Mohon tunggu...
cindy karismaputri
cindy karismaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa di UIN Khas Jember

Halloww aku suka travelling dan olahraga loh Barangkali ada yang sama? Ehe

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Neosufisme

12 Desember 2023   19:37 Diperbarui: 12 Desember 2023   20:07 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Pengertian Sufisme dan NeoSufisme

Sufisme atau di kalangan pemikir Barat juga dikenal dengan nama tasawuf. Kata tasawuf tidak dikenal dalam Al-Qur'an, tetapi baru diketahui pada abad III H. Secara etimologis, ada Beberapa pendapat mengenai asal usul kata tasawuf, ada di antaranya mengatakan bahwa Sufi berasal dari kata Shafa yang berarti suci, bersih, murni atau jelas. Pendapat lain mengatakan bahwa Sufi berasal dari kata Shaf berarti garis, sufi selalu dalam shaf pertama ketika berdoa memohon rahmat Allah (swt). Ada juga mereka yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata Shuffah yang berarti serambi sederhana yang terbuat dari tanah dengan sedikit bangunan lebih tinggi dari tanah masjid. Sufi dulu adalah sekelompok sahabat Nabi Muhammad (saw), yang gemar beribadah dan mereka tinggal di serambi masjid Nabawi.

Sufisme, atau tasawuf, adalah suatu aliran dalam Islam yang menekankan aspek spiritualitas dan penyucian diri. Nama "tasawuf" berasal dari bahasa Arab, terkait dengan kata "tashowwafa yatashowwafu-tashowwuf," yang secara harfiah mengandung makna memiliki banyak bulu. Ini mencerminkan konsep bahwa para sufi, yang merupakan praktisi sufisme, melihat diri mereka sebagai rendah di hadapan Tuhan, seperti selembar bulu yang terpisah dan tak memiliki makna. Meskipun tidak semua sufi mengenakan pakaian dari wol, beberapa menggunakan simbolisme ini dalam praktik spiritual mereka.

Terdapat beberapa pandangan tentang asal-usul nama "sufi." Salah satunya adalah bahwa mereka dinamakan demikian karena kesucian hati dan tindakan bersih yang mereka usahakan. Para sufi berupaya membersihkan diri mereka di hadapan Allah melalui latihan spiritual yang mendalam, dengan menjauhi sifat-sifat yang kotor.

Sejumlah pandangan lainnya mengaitkan nama "sufi" dengan keberadaan mereka dalam barisan terdepan saat beribadah, serupa dengan orang-orang yang selalu sholat di barisan pertama dan menerima kemuliaan dari Tuhan. Selain itu, ada pula referensi kepada "ashhb al-Shuffah," yaitu para sahabat Nabi Muhammad Saw. yang tinggal di kamar-kamar masjid, meninggalkan dunia, dan berkonsentrasi dalam ibadah, dekat dengan Rasulullah.

Secara esensial, tasawuf adalah upaya untuk mencapai kesucian dan keterhubungan yang lebih dalam dengan Tuhan. Ini melibatkan penyucian batin dan amalan-amalan yang baik. Terdapat berbagai metode dalam tasawuf, seperti penyendiran diri (khalawt), latihan-latihan spiritual (riydloh), pengakuan dosa dan bertaubat (taubah), dan ketulusan (ikhlas). Dalam intinya, tasawuf adalah jalan yang dimulai dengan ilmu, diikuti dengan amal, dan berakhir dengan karunia Ilahi, yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan mencapai kesucian spiritual.

Sedangkan Neo-Sufisme, yang berasal dari kata "neo" yang berarti baru atau diperbarui, dan "sufisme" yang merupakan istilah umum untuk berbagai aliran sufi dalam Islam, adalah suatu bentuk pembaruan dalam tradisi tasawuf. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Fazlur Rahman, dan menurutnya, Neo-Sufisme merupakan Sufisme yang telah diperbarui atau di-reformasi.

Neo-Sufisme dapat diartikan sebagai upaya untuk menguatkan kembali nilai-nilai Islam yang utuh, yang mencakup kehidupan yang seimbang dalam berbagai aspek kehidupan dan juga ekspresi kemanusiaan. Ini mencerminkan upaya untuk mempertahankan hasil positif dari modernisme sambil mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di dalamnya. Dalam terminologi Fazlur Rahman, Neo-Sufisme adalah tentang mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk, yang dapat dirumuskan sebagai "ambil yang baik dan buang yang buruk".

Gagasan utama dalam neosufisme adalah perubahan orientasi dari pengalaman spiritual yang individual menuju aktivisme sosial. Neosufisme mendorong pemahaman yang lebih positif terhadap dunia dan menekankan keterlibatan aktif dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, perkembangan gerakan sufisme yang dipengaruhi oleh neosufisme terutama berakar dalam ajaran aliran Sunni. Gerakan ini dipopulerkan oleh Hamka, yang melalui karyanya mengusulkan bahwa tasawuf yang sejati adalah yang tetap berakar pada prinsip tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah.

Pemikiran Hamka tentang neosufisme menekankan penghayatan dimensi esoterik Islam secara mendalam, sambil tetap terlibat dalam aspek kehidupan sosial dan masyarakat. Ini berarti bahwa neosufisme Indonesia mendorong para praktisi sufi untuk aktif dalam kehidupan masyarakat tanpa harus mengasingkan diri. Pandangan ini mengubah tradisi sufisme klasik yang lebih cenderung ke pengalaman individu dan menghadirkan kesan yang lebih positif tentang peran sufi dalam masyarakat. Oleh karena itu, neosufisme adalah pendekatan tasawuf yang menekankan pemahaman moral, pengendalian diri, dan keterlibatan aktif dalam masyarakat.

B. Sejarah NeoSufisme

Sejarah Neo-Sufisme dapat ditelusuri dari latar belakang perubahan dalam pemikiran dan praktik sufisme dalam dunia Islam. Istilah "neo-sufisme" pertama kali diperkenalkan dalam dunia akademik oleh Fazlur Rahman. Meskipun istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Rahman, gerakan Neo-Sufisme sebenarnya bukan sesuatu yang sepenuhnya baru. Ini dapat ditelusuri kembali ke paruh akhir abad ke-5 Hijrah (abad ke-11 M).

Pada saat itu, terjadi pendekatan kembali antara kecenderungan Islam yang bersifat spiritual (esoteris) dengan kecenderungan Islam yang bersifat syari'ah (eksoteris atau dalam arti sempit, hukum Islam). Sebelumnya, dalam sejarah perkembangannya, sufisme, yang lebih bersifat filosofis dan metafisik, terlibat dalam konflik yang tajam dengan literalisme hukum yang diwakili oleh fuqaha (ahli hukum Islam).

Pada periode ini, beberapa tempat khusus seperti ribath, khaniqah, dan zawiyah mulai diorganisir oleh penguasa Muslim Sunni. Lembaga-lembaga ini dibangun dalam kompleks madrasah dan ditempatkan di bawah otoritas ulama ortodoks. Lembaga-lembaga sufisme yang tidak terikat pada organisasi resmi Sunni hanya diterima jika mereka memiliki kecenderungan menuju tasawuf dan tidak menciptakan bid'ah yang dianggap bertentangan dengan syari'ah.

Pemaduan aktivitas syari'ah dengan penghayatan yang bersifat haqiqah, yaitu penghayatan yang mendalam dan jujur, menjadi umum di kalangan ulama pada masa itu. Pendekatan semacam ini menjadi cikal bakal dari apa yang kemudian disebut sebagai "neo-sufisme."

Istilah "neo-sufisme" yang diperkenalkan oleh Fazlur Rahman membuka diskusi panjang di kalangan para ahli. Rahman mendefinisikan Neo-Sufisme sebagai sufisme yang telah diperbaharui. Sebagian besar sifat ekstatik, metafisis, dan kandungan mistiko-filosofis yang sebelumnya mendominasi sufisme digantikan oleh kandungan yang lebih sesuai dengan ajaran ortodoks Islam.

Neo-Sufisme menekankan faktor moral yang sesuai dengan kontrol diri puritanis dalam tasawuf. Gagasan utama dalam Neo-Sufisme adalah perubahan orientasi dari pengalaman spiritual yang individual menuju aktivisme sosial, dengan pemahaman positif terhadap dunia dan keterlibatan aktif dalam masyarakat.

Kelompok ahl al-hadith, yang dikenal sebagai kelompok yang sangat mendalami hadith atau riwayat tentang Nabi Muhammad SAW, menjadi salah satu pendorong utama dalam perkembangan Neo-Sufisme. Mereka menyadari bahwa mengabaikan kekuatan sufisme tidak mungkin setelah gerakan sufi membuat banyak wilayah Muslim terpesona secara emosional, spiritual, dan intelektual selama abad ke-6 (ke-12) dan abad ke-7 (ke-13). Mereka mencoba untuk menggabungkan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasi dengan Islam ortodoks.

C. Tujuan Neosufisme

 Tujuan utama dari Neo-Sufisme adalah sebagai berikut:

1. "Membersihkan": 

Maksud dari kata tersebut adalah bahwa Neo-Sufisme bertujuan untuk membersihkan ajaran tasawuf dari unsur-unsur yang dianggap bid'ah (penyimpangan) dan mengintegrasikannya kembali dengan ajaran ortodoks Islam, termasuk teologi dan syari'at. Hal ini merupakan respons terhadap perkembangan pemikiran tasawuf falsafi pada abad XIII yang dianggap telah menyimpang dari ajaran ortodoks Islam. 

2. "Menekankan Aqidah dan Iman": 

Neo-Sufisme menempatkan penekanan yang lebih intens pada penguatan iman (iman) sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam. Hal ini mencakup pemahaman dan keyakinan terhadap prinsip-prinsip aqidah dalam Islam.

3. "Merangkum Ahli Syari'ah dan Ahli Haqiqah": 

Neo-Sufisme mencoba untuk merangkum peran seorang ulama sebagai ahli syari'ah (fuqaha') dan sekaligus ahli haqiqah (sufi). Ini berarti menciptakan kolaborasi antara ajaran syari'ah (hukum Islam) dan sufisme, sehingga seorang ulama memiliki pemahaman yang seimbang tentang aspek hukum dan aspek spiritual dalam Islam.

4. "Menciptakan Sosialisme Spiritual": 

Neo-Sufisme bertujuan untuk mengubah pandangan tentang sufi yang sebelumnya bersifat apatis terhadap komunitas sosial menjadi gerakan sosial yang bertujuan membangkitkan sikap positif terhadap dunia. Dengan demikian, Neo-Sufisme menciptakan konsep spiritualisme sosial, di mana sufi tetap aktif di tengah-tengah masyarakat dan berperan dalam islah (perbaikan) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

5. "Menyatukan Nilai Dunia dan Ukhrani": 

Neo-Sufisme mencoba untuk menyatukan nilai-nilai kehidupan duniawi dengan nilai-nilai kehidupan ukhrawi (akhirat). Hal ini mengubah sikap yang hanya memandang dunia sebagai tempat penghinaan (hina) dan keji (keji) menjadi sikap yang melihat keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat (ukhrawi).

6. "Menggabungkan Tradisi Tasawuf dengan Islam Ortodoks": 

Neo-Sufisme menciptakan kolaborasi antara tradisi tasawuf dengan ajaran Islam ortodoks, dengan fokus pada memahami moral, nilai keimanan yang kuat, dan pemahaman yang seimbang tentang peran sufi dalam masyarakat.

D. Karakteristik NeoSufisme

Karakteristik Neo-Sufisme, berdasarkan data yang diberikan, adalah sebagai berikut:

1. Pemusatan pada Prinsip-prinsip Islam Ortodoks: 

Neo-Sufisme menggantikan unsur-unsur mistis-filosofis dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Hal ini mencakup penekanan pada pemahaman yang benar terhadap akidah Islam.

2. Fokus pada Pembinaan Sosio-Moral Masyarakat Muslim:

 Neo-Sufisme mengalihkan perhatiannya pada pembinaan sosio-moral masyarakat Muslim. Hal ini berbeda dari tasawuf tradisional yang lebih berfokus pada dimensi individu dan kurang terlibat dalam masalah sosial.

3. Sifat "Puritanis dan Aktivis": 

Karakteristik keseluruhan dari Neo-Sufisme adalah "puritanis dan aktivis," menunjukkan bahwa Neo-Sufisme mendorong sikap moral yang kuat dan keterlibatan aktif dalam masyarakat.

4. Penyelarasan dengan Syariah: 

Neo-Sufisme menolak praktek-praktek tasawuf ekstrem, seperti ritual dzikir yang melibatkan tarian dan musik, dan lebih mematuhi konsep syari'ah.

5. Menolak Pemujaan Terhadap Para Wali-Sufi dan Kuburannya: 

Neo-Sufisme menolak fanatisme dalam penghormatan terhadap para wali-sufi dan kuburannya, dengan tujuan menjaga tauhidullah.

6. Penolakan Ajaran Wahdat al-Wujud:

Neo-Sufisme menolak pemahaman ajaran wahdat al-wujud yang dianggap kontroversial dan lebih memahaminya sebagai transendensi Tuhan yang tetap sebagai Khaliq.

7. Penolakan Fanatisme Murid terhadap Guru: 

Neo-Sufisme menolak fanatisme yang membuat murid taat secara mutlak kepada guru mereka, terutama jika perintah guru tersebut bertentangan dengan syari'ah. Hubungan guru-murid harus didasarkan pada komitmen sosial dan moral yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah.                                                                  

8. Posisi Nabi Muhammad sebagai Pendiri Tarekat:

Dalam Neo-Sufisme, Nabi Muhammad ditempatkan sebagai pendiri tarekat yang menjadi teladan dalam berfikir, berdzikir, dan perilaku.

9. Organisasi Massa dengan Struktur Hierarkis: 

Neo-Sufisme menciptakan organisasi massa dengan struktur yang terpusat dan hierarkis di bawah otoritas pendiri tarekat dan para khalifah, tetapi tetap berorientasi pada komunitas sosial.

10. Fokus pada Kajian Hadis Shahih:

Neo-Sufisme menitikberatkan pada kajian hadis atau sunnah yang benar- benar sahih, terutama yang berkaitan dengan rekonstruksi sosial-moral masyarakat.

11. Penolakan Taklid dan Pendorong Ijtihad: 

Neo-Sufisme mendorong individu Muslim untuk memiliki kemampuan ijtihad dan menentang taklid buta pada ulama.

12. Kesediaan Berpolitik dan Patriotisme Militerian: 

Neo-Sufisme menekankan kesediaan untuk berpolitik dan heroik patriotisme militerian untuk membela Islam dan memberikan respons terhadap tantangan ekspansi imperialisme Barat.

E. Tokoh Pemikir NeoSufisme

Tokoh pemikir Neo-Sufisme yang terkemuka dan memberikan sumbangan penting terhadap pemikiran tasawuf adalah Ibn Taimiyyah dan Fazlur Rahman.

1. Ibn Taimiyyah 

Ibn Taimiyyah adalah seorang cendekiawan Islam yang hidup pada abad ke-13. Ia dikenal dengan pandangan kritisnya terhadap praktek tasawuf yang dianggap berlebihan dan cenderung menyimpang dari ajaran Islam ortodoks, terutama dalam kalangan Sunni. Beberapa karakteristik pemikiran Ibn Taimiyyah yang relevan dengan Neo-Sufisme adalah:

  • Keabsahan Tasawuf: 

Ibn Taimiyyah meragukan keabsahan metode tasawuf dalam mencapai kebenaran. Baginya, tidak semua metode tasawuf dapat membawa seseorang kepada kebenaran sejati. Ia mengkritik pandangan yang menganggap makrifat (pengetahuan spiritual) sebagai tujuan akhir tasawuf, dan ia lebih menekankan bahwa tujuan akhir kehidupan manusia adalah ibadah kepada Allah.

  • Penolakan terhadap Konsep Wahdat al-Wujud: 

Salah satu poin kritis Ibn Taimiyyah adalah penolakan terhadap konsep Wahdat al-Wujud, yang menyatakan bahwa semua ciptaan adalah manifestasi Tuhan. Ia melihat konsep ini sebagai sesuatu yang dapat membingungkan perbedaan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.

  • Penolakan Fanatisme Murid terhadap Guru: 

Ibn Taimiyyah juga menolak fanatisme murid terhadap guru (mursyid). Ia berpendapat bahwa ketaatan dan loyalitas terhadap guru tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syari'ah Islam, dan murid memiliki hak untuk menentang guru jika perintahnya bertentangan dengan syari'ah.

  • Penekanan pada Ketaatan dan Jihad: 

Ibn Taimiyyah menghubungkan cinta pada Allah dengan ketaatan kepada-Nya dan jihad. Baginya, cinta pada Allah harus tercermin dalam ketaatan yang mendasar kepada perintah-Nya. Jihad dipandang sebagai konsekuensi alami dari cinta pada Allah, di mana seseorang bersedia berjuang untuk membela Islam.

2. Fazlur Rahman

Fazlur Rahman adalah seorang cendekiawan Muslim yang mengkaji pemikiran tasawuf dari perspektif sejarah sosial dan konteks sosial-historis. Rahman berfokus pada pengembangan spiritualisme dalam Islam dan bagaimana pengalaman spiritual berkembang sepanjang sejarah. Beberapa poin kunci pemikirannya adalah:

  • Asal Usul Spiritualisme dalam Islam: 

Rahman melihat bahwa pengalaman spiritual dalam Islam telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Ini adalah bagian dari misi kenabiannya, dan sahabat-sahabat Nabi mengalami pengalaman spiritual, tetapi mereka tidak menjadikannya sebagai fokus utama. Pengalaman spiritual dipandang sebagai aspek kekhususan dalam penghayatan ajaran Islam.

  • Reaksi Terhadap Isolasi Sosial: 

Rahman menyoroti bahwa gerakan asketisme dalam Islam adalah reaksi terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan pada zamannya. Penguasa Umayyah mendorong para individu untuk meningkatkan kesalehannya secara individual, yang menyebabkan perkembangan gerakan ini. Akan tetapi, Rahman menekankan bahwa isolasi yang ekstrem dan penghindaran dari dunia tidak sesuai dengan ajaran Islam yang utama, yang menekankan kehidupan dalam masyarakat.

  • Kehidupan Sosial dan Konteks: 

Fazlur Rahman menekankan bahwa kesucian seseorang harus tercermin dalam kehidupan sosial dan konteksnya. Pandangannya berfokus pada sosial-historis kemanusiaan dan konteks sosial yang memerlukan respons sosial dan moral yang positif. Baginya, kesucian dalam Islam bukanlah hasil isolasi dari dunia, tetapi berada di dalamnya dalam bentuk gerakan yang menciptakan sejarah dan mempromosikan kebaikan sosial.

Kedua pemikir ini, Ibn Taimiyyah dan Fazlur Rahman, memiliki pandangan yang kritis terhadap aspek-aspek tertentu dalam praktik tasawuf dan menekankan perlunya pemahaman yang seimbang dan sesuai dengan ajaran Islam. Pemikiran mereka telah memberikan sumbangan penting terhadap perkembangan Neo-Sufisme yang lebih menekankan ketaatan, kehidupan sosial, dan konteks dalam spiritualitas Islam.

F. Konsep Tasawuf Dalam NeoSufisme

Konsep Tasawuf dalam Neosufisme adalah sebuah pembaruan tasawuf yang dipelopori oleh pemikir seperti Ibn Taimiyyah dan muridnya Ibn Qayyim sebagai reaksi terhadap penyebaran pengaruh doktrin wahdat al-wujud dalam tasawuf. Neosufisme bertujuan untuk menghadirkan tasawuf yang lebih sesuai dengan ajaran Islam ortodoks. Beberapa ciri utama konsep Tasawuf dalam Neosufisme adalah sebagai berikut:

1. Fokus pada Faktor Moral: 

Neo Sufisme adalah aliran dalam Islam yang menggabungkan prinsip-prinsip tasawuf atau mistisisme dengan konteks modern. Salah satu fokus utama dalam neo Sufisme adalah pada faktor moral. Untuk menjelaskan konsep tasawuf dalam neo Sufisme yang menekankan faktor moral secara detail, berikut adalah beberapa poin kunci:

  • Pemahaman Moral:

Dalam neo Sufisme, moralitas ditekankan sebagai bagian integral dari praktik spiritual. Pemahaman moral mencakup prinsip-prinsip seperti kebaikan, keadilan, kasih sayang, dan empati. Para penganut neo Sufisme meyakini bahwa moralitas adalah landasan untuk mencapai kesempurnaan spiritual.

  • Kebebasan Dalam Moralitas:

Neo Sufisme menekankan kebebasan individu dalam memilih jalur moral mereka. Mereka percaya bahwa kesadaran moral harus tumbuh secara alami dari dalam diri individu, bukan dipaksakan dari luar. Ini menciptakan kesadaran moral yang lebih dalam dan berkelanjutan.

  • Transformasi Diri:

Neo Sufisme memandang tasawuf sebagai alat untuk transformasi diri yang mendalam. Para penganut berupaya untuk mengenali dan mengatasi hawa nafsu serta sifat-sifat buruk mereka melalui praktik spiritual seperti meditasi, dzikir (zikir), dan kontemplasi.

  • Etika dalam Hubungan Sosial:

Faktor moral dalam neo Sufisme juga diterapkan dalam hubungan sosial. Mereka mendukung perdamaian, toleransi, dan kesejahteraan sosial. Ini berarti bahwa penganut neo Sufisme harus berperan aktif dalam mempromosikan keadilan sosial dan mendukung yang lemah.

  • Cinta dan Kasih Sayang:

Cinta (Ishq) dan kasih sayang (Mahabbah) adalah elemen penting dalam neo Sufisme. Mereka percaya bahwa dengan mengembangkan cinta dan kasih sayang kepada Tuhan, individu dapat mencapai pemahaman moral yang lebih dalam. Cinta kepada Tuhan juga menciptakan keterhubungan sosial yang lebih baik.

  • Mengatasi Ego dan Kesombongan:

NeoSufisme mengajarkan pentingnya mengatasi ego dan kesombongan. Mereka percaya bahwa kesombongan adalah penghalang utama dalam mencapai pemahaman moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu, merendahkan diri (tawadhu) dan merendahkan ego adalah prinsip penting dalam neo Sufisme.

2. Penggantian Sifat Ekstatik dengan Doktrin Agama: 

Konsep tasawuf dalam neo Sufisme yang menekankan penggantian sifat ekstatik dengan doktrin agama mengacu pada upaya untuk memadukan prinsip-prinsip tasawuf dengan aspek lebih ortodoks atau doktrinal dalam agama Islam. Ini mencerminkan perubahan dalam fokus praktik tasawuf, lebih menekankan pemahaman yang lebih dalam terhadap ajaran agama daripada pengalaman mistis yang ekstatik. Berikut adalah penjelasan detail tentang konsep ini:

  • Penekanan pada Pengetahuan dan Doktrin:

Dalam neo Sufisme, penekanan diberikan kepada pemahaman yang mendalam tentang ajaran dan doktrin agama Islam. Para penganut berupaya untuk memahami teks-teks suci, hukum-hukum agama, dan prinsip-prinsip keyakinan dengan cermat. Ini menciptakan dasar yang lebih kuat untuk kehidupan spiritual mereka.

  • Kurangi Aspek Ekstasis:

Sifat ekstatik seperti semangat dan pengalaman mistis yang intens yang seringkali terkait dengan tasawuf tradisional dapat dikurangi dalam neo Sufisme. Ini karena penganut neo Sufisme lebih menitikberatkan pada perjalanan intelektual dan pemahaman konsep-konsep agama daripada pada pengalaman ekstasis.

  • Akomodasi Terhadap Keberagaman Agama:

Neo Sufisme dapat mengambil pendekatan yang lebih inklusif terhadap keberagaman agama. Mereka mungkin lebih terbuka terhadap dialog antar-agama dan mencari kesamaan antara ajaran-ajaran agama yang berbeda. Ini sejalan dengan penekanan pada doktrin dan keyakinan universal yang mendasari semua agama.

  • Penerapan Ajaran dalam Kehidupan Sehari-hari:

Penganut neo Sufisme berusaha untuk menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ini termasuk aspek praktis seperti etika, moralitas, dan tanggung jawab sosial. Mereka melihat praktik agama sebagai cara untuk mencapai kesempurnaan spiritual.

  • Pendidikan dan Pembelajaran:

Neo Sufisme mendorong pendidikan dan pembelajaran yang terus-menerus dalam konteks ajaran agama. Mereka meyakini bahwa pengetahuan adalah kunci untuk pemahaman yang lebih dalam terhadap Tuhan dan perjalanan spiritual.

  • Penekanan pada Etika dan Moralitas:

Sama seperti konsep sebelumnya yang menekankan faktor moral, neo Sufisme yang menggantikan sifat ekstatik dengan doktrin agama juga menekankan etika dan moralitas sebagai landasan penting dalam perjalanan spiritual. Etika dan moralitas digunakan sebagai panduan dalam hidup sehari-hari dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dengan demikian, neo Sufisme yang fokus pada penggantian sifat ekstatik dengan doktrin agama menekankan perpaduan yang lebih erat antara tasawuf dan ajaran agama Islam, dengan penekanan yang lebih kuat pada pemahaman, pengetahuan, dan praktik praktis yang sesuai dengan nilai dan ajaran agama. Ini menciptakan pendekatan tasawuf yang lebih berbasis doktrinal dan kontekstual.

3. Pemberian Keutamaan pada Dzikr dan Murqabat: 

Konsep tasawuf dalam neo Sufisme yang memberikan keutamaan pada dzikir dan muraqabat mencerminkan penekanan yang kuat pada praktik spiritual yang terpusat pada pengingatan Tuhan (dzikir) dan introspeksi spiritual (muraqabat). Praktik ini menjadi pusat perhatian dalam perjalanan spiritual mereka. Berikut penjelasan detailnya:

  • Dzikir (Pengingatan Tuhan):

Dzikir adalah praktik berulang yang melibatkan pengucapan nama-nama Tuhan atau frase-frase spiritual. Dalam neo Sufisme, dzikir menjadi sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Penganut neo Sufisme meyakini bahwa pengingatan yang berkesinambungan tentang Tuhan membantu membersihkan pikiran dan hati dari pengaruh negatif dan memperkuat hubungan spiritual dengan Yang Maha Kuasa.

  • Muraqabat (Introspeksi Spiritual):

Muraqabat adalah praktik introspeksi spiritual yang dilakukan dengan mengamati diri sendiri dan memeriksa batin. Ini melibatkan refleksi mendalam tentang perbuatan, niat, dan hubungan dengan Tuhan. Neo Sufisme memberikan keutamaan pada muraqabat sebagai cara untuk lebih memahami diri sendiri dan memperbaiki kualitas hubungan spiritual.

  • Penekanan pada Kesadaran Diri:

Dalam neo Sufisme, praktik dzikir dan muraqabat membantu individu meningkatkan kesadaran diri mereka. Ini mencakup pemahaman yang lebih dalam tentang kelemahan, keinginan duniawi, dan pengaruh ego. Kesadaran diri merupakan langkah awal dalam transformasi spiritual.

  • Penyucian Hati dan Pikiran:

Dzikir dan muraqabat digunakan sebagai sarana untuk membersihkan hati dan pikiran dari gangguan dan pencemaran spiritual. Praktik ini membantu menghapus sifat-sifat buruk dan emosi negatif, sehingga menciptakan ruang untuk kualitas spiritual yang lebih tinggi.

  • Pengalaman Mistis:

Meskipun neo Sufisme menekankan pemahaman dan praktik yang lebih rasional, praktik dzikir dan muraqabat juga dapat membawa individu ke pengalaman mistis. Pengalaman ini mungkin lebih tenang dan terkendali daripada ekstasis yang terkait dengan tasawuf tradisional.

  • Hubungan Pribadi dengan Tuhan:

Praktik dzikir dan muraqabat juga memungkinkan penganut neo Sufisme untuk memperkuat hubungan pribadi mereka dengan Tuhan. Mereka percaya bahwa dengan fokus pada pengingatan dan introspeksi, mereka dapat mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan dan cinta yang lebih mendalam.

Dengan demikian, dalam konsep tasawuf dalam neoSufisme yang memberikan keutamaan pada dzikir dan muraqabat, praktik spiritual ini menjadi sarana utama untuk mencapai kesempurnaan spiritual. Mereka membantu individu membersihkan diri mereka, meningkatkan kesadaran diri, dan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui pengingatan dan introspeksi yang teratur. Praktik-praktik ini menciptakan pondasi yang kuat untuk pertumbuhan spiritual dalam kerangka neo Sufisme.

4. Sikap Positif terhadap Dunia: 

Konsep tasawuf dalam neo Sufisme yang mencakup sikap positif terhadap dunia menggabungkan unsur-unsur tasawuf dengan pandangan yang lebih inklusif terhadap kehidupan dunia dan aspirasi spiritual. Ini mencerminkan perubahan dalam pendekatan tasawuf yang lebih terbuka terhadap keterlibatan dalam dunia sehari-hari. Berikut adalah penjelasan detailnya:

  • Keseimbangan Antara Dunia dan Spiritualitas:

Dalam konsep tasawuf dalam neo Sufisme yang menekankan sikap positif terhadap dunia, terdapat pemahaman bahwa dunia dan spiritualitas tidak harus saling bertentangan. Sebaliknya, dunia dapat menjadi wadah untuk mencapai kesempurnaan spiritual. Ini menciptakan keseimbangan antara kewajiban dunia dan aspirasi spiritual.

  • Tasawuf Inklusif:

Neo Sufisme mengadopsi pendekatan inklusif terhadap tasawuf, yang memungkinkan penganutnya untuk menjalani kehidupan aktif dalam masyarakat sambil tetap mempraktikkan prinsip-prinsip tasawuf. Mereka memandang kehidupan dunia sebagai peluang untuk mencapai kesempurnaan spiritual.

  • Keterlibatan Sosial dan Kemanusiaan:

Sikap positif terhadap dunia dalam neo Sufisme mendorong keterlibatan dalam masalah sosial dan kemanusiaan. Penganutnya percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membantu yang lemah dan mempromosikan keadilan sosial. Mereka menggunakan prinsip-prinsip tasawuf sebagai pedoman dalam berperan aktif dalam dunia.

  • Pencarian Makna Dalam Tindakan Sehari-hari:

Penganut neo Sufisme mencoba mencari makna spiritual dalam tindakan sehari-hari mereka. Bahkan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari dapat dijalani dengan kesadaran spiritual. Ini menciptakan hubungan yang lebih mendalam antara dunia fisik dan dunia rohani.

  • Pemahaman Terhadap Keinginan Duniawi:

Neo Sufisme memberikan pemahaman yang lebih positif terhadap keinginan duniawi. Mereka melihatnya sebagai sarana untuk menguji dan mengendalikan diri, bukan sebagai hambatan mutlak terhadap kesempurnaan spiritual. Dengan pendekatan ini, mereka mengintegrasikan keinginan duniawi ke dalam perjalanan spiritual mereka.

  • Kesejahteraan Pribadi dan Keseimbangan Emosi:

Penganut neo Sufisme berupaya mencapai kesejahteraan pribadi dan keseimbangan emosi. Mereka percaya bahwa dengan menciptakan harmoni dalam diri mereka dan dengan dunia luar, mereka dapat mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam.

Dengan demikian, konsep tasawuf dalam neo Sufisme yang mencakup sikap positif terhadap dunia mempromosikan pandangan yang lebih inklusif terhadap kehidupan sehari-hari dan aspirasi spiritual. Ini menciptakan kesempatan untuk terlibat dalam dunia secara positif sambil tetap mempertahankan perjalanan spiritual yang mendalam. Pendekatan ini menciptakan harmoni antara dunia fisik dan dunia rohani, memungkinkan individu untuk mencapai kesempurnaan spiritual dalam konteks kehidupan yang lebih luas.

5. Penolakan Klaim Ke-Ma'shman: 

Konsep tasawuf dalam neo Sufisme yang menolak klaim ke ma'shuman (menjadi Tuhan atau bersekutu dengan Tuhan) mencerminkan penolakan terhadap klaim bahwa individu dapat menyamakan diri dengan Tuhan atau memiliki hubungan setara dengan Tuhan. Hal ini menunjukkan kepatuhan yang lebih kuat terhadap konsep ketuhanan yang tegas dalam Islam. Berikut adalah penjelasan detailnya:

  • Tauhid (Monoteisme) yang Kuat:

Neo Sufisme menegaskan prinsip tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang tiada bandingan. Mereka menekankan bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, dan segala bentuk klaim yang mengarah pada kesetaraan atau ketergantungan yang berlebihan pada individu adalah tidak benar.

  • Penolakan Terhadap Kesalahan Konseptual:

Konsep tasawuf dalam neo Sufisme menolak pemahaman yang keliru tentang hubungan antara pencari dan Yang Maha Kuasa. Mereka menekankan bahwa individu adalah makhluk yang lemah dan terbatas, sedangkan Allah adalah Sang Pencipta yang Mahakuasa. Klaim ke ma'shuman disebut sebagai kesalahan konseptual yang mengganggu pemahaman yang benar tentang Tuhan.

  • Penekanan pada Ketaatan dan Khidmat:

Penganut neo Sufisme menekankan pentingnya ketaatan kepada Allah dan melayani Tuhan dengan tulus. Mereka percaya bahwa melalui ketaatan dan khidmat yang tulus, individu dapat mencapai kedekatan dengan Tuhan tanpa menyamakan diri dengan-Nya.

  • Kendali Ego dan Kesombongan:

Neo Sufisme menekankan pengendalian ego dan kesombongan. Mereka melihat klaim ke ma'shuman sebagai manifestasi dari kesombongan dan ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip tauhid. Oleh karena itu, penganut neo Sufisme berupaya untuk merendahkan diri dan mengekang ego dalam perjalanan spiritual mereka.

  • Penghargaan terhadap Keagungan Tuhan:

Neo Sufisme mengajarkan penghargaan yang mendalam terhadap keagungan Tuhan. Mereka meyakini bahwa keagungan Tuhan tidak bisa dicapai oleh manusia, dan klaim sebaliknya adalah tindakan yang tidak pantas dan berpotensi menyesatkan.

Dengan demikian, konsep tasawuf dalam neo Sufisme yang menolak klaim ke ma'shuman menegaskan pentingnya tauhid yang kuat dalam Islam dan menekankan bahwa hubungan individu dengan Tuhan adalah hubungan antara penciptaan dan Sang Pencipta. Hal ini menciptakan kerendahan hati, pengendalian ego, dan penghargaan terhadap keagungan Tuhan dalam perjalanan spiritual mereka.

6. Penerimaan Terminologi Tasawuf: 

Meskipun ada perubahan pendekatan, pemikir-pemikir neosufisme masih menggunakan terminologi tasawuf, seperti istilah slik (penempuh jalan kerohanian). Mereka mencoba untuk memasukkan makna moral yang lebih puritan dan sesuai dengan ortodoksi Islam ke dalam terminologi tersebut.

Gerakan Neosufisme mendapat pengakuan dan dukungan dari ulama ortodoks dan segera menjadi sebuah gerakan tasawuf baru yang berhasil membersihkan tasawuf dari penyimpangan dan tambahan unsur yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini mengawinkan tasawuf kontemplatif-purifikatif dengan syariat, teologi, dan moralitas, serta diterima dalam lingkaran ortodoksi Sunni. Dengan demikian, konsep Tasawuf dalam Neosufisme menunjukkan upaya untuk menyelaraskan ajaran spiritualitas dengan nilai-nilai Islam ortodoks dan kehidupan sosial yang lebih kuat. 

G. Reformulasi Neosufisme

Reformulasi Konsep-Konsep Neosufisme dalam Kehidupan Sehari-hari:

1. Taubat

Dalam menafsirkan pertobatan, para sufi berbeda pendapat, tetapi Secara garis besar, dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: Pertama, pertobatan dalam arti meninggalkan semua kefasikan dan melakukan kebajikan terus menerus. Kedua, untuk keluar dari kejahatan dan masuk ke dalam kebaikan karena takut murka Allah. Ketiga, pertobatan adalah berkelanjutan meskipun tidak pernah lagi melakukan tindakan berdosa, yang disebut pertobatan nasuha.  

Menurut al-Mishri, pertobatan ada dua macam, yaitu pertobatan Orang biasa adalah pertobatan dari kesalahan dan dosa dan pertobatan khawas yaitu pertobatan dari kelalaian. Tobat dalam pandangan Sufisme adalah pertobatan sejati, yaitu melupakan segalanya hal-hal kecuali Allah SWT dan selalu mengadakan perenungan tentang Allah SWT.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, taubat dalam Neosufisme dapat diartikan sebagai usaha yang kuat dan tekad untuk meninggalkan perilaku buruk serta memperbaiki diri secara berkelanjutan. Ini melibatkan komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan intensifikasi praktik dzikir sebagai sarana untuk membersihkan diri dari dosa-dosa.

Contoh : 

Ahmad adalah seorang pebisnis sukses yang pada suatu hari menyadari bahwa bisnisnya telah melibatkan praktik-praktik tidak etis. Dia merasa sangat menyesal dan berkomitmen untuk mengubah perilaku bisnisnya. Setiap pagi, dia berzikir dan meminta ampunan Allah sambil mengejar integritas dalam bisnisnya. Dia secara teratur menyumbangkan sebagian dari keuntungannya untuk tujuan amal sebagai tanda taubat dan dedikasi untuk melakukan yang benar.

2. Zuhud 

Zuhud didefinisikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan material. Tapi al-Ghazali Memaknai zuhud dengan mengurangi keinginan akan dunia dan menjauhkan diri secara sadar. Menurut pandangan Sufi, dunia dan semua kehidupan materialnya adalah sumbernya Kekerasan dan menyebabkan atau memotivasi terjadinya tindakan jahat yang menyebabkan kerusakan dan dosa. Oleh karena itu, calon sufi harus zahid terlebih dahulu.

Menurut Ahmad bin Hambal, ada tiga macam zuhud, yaitu: Zuhud berbaring dengan meninggalkan orang-orang haram, zuhud Khawas dengan meninggalkan Shubhat dan mengurangi sesuatu yang halal bagi dirinya sendiri, dan Zuhud orang bijak dengan meninggalkan segala sesuatu yang akan menghalanginya dari Allah SWT.  

Dalam era modern, konsep zuhud bisa diterjemahkan sebagai berusaha menjalani kehidupan sederhana dan tulus. Ini mencakup tidak hanya menjauhi kekayaan materi yang berlebihan tetapi juga tidak membiarkan kekayaan itu mempengaruhi perilaku dan hubungan dengan Allah. Zuhud adalah tentang memprioritaskan nilai-nilai spiritual dalam hidup sehari-hari.

Contoh :

Aisha adalah seorang profesional muda yang hidup di kota besar. Meskipun dia memiliki pekerjaan yang baik dan gaji yang tinggi, dia telah memilih untuk tinggal di apartemen sederhana dan membagikan sebagian besar pendapatannya kepada yayasan amal. Dia menyadari bahwa kekayaan materi tidak membawanya lebih dekat kepada Allah. Dengan cara ini, dia menjalani kehidupan yang sederhana dan tulus dalam pengejaran nilai-nilai spiritual.

3. Wara

Al-Wara' adalah menghindari segala sesuatu yang tidak baik. Tapi Para sufi memiliki pandangan sendiri, wara' berarti meninggalkan sesuatu yang tidak jelas hukumnya, seperti Ibrahim ibn Adham berpendapat bahwa Wara' adalah meninggalkan suatu kemewahan dan segala hal yang masih diragukan. Dari segi jenis, wara' dibagi menjadi dua, yaitu wara' ke luar, yaitu tidak menggunakan anggota badan untuk hal-hal yang tidak disetujui oleh Allah st, dan wara' bathiniyah yaitu tidak mengisi hatinya kecuali Allah

Dalam kehidupan sehari-hari, wara' dapat diinterpretasikan sebagai sikap hati-hati dan berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Ini melibatkan penghindaran dari situasi atau tindakan yang tidak jelas hukumnya dan berusaha untuk selalu melakukan hal yang baik dan benar dalam segala aspek kehidupan.

Contoh :

Saif adalah seorang pelajar yang sedang menjalani ujian besar. Meskipun temannya menawarkan metode curang, dia tegas menolaknya karena tahu bahwa itu adalah tindakan yang tidak benar. Dia menjalani ujian dengan jujur dan hati-hati, menghindari segala bentuk kecurangan, karena dia menghormati prinsip wara' dalam menjalani hidupnya.

4. Al-Faqr

Al-Faqr secara harfiah biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, orang yang membutuhkan atau miskin. Sementara dalam pandangan sufi tidak meminta lebih dari apa yang sudah kita miliki, Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk bisa lari kewajiban, tidak meminta meskipun mereka tidak ada dalam diri sendiri kami. Jika diberikan diterima, jangan minta, tapi juga jangan menolak

Al-Faqr dalam kehidupan sehari-hari dapat direfleksikan sebagai sikap syukur dan tidak pernah merasa kekurangan, terlepas dari seberapa besar rezeki yang diterima. Ini melibatkan rasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah dan bersikap rendah hati tanpa keserakahan dan kebanggaan.

Contoh :

Khadijah adalah seorang ibu tunggal yang menghidupi anak-anaknya dengan pekerjaan paruh waktu. Meskipun memiliki keterbatasan finansial, dia tidak pernah meminta lebih dari yang dia butuhkan dan selalu bersyukur atas rezeki yang diberikan Allah. Dia mengajarkan anak-anaknya untuk hidup sederhana dan tulus, tanpa keserakahan dan kebanggaan.

5. Sabar

Kesabaran secara harfiah berarti menahan diri. Menurut al-Ghazali Kesabaran adalah salah satu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuh atas dorongan agama. sabar yang dimaksud para Sufi adalah konsekuensial dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dan bertahan dalam ujian yang ditimpakan kepadanya. Untuk mencapai kesabaran tersebut tidak akan terwujud tanpa melakukan latihan dan perjuangan dalam menghadapi tantangan lhiryah maupun bathiniyah. 

             Sabar dalam kehidupan sehari-hari berarti mampu menahan diri dalam menghadapi tantangan dan cobaan, baik dalam hal ketaatan atau kesulitan. Ini mencakup kemampuan untuk tetap konsisten dalam menjalani prinsip-prinsip keagamaan dan moralitas bahkan dalam situasi sulit.

Contoh :

Abdullah adalah seorang pekerja sosial yang setiap hari dihadapkan pada kisah-kisah tragis dan penderitaan orang lain. Meskipun dia merasa sedih dan terpukul oleh kisah-kisah tersebut, dia sabar dalam menghadapinya. Dia tetap konsisten dalam membantu mereka yang membutuhkan dan tidak pernah kehilangan keyakinan pada kebaikan dan keadilan.

6. Tawakkal

Tawakkal yaitu bersandar atau mempercayakan diri kepada Allah SWT. Tawakkal dalam studi Sufi terdiri dari tiga tingkatan Yaitu: Tawakkal berarti ketenangan hati terhadap apa yang telah terjadi dijanjikan oleh Tuhan, menyerahkan urusan kepada Tuhan karena dia yang mengetahui kondisi dirinya, dan merasa senang menerima kekuatan Tuhan.

Tawakkal dalam keseharian bisa diterjemahkan sebagai berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan percaya bahwa apa pun yang terjadi adalah kehendak-Nya. Ini melibatkan melepaskan kekhawatiran dan mempercayakan segala urusan kepada Allah sambil menjalani hidup dengan penuh keyakinan.

Contoh :

Fatimah adalah seorang wanita yang baru saja kehilangan pekerjaannya. Alih-alih panik, dia merasa percaya diri bahwa Allah akan memberinya jalan keluar. Dia terus berusaha mencari pekerjaan baru dan berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Akhirnya, dia menemukan pekerjaan yang jauh lebih baik dari yang dia bayangkan.

7. Ridha

Ridha secara harfiah rela, suka, bersedia. Ridha menurut Harun Nasution adalah menerima qadha dan qadar Allah, Dengan senang hati, untuk itu semua perasaan benci di hati Itu harus dibuang sampai yang tersisa adalah perasaan senang dan berbahagialah walaupun ditimpa musibah ia tetap menerima seperti ketika dia mendapat kasih karunia dan nikmat.

Dalam kehidupan sehari-hari, ridha berarti merasa bahagia dan puas dengan segala yang Allah berikan, baik dalam keadaan baik maupun buruk. Ini melibatkan menerima nasib dan takdir dengan hati yang lapang serta terus menjalani kehidupan dengan penuh keikhlasan.

Contoh :

Yusuf adalah seorang petani yang musim panen ini sangat buruk, menyebabkan kerugian besar. Namun, dia menerima nasib dengan hati lapang, mengetahui bahwa itu adalah kehendak Allah. Meskipun keadaannya sulit, dia tetap bersyukur atas apa yang dia miliki dan menjalani hidupnya dengan rasa ridha.

Reformulasi ini mencerminkan upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip Neosufisme dalam kehidupan sehari-hari dengan mempertimbangkan konteks modern dan nilai-nilai moral Islam. Konsep-konsep tersebut mengajarkan perilaku yang berpusat pada ketulusan, keikhlasan, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dalam hidup manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun