Sepeninggal Ibu, Bram yang sering hadir menemani aku. Di sela kesibukannya, ada saja satu waktu yang Bram sempatkan untukku. Perlahan aku mulai menyukai Bram. Perlahan ada benih cinta yang kutanam. Perlahan ada doa yang aku panjatkan.
"Hei, melamun. Sudah waktunya minum obat. Kamu makan sedikit ya!"
"Aku sudah sembuh kok, Bram."
"Sembuh kok merepotkan. Sudah tak usah debat. Minum!"
Bram lihai seperti ibu. Aku tak sampaikan apapun, tapi Bram menyiapkan minum seperti yang Ibu siapkan untukku. Bram siapkan camilan dan Bram siapkan obat yang harus aku minum.
"Bram kamu itu siapa sih?"
"Aku, ya Bramantyo. Temannya Dru, yang sayang sama Dru, yang suka sama Dru, yang menerima pesan Ibu untuk menjaga Dru, yang siap melindungi Dru namun sayang Dru belum tahu kalau seorang Bramantyo ingin lebih dari sekadar teman."
"Apa sih Bram. Aku tak paham?"
"Tak usah dipahami Dru, rasakan saja. Kelak ada banyak doa dan harap yang akan hadir di antara aku dan kamu."
Kurapikan posisi dudukku.
Bram membereskan obat dan minumanku. Kulihat ibu di sebelah Bram tersenyum padaku.