ini adalah hak asasi narapidana, dimana jurnal ini membahas tentang hak asasi narapidana yaitu berupa pemberian remisi. Remisi bisa diberikan kepada narapidana yang berhak dan memenuhi semua persyaratan untuk mendapatkan remisi. Ordonasi pemberian hak narapidana adalah Permenkumham 3 Tahun 2018.

Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk: Sesuai dengan latar belakang penulis kemukakan, dalam proses pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perhitungan ekspirasi dalam penetapan pemberian remisi kepada narapidana.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode hukum normantif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal juga merupakan studi dokumen atau penelitian perpustakaan, yang mana penelitian ini mengkaji peraturan-peraturan tertulis dan juga bahan hukum lainnya. Penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji atau meneliti data sekunder.

Obyek Penelitian

Yang menjadi obyek penelitian dalam jurnal ini adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian hak remisi, asimilasi, CMK, PB, CMB, dan CB. Peneliti mencantumkan dua perundang undangan yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 dan Undang- Undang 12 Tahun 1995. Dalam dua peraturan tersebut, penulis berpendapat bahwa kedua peraturan tersebut terdapat hal kontradiktif, dimana tidak berbanding lurus dengan tata cara pemberian remisi yang diatur dalam Permenkumham 3 Tahun 2018, yang mana dalam perhitungan masa pidana dihitung sejak masa penahanan yang menjadi landasan dalam pemberian remisi, yang artinya pemberian remisi sudah dihitung sejak seorang narapidana masih berstatus tersangka atau tahanan yang dalam aturan pada saat berstatus tahanan yang belum melaksanakan program pembinaan, sedangkan pada Undang-Undang No.12 Tahun 1995 remisi dihitung sejak narapidana diajtuhi dan menjalankan masa pidananya.

Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti dalam jurnal ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan historis. Peneliti menggunakan perundang-undangan yaitu Permenkumhan No. 3 Tahun 2018, karena dalam perundang-undangan tersebut terdapat tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Sebelum Pembebasan, dan Cuti Bersyarat. Sedangkan untuk pendekatan historis, peneliti menggunakan hasil wawancaranya dengan Kasi Binadik Lapas Kelas IIA.           

                                                                                                                                                                                             

Jenis dan Sumber Data Penelitiannya

Peneliti memakai sumber data penelitian yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini Pendekatan perundangan-undangan merupakan Metodologinya terdiri dari peraturan dan pedoman yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas, catatan resmi dan berita acara pembuatan peraturan. Bahan bacaan pilihan utama yang sah adalah bacaan mata kuliah karena bahan bacaan mengandung standar fundamental ilmu pengetahuan yang halal dan pandangan gaya lama tentang peneliti yang memiliki kemampuan tinggi. Dalam ulasan ini, bahan data sekunder yang digunakan meliputi : Artikel ilmiah, Buku-buku ilmiah dibidang hukum, Makalah-makkalah dan Jurnal ilmiah.

Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

Tata cara pemilihan informasi yang digunakan dalam pengujian ini adalah review dokumen (studi kepusstakaan) dan wawancara. Untuk mendapatkan data yang akan diperoleh secara lengkap didalam penelitian ini, maka digunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan, studi kepustakaan merupakan perangkat untuk mengumpulkan informasi atau materi sah yang dibawa melalui materi sah yang disusun menggunakan investigasi konten; Wawancara, wawancara adalah salah satu prosedur pemilahan informasi dilakukan dengan tatap muka dan tanya jawab dengan responden. Dengan menggunakan instrument yang telah ditentukan. Wawancara akan Ini diakhiri dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada responden yaitu Kepala Seksi Binadik Lapas Kelas II A Padang.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dari penulis yaitu penulis menemukan bahwa adanya hal yang kontradiktif atau tidak selaras dalam tata cara pemberian remisi yang diatur dalam Permenkumham 3 Tahun 2018, yang mana dalam perhitungan masa pidana dihitung sejak masa penahanan yangmenjadi landasan dalam pemberian remisi, yang artinya pemberian remisi sudah dihitung sejak seorang narapidana masih berstatus tersangka atau tahanan yang dalam aturan pada saat berstatus tahanan yang belum melaksanakan program pembinaan. Pada hakikatnya pembinaan dilakukan sejak berstatus narapidana yang menjadi instrumen dalam indikator berkelakuan baik sebagai landasan dalampemberian remisi.

Dalam jurnal ini, penulis membahas tentang pemberian remisi sebagai hak narapidana. Penulis menjelaskan tentang bagian bidang-bidang pengurusan remisi yaitu bagian pembinaan narapidana. Peneliti juga menjelaskan tentang Sejarah pemberian remisi sebagai salah satu hak narapidana, pemberian remisi berawal dari Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Tahanan (penurunan), khususnya pemikiran, lebih khusus lagi pasal mengingat huruf b yang menunjukkan bahwa pengurangan jangka waktu pidana ( tunjangan) adalah salah satu cara sah yang signifikan dalam menangkap motivasi di balik penahanan. Sistem Permasyaraaktan. Tujuan definitif pelatihan di fasilitas penahanan adalah untuk mengubah cara berperilaku para tahanan yang lebih yakin menjadi individu yang dinilai lebih baik dengan harapan kembali dan diakui di arena publik. Dalam prosesnya seorang tahanan yang nantinya akan menunjukkan konsekuensi dari perubahan sosial menjadi yang dinilai lebih baik lagi, maka akan diberikan beberapa hak sebagai motivasi untuk dirinya yaitu dalam hal mengurangi masa penghukumannya.

Selanjutnya penulis menjelaskan tentang syarat dan tata cara pemberian remisi. Dasar dari pemberian remisi yaitu Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018. Peneliti juga menjelaskan tentang mekanisme yang tidak objektif, serta indicator penilaian berkelakuan baik dari program pembinaan yang dilaksanakan di dalam lapas. Peneliti menulis tentang pemberian remisi terhadap peraturan perundang-undangan, peneliti menemukan beberapa peraturan yang kontradiktif, yaitu sebagai berikut, Undang- Undang 12 Tahun 1995 Pasal 10 Tentang penerimaaan dan pendaftaraan terpidana didalam lapas  terhadap Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 Pasal 39, 40, 41 dan 148 tentang tata cara pemberian remisi dan penetapan perhitungan penahanan; Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 7 samapi 10 Tentang pelaksanaan pembinaan  terhadap Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 Pasal 39, 40, 41 dan 148 tentang tata cara pemberian remisi dan penetapan perhitungan penahanan; Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 Pasal 5 dan 6 Tentang syarat dalam pemberian remisi terhadap Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 Pasal 39, 40, 41 dan 148 tentang tata cara pemberian remisi dan penetapan perhitungan penahanan. 

Berdasarkan perbandingan yang dibuat penulis, maka penulis menyimpulkan terjadi kontradiktif dari pasal 5 (syarat remisi) dengan pasal 39, 40, 41 dan 148 (tata cara pemberian remisi) dari Permenkumham 3 Tahun 2018 yang menjelaskan bahwa Pengurangan adalah pengurangan jangka waktu pidana yang seharusnya diberikan kepada narapidana dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan yaitu dengan melaksanakan program pembinaan dengan harapan perubahan perilaku narapidana dengan indikator berkelakuan baik. Pembinaan mulai dilaksanakan ketika waktu persepsi, presentasi, dan eksplorasi alam terlama dijalankan dalam 1 (satu) bulan, yang memiliki arti bahwa tahapan tersebut hanya dapat dilakukan ketika sudah berstatus narapidana yang diatur dalam UndangUndang 12 Tahun 1995 pasal 10 bahwa status narapidana ditentukan ketika seorang tahanan atau tersangka telah menerima putusan pengadilan tetap (terpidana) dan telah diterima secara admisnistrasi (didaftarkan) di Lapas yang merubah status terpidana menjadi narapidana. Hal yang kontradiktif atau tidak berbanding lurus dengan tata cara pemberian remisi yang diatur dalam Permenkumham 3 Tahun 2018, yang mana dalam perhitungan masa pidana dihitung sejak masa penahanan yang menjadi landasan dalam pemberian remisi, yang artinya pemberian remisi sudah dihitung sejak seorang narapidana masih berstatus tersangka atau tahanan yang dalam aturan pada saat berstatus tahanan yang belum melaksanakan program pembinaan. Pada hakikatnya pembinaan dilakukan sejak berstatus narapidana yang menjadi instrumen dalam indikator berkelakuan baik sebagai landasan dalampemberian remisi.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL

Kelebihan dalam jurnal ini adalah penulis memberikan informasi yang sangat akurat tentang hal kontradiktif yang terdapat di beberapa peraturan, peneliti juga mencoba untuk membandingkan peraturan tersebut dengan peraturan lainnya sehingga penulis mendapatkan hal kontradiktif. Peneliti juga cakap dalam menjelaskan pemberian remisi dengan menjelaskannya dari peraturan yang berkaitan. Sedangkan kekurangan dari jurnal ini adalah, peneliti kurang menjelaskan tentang data riil yang terjadi di lapangan, peneliti melakukan wawancara ke beberapa pegawai lapas kelas II paledang termasuk Kepala Lapas, tetapi dari jurnal tersebut hanya sedikit yang bisa dikutip oleh penulis dari hasil wawancara tersebut, sehingga dalam jurnal tersebut menurut saya kurang cukup untuk data riilnya.

JURNAL II

REVIEWER : MOCHAMMAD CHAERUL NOVRYAN

DOSEN PENGAMPU : MARKUS MARSELINUS SOGE, S.H., M.H.

Judul Jurnal

Overcrowding Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Dalam System Pemidanaan Di Indonesia

Nama Penulis

Satria Nenda Eka Saputra & Muridah Isnawati

Nama Jurnal

Jurnal Humaya: Jurnal Hukum, Humaniora, Masyarakat, Dan Budaya. Volume 6 No. 1, Juli 2022

Link Artikel

https://jurnal.ut.ac.id/index.php/humaya_fhisip/article/view/5242

Pendahuluan/Latar Belakang

Dalam sejarah Indonesia, pembinaan narapidana secara kelembagaan sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Kolonial Belanda. Pada saat itu penjara sebagai bentuk pembalasan, demi menghindari upaya penghukuman yang tidak manusiawi kemudian system pemenjaraan bergeser ke system pemasyarakatan.1 Sistem Pemasyarakatan di Indonesia merupakan perwujudan dari pergeseran fungsi pemidanaan yang tak hanya sebagai penjeraan, akan tetapi juga memuat suatu usaha rehabilitasi dan juga Reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan guna mempersiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar siap Kembali ke masyarakat. Lewat Lemabaga Pemasyarakatan atau disingkat Lapas dimaan Lembaga ini berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan anak didik Pemasyarakatan.2 Dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia seseorang narapidana tetap diakui sebagai anggota masyarakat sehingga pada proses pembinaan tidak boleh diasingkan dari kehidupan bermasyarakat. Artinya seorang narapidana masih tetap menjadi bagian dari masyarakatan Indonesia, sehingga dalam proses Pembinaan harus memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk membangun pribadi dan budi pekertinya demi membangkitkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat. 3 Lembaga Pemasyrakatan (Lapas) menjadi bagian penting dalam system pemasyarakatan yang berfungsi sebagai media/tempat petugas lapas dalam melakukan pembinaan narapidana. Munculnya permasalahan dalam lapas bukan semata mata diakibatkan oleh kesalahan dan kekliruan dalam penanganan yang dilakukan petugas lapas, namun hal itu terjadi secara komples antara system dengan pelaksaan di lapangan dengan seluruh keterbatasannnya.4 permasalahan yang ada dalaam Lapas salah satunya adalah adanya kelebihan kapasitas. Data di Direktorat JendralPemasyarakatan (Ditjenpas) menunjukan seluruh Lapas/Rutan di Indonesia mempunyai kapasitas 135.561 narapidana, pada November 2021 jumlah narapidana yang ada sebanyak 266.828.5 Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) terkait kepadatan dalam Lembaga pemasyarakatan mendefinisikan kepadatan umumnya mangacu pada tingkat hunian dan kapasitas penjara. Dengan rumus sederhana ini, kepadatan mengacu pada situasi dimana jumlah tahanan melebihi kepasitas resmi penjara. Tingkat kepadatan didefinisikan sebagai bagian dari tingkat hunian di atas 100 persen.6 jika menggunakan rumus dari UNODC maka tingkat kepadatan dalam Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia sudah dapat digolongkan telah mengalami kepadatan dalam lapas. Dampak dari kepadatan dalam lapas ini menimbulkan permasalahan permasalahan yang baru seperti dalam kasus yang terjadi pada November 2017 dimana kerusuhan yang terjadi di Lapas Kelas II A Permisan di Nusa Kambangan yang menimbulkan 3 orang koerban luka luka dan 1 orang meninggal dunia.7 Kemudian juga kasus Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Siak Sri Indrapura di Kabupaten Siak, Provinsi Riau mengalami kerusuhan yang mengakibatkan terbakarnya bangunan Rutan tersebut pada november 2019.8 Tak ketinggalan Lapas kasus yang terbaru adalah pada tanggal 22 September 2021, kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas tangerang, Banten, akibat overcrowded dalam Lembaga Pemasyarakatan menewaskan setidaknya 49 orang narapidana dan menyebabkan lebih dari 70 orang lainnya terluka.9 Beberapa permasalahan dalam lapas menjadi catatan dari banyak peneliti salah satunya adalah permasalahan overcrowded yang mengakibatkan munculnya permasalahan permasalahan lain seperti kerusuhan dalam lapas, kurang optimalnyapembinaan yang dilakukan petugas pemasyarakatan dan permasalahan Kesehatan sebagai bentuk tujuan dari pembangunan nasional.10 Dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan HAM menjelaskan bersamaan dengan terjadinya Overcrowded, lapas/rutan mengalami persoalan pembinaan terhadp narapidana. Semakin besar narapidana, semakin besar pula potensi konflik sehingga petugas akan lebih terkondsentrasi kepada pendekatan keamanan dengan konsekuensi pendekatan pembinaan kurang mendapat perhatian. Maka dari itu penting memilikirkan mengenai profesionalisme seorang petugas pemasyarakatan dan mengenai penyediaan fasilitas lapas. Hasil penelitian dari ICJR juga menyinggung mengenai peningkatan jumlah penghuni lapas yang mengakibatkan OverCrowding tidak dibarengi dengan adanya peningkatan jumlah fasilitas serta sarana dan prasarana yang memadai11 guna memberi ruang gerak yang cukup bagi narapidana. Permasalahan overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan dalam system hukum pemidanaan di Indonesia sudah sewajarnya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Jika overcrowding dianalogikan sebagai atap rumah yang bocor, berapa banyak dan sebesar apa wadah yang menampung yang harus disediakan untuk menampung air yang masuk kedalam rumah Ketika hujan, jika atab tersebut tidak segera diperbaiki.12 Dikarenakan banyaknya permasalahan akibat adanyaa OverCrowded Lemabaga Pemasyarakatan di Indonesia. Maka yang menjadi permasalahan adalah : Apakah factor factor yang menyebabkan terjadinya overcrowding di Lemabaga Pemasyarakatan ? dan Bagaimana kebijakan system pemidanaan terhadap permasalahan Overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan ? pengidentifikasian permasalahan ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara langsung solusi yang tepat bagi pemecahan permasalahan kelebihan kapasitas di dalam lapas atau rutan yang ada di Indonesia saat ini dan mengetahui kebijakan pengaturan yang tepat dalam menagani permasalahan di lapas/rutan yang ada di Indonesia.

Konsep/Teori dan Tujuan Penilitian

Konsep dan teori permasalahan dalam penelitian ini adalah sistem hukum Indonesia. Penulis berpendapat bahwa penerapan pemidanaan penjara sebagai titik akhir dari sistem peradilan pidana Indonesia kurang efektif, dan hal itu menjadi salah satu factor penyebab terjadinya overcrowded di dalam lapas. Lapas tidak bisa menolak seseorang yang sudah dijatuhi pidana penjara dalam proses peradilan pidananya, sehingga jumlah narapidana terus bertambah.

Selain itu, Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara langsung solusi yang tepat bagi pemecahan permasalahan kelebihan kapasitas dalam Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan guna mengetahui kebijakan pengaturan yang telah diambil dalam mengani permasalahan ini.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan yakni penelitian yuridis empiris yang merupakan pendekatan permasalahan mengenai hal hal yang bersifat yuridis dan kenyataan yang ada mengenai hal hal yang bersifat yuridis. Penelitian hukum empiris atau penelitian sosiologis yaitu penelitian penelitian hukum yang menggunakan data primer. Menurut pendekatan empiris pengetahuan didasarkan atas fakta fakta yang diperoleh dari hasil hasil penelitian dan observasi.

Obyek Penelitian
yang menjadi obyek penelitian dalam jurnal ini adalah sistem peradilan pidana Indonesia, dimana penulis menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana yang diamut Indonesia sekarang kurang efektif. Hal ini menyebabkan overcrowded di beberapa lapas.  

Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan menggunakan pendekatan sosio-legal. Metode penelitian sosio-legal dipergunakan untuk menjawab masalah masalah ketidakadilan sosial. Pendekatan sosio-legal diidentifikasi dengan du acara yaitu pertama, studi sosio-legal dengan melakukan studi tekstual, pasal pasal dalam peraturan perundang undangan dan kebijkan dianalisis secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum. Kedua, studi sosio-legal mengemangan berbagai metode baru hasil perkawinan anatar metode hukum dan ilmu sosial.

Jenis dan Sumber Data Penelitiannya

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang diambil meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarkhi tata urutan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tentang ketentuan pemidaan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil symposium mutakhir yang berkait dengan topik penelitian yaitu overcrowding Lembaga pemasyarakatan di indonesia.

Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

Data ini diambil dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Peneliti mengumpulkan data-data dari bahan hukum yang terdiri atas buku yang ditulis para ahli, jurnal hukum, yurisprudensi. dianalisis secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum. Kedua, studi sosio-legal mengemangan berbagai metode baru hasil perkawinan anatar metode hukum dan ilmu sosial.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Penulis menjelaskan tentang Sejarah Pemasyarakatan, dimulai dari peralihan sistem kepenjaraaan ke sistem Pemasyarakatan. Penulis juga menjelaskan tentang tujuan dan fungsi sistem Pemasyarakatan. Tujuan dari sistem Pemasyarakatan yaitu system pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindakan pidana sehingga dapat diterima Kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab, sedangkan fungsi system Pemasyarakatan ialah menyiapkan wagara binaan pemasyarakatan agar dapat berintegritas secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan Kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Selanjutnya , penulis berpendapat bahwa sistem Pemasyarakatan yang dianut Indonesia saat ini menjadikan salah satu alasan mengapa banyak lapas di Indonesia yang mengalami overcrowded. Politik pemidanaan yang berorientasi pada pemenjaraan, Pemidanaan eksesif terhadap kejahatan kejahatan ringan , Kejahatan tanpa korban, Penahanan pra persidangan yeng berlebihan, Procedural administrasi, Asimilasi dan reintegrasi yang tidak teroptimalkan, Minimnya akses tersangka/terpidana kepada advokar untuk menghindari mereka dari jerat eksesif penahanan dan pemenjaraan, dan Masalah kelembagaan, sumberdaya manusia, dan sarana prasarana dari dirjenpas hingga UPT Pemasyarakatan juga menjadi factor pendorong terjadinya Overcrowding di Lapas.

Jika melihat secara objektif penyebab overcrowding dalam Lapas bukan semata mata dipicu dari kurangnya ketersediaan bangunana Lapas atau meningkatnya tren kejahatan, melainkan karena adanya kesalahan dalam subtansi hukum pemidanaan. Dalam system pemasrakatan yang merupakan bagian subtansi system peradilan pidana diibaratkan sebagai bentuk dari tempat pembuangan akhir. Sebagai contoh Lapas tidak bisa menolak pelaku yang sudah dijatuhi putusan oleh pengadilan untuk ditempatkan di Lapas A. pada dasarnya lapas lah yang terkena dampak dari eksekusi yang dilakukan oleh penegak hukum, dan juga lapas lah yang tidak pernah dilibatkan dalam kebijakan yudikasi. Sehingga lapas tidak dapat melakukan intervensi terhadap system peradilan pidana sejak dari awal dan juga ditambah adanya kebiasaan terkait gemarnya penegak hukum dalam menjatuhkan hukum pidana penjara karena berangkapan pidana adalah ruang yang cocok sebgaai bentuk balas dendam atas perbuatan si pelaku.

Adanya legislasi peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan ketentuan hukum pidana justru memberikan respon tidak sesuai dengan konteks yang terjadi saat ini. Pengaruh ketergantuan kepada penggunaan hukum pidana penjara dapat dilihat dari semua ketentuan legislasi di Indonesia yang mayoritas ketentuan pidananya menggunakan hukuman pidana penjara. Hal ini menandakan adanya ketergantuan baik secara penerapan maupun system bergantung pada pidana penjara. Kesalahan dalam Kebijakan legislasi ataupun kebijakan pidana harus direspon secara komperhensif oleh pemerintah juga DPR untuk mengevalusi terkait ketentuan hukum pidana yang tidak lagi bergantung kepada hukum pidana dan penggunaan pidana penjara sebagai bentuk upaya terakhir. Terkait dengan evaluasi, ketentuan dalam Undang Undang Narkotikalah yang terpenting untuk dilakukan evaluasi. Selain populasi penghuni lapas di Indonesia kebanyakan di dominasi oleh narapidana kasus narkotika juga dalam pasal pasal yang ada di UU narkotikan masih banyak memuat pasal pasal karet dan juga terkait ketentuan rehabilitasi sama sekali tidak memberika kemudahan dalam memperoleh rehabilitasi. Hal ini dipengaruhi oleh tidak diterapkan secara murni muatan yang ada dalam Pasal 127 UU Narkotika. Muatan dalam pasal ini mengatur mengenai seseorang yang diartikan sebagai pengguna maka dia direhabilitasi, walaupun memang ada pilihan dalam pasal ini akan tetapi jarang sekali penuntut umum mengupayakan rehabilitasi. Malahan lebih dominan memakai Pasal 112 UU Narkotika sebab pada dasarnya mainsednya dari apparat penegak hukum masih mengingingkan pemidanaan penjara.

Adapun Upaya pemerintah yang ditulis oelh peneliti untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya yaitu kebijakan restorative justice. Tetapi menurut penulis restorative justice kurang efektif untuk menurunkan jumlah overcrowded di lapas. Selanjutnya ada juga alternative penahanan yang digunakan agar mengurangi jumlah overcrowded. Dengan melihat KUHAP saat ini, alternative penahanan sudah tersedia seperti penahanan kota, penahanan rumah dan mekanisme pengalihan. Akan tetapi kita harus melihat pengaturan dasar sebagai ketentuan pelaksanaan KUHAP, di indonesia pengaturan perundang undangan sebagai bentuk dari pelaksaan ketentuan KUHAP dinilai kurang komperhensip dan actual untuk menjamin pelaksanaan alternative penahanan. Maka perlu adanya kebijakan sebagai bentuk penegakan hukum sebagai pelaksanaan dari ketentuan pemidanaan dalam KUHAP yang tidak hanya berorientasi kepada pembaharuan subtansi hukumnya. Melainkan pembaharuan dalam rangka memperkuat sinergisitas antara Lembaga sehingga kebijakan nasional benar benar dapat menyentuh bidang ekonomi, bidang sosial, system politik dan administrasi negara

Kelebihan Dan Kekurangan Jurnal

Kelebihan jurnal ini adalah penulis menjelaskan secara rinci tentang permasalahan dan asal muasal dari kasus yang di bahas pada jurnal ini. Penulis menyediakan data yang menguatkan argumennya tentang ketidakefektifan sistem Pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia yang menyebabkan overcrowded di lapas. Peneliti juga menjelaskan tentang Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka overcrowded.

Kekurangan dalam jurnal ini adalah peneliti tidak menemukan jawaban yang efektif terhadap permasalahan yang dibahas pada jurnal ini. Peneliti hanya menyajiikan Upaya pemerintah untuk menurunkan angka overcrowded, tetapi apa yang disajikan oleh penulis tidak berpengaruh signifikan untuk mengurangi angka overcrowded.

JURNAL III

REVIEWER : MOCHAMMAD CHAERUL NOVRYAN

DOSEN PENGAMPU : MARKUS MARSELINUS SOGE, S.H., M.H.

Judul Artikel

Pembebasan Bersyarat Menurut Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Di Tengah Masa Pandemi Dalam Rangka Penanggulangan Covid-19

Nama Penulis

Made Harum Pratiwi, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, I Made Minggu Widyantara

Nama Jurnal

Jurnal Preferensi Hukum Vol. 4, No. 1 -- Maret 2022, Hal. 62-67

Link Artikel

https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juprehum/article/view/6430

Pendahuluan/Latar Belakang

Indonesia melandaskan seluruh aktifitas berbangsa dan bernegara pada ketentuan hukum yang berlaku sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 di setiap kondisi tanpa terkecuali (Simbolon, 2020). Seperti saat Indonesia dilanda Coronavirus Disease 19 (Covid-19) yang bersumber dari Kota Wuhan, China yang sudah dinyatakan menjadi pandemic global oleh lembaga WHO tepatnya pada 11 Maret 2020 serta menyebabkan Indonesia mengalami darurat kesehatan. Pemerintah mengambil langkah dengan menghimbau masyarakat agar melaksanakan Physical Distancing, Social Distancing, juga PSBB yang diterbitkan dalam PP No. 21 Tahun 2020 sebagai pelaksana UU No. 6 Tahun 2018 yang mengatur tentang Kekarantinaan Kesehatan karena masifnya penyebaran serta penularan Covid-19 yang tidak dapat dikontrol dan melonjak setiap harinya (Hidayat, 2020).

Social distancing dan physical distancing yang telah diterapkan menjadi solusi guna memutuskan mata rantai Covid-19. Akan tetapi, tak dengan narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan. Sebab di masa pandemi Covid-19, narapidana terasa penuh sesak akibat overcrowding yang terjadi pada Lembaga Pemasyarakatan. Keadaan ini rentan akan tersebarnya Covid-19 karena sulitnya menerapkan social distancing dan physical distancing di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Untuk mengatasi masuknya penyebaran Covid-19 pada Lembaga Pemasyarakatan, Kemenkumham mencetuskan Permenkumham No. 10 Tahun 2020 yang mengatur tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid[1]19 (Amrullah, I & Wibowo, 2021). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui aturan hukum perihal pembebasan narapidana sebagai usaha pencegahan penularan Covid-19 dalam Lembaga Pemasyarakatan dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atas bebas bersyarat narapidana di tengah pandemic.

Konsep/Teori Dan Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui aturan hukum perihal pembebasan narapidana sebagai usaha pencegahan penularan Covid-19 dalam Lembaga Pemasyarakatan dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atas bebas bersyarat narapidana di tengah pandemic.

Metode Penelitian

Penelitian ini berjenis penelitian normatif yakni dengan mengkaji atas dasar aturan-aturan hukum dan referensi terkait untuk menjawab permasalahan hukum yang ada.

Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah hak asasi narapidana yang merupakan pemberian pembebasan bersyarat dalam rangka penganggulangan covid-19.

Pendekatan Penelitian

pendekatan undang-undang (statue approach) yang dilaksanakan dengan melakukan telaah undang-undang sebagai acuan dasar dalam melakukan penelitian.

Jenis Dan Sumber Daya Penelitiannya

Sumber hukum primer yang dipergunakan pada penelitian ini yakni permenkumham no. 10. tahun 2020 tentang syarat. pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka. pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19 dan permenkumham no. 32. tahun 2020 tentang syarat. dan tata cara pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan serta penanggulangan penyebaran covid-19. Sumber hukum sekunder yang mampu membantu menganalisis bahan hukum primer adalah sumber bacaan ilmu pengetahuan hukum, artikel-artikel ilmiah, dan jurnal-jurnal hukum.

Teknik Pengumpulan, Pengolahan, Dan Analisis Data

analisis secara sistematis untuk memperoleh suatu kebenaran guna memahami permasalahan penelitian yang kemudian akan disajikan secara deskriptif analisis dengan menggambarkan aspek-aspek penelitian secara lengkap.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Bebas bersyarat saat masa pandemi Covid-19 diatur Permenkumham No. 10. Tahun 2020 Tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak. Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Hanya saja, syarat pembebasan bersyarat yang tercantum lebih singkat juga terkesan rancu sehingga menimbulkan spekulasi pada masyarakat bahwa kebijakan tersebut memudahkan narapidana untuk mengajukan pembebasan bersyarat. Pemberlakuan Peraturan menkumham No. 10. Tahun 2020 hanya. sampai dengan 31 Desember 2020. Maka dari itu, Kemenkumham mengevaluasi serta menyempurnakan kebijakan tersebut dengan mencetuskan Permenkumham No. 32. Tahun 2020 Tentang Syarat dan Tata. Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti menjelang Bebas, serta Cuti Bersyarat Untuk Narapidana serta Anak Dalam rangka Pencegahan serta Penanggulangan Penyebaran Covid-19 dan mencabut Permenkumham No. 10. Tahun 2020.

Kelebihan Dan Kekurangan

Penullis menjelaskan dengan detail tentang penerapan pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat dalam rangka penanggulangan penyebaran covid-19. Penulis menjelaskan tentang dasar hukum yang dipakai untuk melakukan hal tersebut. Kekurangan dalam jurnal tersebut adalah, peneliti tidak mencantumkan data real yang terjadi di lapangan, sehingga argument penulis tentang penanggulangan penyebaran covid-19 tidak bisa di perkuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun