Aku memang bukan siapa-siapa. Aku memang begini-begini saja. Aku hanyalah anak perempuan ibu yang mencoba untuk menjadi wanita kuat, cerdas dan tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain.
Aku tidak berada di tempat yang tinggi, tapi Tuhan meninggikan aku. Seharusnya aku balik katakan, "Kamu siapa, berani sekali berbuat tidak baik padaku?". Sayangnya mulutku masih bisa menahan untuk mengumbar emosi.
Senja belum berpulang dengan sempurna, di ujung takbir pada alunan adzan, matahari masih sisakan bagiannya sebelum malam menggantikan posisinya.
Warna langit senja yang begitu indah, jarang aku lihat seperti ini. Apakah adzannya terlalu cepat atau matahari yang terlambat pulang?
Kaki melangkah pelan, agak kuseret sedikit karena rupanya kepala dan badankuku belum siap bertemu angin sore. Baru saja beberapa langkah, badan serasa mau ambruk.
"Dru, kamu jalan kok sempoyongan sih. Belum sembuh ya? Jangan paksa ke mesjid lah, Dru."
"Aku bosan di rumah. Seperti hidup di dalam kotak. Malah tidak kunjung sembuh sakitku."
"Ya sabar dong, Dru. Namanya juga sakit. Aku antar pulang yuk!"
"Kamu kan harus maghriban juga Bram. Teruskan saja yuk. Nanggung sebentar lagi sampai."
Kubasuh wajahku, kubersihkan bagian lainnya. Kuhamparkan sajadah, kuambil posisi dekat pintu keluar, agar kalau tiba-tiba ambruk, orang-orang mudah mengeksekusi.
Biasanya ada ibu di sebelahku. Aku bermanjaan sesaat setelah tahiyatul mesjid. Lalu ngobrol sebentar setelah salam dan memanjatkan doa pada-Nya.