Pada saat itu, terjadi pendekatan kembali antara kecenderungan Islam yang bersifat spiritual (esoteris) dengan kecenderungan Islam yang bersifat syari'ah (eksoteris atau dalam arti sempit, hukum Islam). Sebelumnya, dalam sejarah perkembangannya, sufisme, yang lebih bersifat filosofis dan metafisik, terlibat dalam konflik yang tajam dengan literalisme hukum yang diwakili oleh fuqaha (ahli hukum Islam).
Pada periode ini, beberapa tempat khusus seperti ribath, khaniqah, dan zawiyah mulai diorganisir oleh penguasa Muslim Sunni. Lembaga-lembaga ini dibangun dalam kompleks madrasah dan ditempatkan di bawah otoritas ulama ortodoks. Lembaga-lembaga sufisme yang tidak terikat pada organisasi resmi Sunni hanya diterima jika mereka memiliki kecenderungan menuju tasawuf dan tidak menciptakan bid'ah yang dianggap bertentangan dengan syari'ah.
Pemaduan aktivitas syari'ah dengan penghayatan yang bersifat haqiqah, yaitu penghayatan yang mendalam dan jujur, menjadi umum di kalangan ulama pada masa itu. Pendekatan semacam ini menjadi cikal bakal dari apa yang kemudian disebut sebagai "neo-sufisme."
Istilah "neo-sufisme" yang diperkenalkan oleh Fazlur Rahman membuka diskusi panjang di kalangan para ahli. Rahman mendefinisikan Neo-Sufisme sebagai sufisme yang telah diperbaharui. Sebagian besar sifat ekstatik, metafisis, dan kandungan mistiko-filosofis yang sebelumnya mendominasi sufisme digantikan oleh kandungan yang lebih sesuai dengan ajaran ortodoks Islam.
Neo-Sufisme menekankan faktor moral yang sesuai dengan kontrol diri puritanis dalam tasawuf. Gagasan utama dalam Neo-Sufisme adalah perubahan orientasi dari pengalaman spiritual yang individual menuju aktivisme sosial, dengan pemahaman positif terhadap dunia dan keterlibatan aktif dalam masyarakat.
Kelompok ahl al-hadith, yang dikenal sebagai kelompok yang sangat mendalami hadith atau riwayat tentang Nabi Muhammad SAW, menjadi salah satu pendorong utama dalam perkembangan Neo-Sufisme. Mereka menyadari bahwa mengabaikan kekuatan sufisme tidak mungkin setelah gerakan sufi membuat banyak wilayah Muslim terpesona secara emosional, spiritual, dan intelektual selama abad ke-6 (ke-12) dan abad ke-7 (ke-13). Mereka mencoba untuk menggabungkan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasi dengan Islam ortodoks.
C. Tujuan Neosufisme
 Tujuan utama dari Neo-Sufisme adalah sebagai berikut:
1. "Membersihkan":Â
Maksud dari kata tersebut adalah bahwa Neo-Sufisme bertujuan untuk membersihkan ajaran tasawuf dari unsur-unsur yang dianggap bid'ah (penyimpangan) dan mengintegrasikannya kembali dengan ajaran ortodoks Islam, termasuk teologi dan syari'at. Hal ini merupakan respons terhadap perkembangan pemikiran tasawuf falsafi pada abad XIII yang dianggap telah menyimpang dari ajaran ortodoks Islam.Â
2. "Menekankan Aqidah dan Iman":Â
Neo-Sufisme menempatkan penekanan yang lebih intens pada penguatan iman (iman) sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam. Hal ini mencakup pemahaman dan keyakinan terhadap prinsip-prinsip aqidah dalam Islam.