Biasanya Ibu akan ambilkan obat, siapkan teh hangat, sedikit camilan dan menemani aku sampe tertidur pulas.
"Kamu itu kebiasaan, kalau sudah tidak betah kerja pasti sering sakit."
"Kok Ibu paham sekali Bu?"
"Laiya kan Ibu perhatikan. Memang ada masalah apa lagi sih?. Kok Kamu ngebet banget ingin resign."
Obrolan kami terakhir hanya aku jawab dengan senyuman. Kenyataannya aku mencoba bertahan, karena aku sendiri malas cari pekerjaan baru.
Tidak ada yang bisa gantikan ibu. Sampai saat ini aku masih menagih janji pada ibu. Kata ibu, jika saatnya tiba, ibu akan minta Tuhan seseorang untuk melindungi aku.
Siapa, Bu? Siapa yang akan menjaga aku, menemani aku, membuatku tertawa, membuatku tersenyum? Aku belum temukan orang yang ibu maksud.
Kuseduh kopi dan kutambahkan sedikit gula aren. Lidahku masih terlalu pahit untuk minum kopi sepagi ini, perutku masih terlalu perih untuk menerima asupan air keruh yang biasa temani setiap hariku.
Begini rupanya hidup sebatang kara, tempatku mengadu hanya pada Tuhan. Semenjak ibu pergi, rasanya hatiku tak pernah tenang. Meletup hebat, bergejolak bahkan hampir meledak.
Berkali-kali ingin aku susul ibu. Aku tak sanggup berjalan sendiri.
Sakitku belum sembuh betul. 2 botol obat, 1 kantong antibiotik masih harus aku habiskan. Kuambil secuil biskuit. Kujejalkan obat dengan terpaksa. Sedikit kutambah dosisnya, agar aku segera terlelap kembali dan melupakan kejadian-kejadian yang tak mengenakkan yang semakin sering hadir.