"Ada dua hal yang kusesali dalam hidup ini. Mencintai orang yang mengabaikanku... dan mengabaikan orang yang mencintaiku!"
Hujan deras membasahi Stasiun Balapan sejak siang tadi. Andi meremas lembut tangan Retno yang memegang traveling bag-nya.
"Sudah ya, aku jalan ya, hati-hati ya di" kata Retno sambil tersenyum kecil.
Tapi sepertinya Andi sulit melepaskan cengkeramannya dari tangan Retno.
"Udah ah" kata Retno sambil mengecup pipi Andi, untuk kemudian berlari memasuki peron.
Andi hanya bisa terpana. Belum pernah rasanya Retno berani menciumnya di tempat umum.
Namun itulah kecupan terakhir dari Retno. Stasiun Balapan kemudian menjadi saksi kepergian Retno untuk selamanya. Inilah rupanya akhir dari kisah cinta mereka berdua.
Cinta Andi dan Retno akhirnya kandas gegara Retno menikah dengan Pram di Jakarta, dan sejak itu ia pun tak pernah lagi kembali ke Solo.
Pram dan Retno memang sudah dijodohkan oleh keluarga sejak mereka masih kecil. Andi juga mengetahuinya. Namun Retno pergi tanpa pamit darinya...
Padahal rencananya Retno balik ke Jakarta hanya untuk liburan semester saja. Eh, gak taunya malah menikah.
Aih, kecupan itu rupanya sebagai tanda perpisahan untuk selamanya. Duh Gusti, Andi ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Retno cidro janji.
Batin Andi tidak tenang. Ia akan mencari Retno dan berbicara kepadanya. Retno berutang penjelasan kepadanya. Andi nelangsa merga kebacut tresna (merana karena terlanjur cinta)
***
Andi baru saja menjejakkan kakinya di peron Stasiun Balapan. Sewindu sudah berlalu sejak ia terakhir kalinya meninggalkan kota Solo untuk mencari jejak Retno yang belum pernah bisa ditemuinya itu.
Andi memang sengaja ke Solo untuk menemui Retno yang berutang penjelasan kepadanya.
Tadinya Andi ingin menginap di hotel saja, akan tetapi Agus sohibnya ketika berkuliah dulu, memaksanya untuk tinggal di rumahnya.
Sore itu Andi dan Agus sedang duduk santai sambil menikmati kopi tubruk di halaman belakang.
"Andi, sampeyan lupain aja deh Retno itu" kata Agus sambil menyeruput kopinya.
"Aku sudah coba gus, tapi gak bisa. Gak bisa gus..."
"Halah, lagak mu itu. Jangan terlalu baper, ingat dia itu bini orang, anaknya pun dua"
"Soal itu aku paham gus, paham banget. Aku cuma pengen ketemu aja gus. Retno utang penjelasan samaku gus, kenapa dia minggat nikah dan gak pamit samaku"
"Lha, sampeyan ini gimana sih. Pertama, Pram dan Retno itu kan memang sudah dijodohin sejak dulu. Lalu kalian pacaran backstreet. Trus gara-gara itu kita berdua pernah digebukin preman suruhan Pram. Lha kalau Retno pamit sama kamu, ya pasti dia gak jadi menikah sama Pram dong?"
"Aku cuma pengen tau aja gus, kenapa Retno lebih memilih Pram daripada aku..."
"Andi, Andi... Retno tau bahkan aku juga tau banget kalau Retno itu lebih sayang sama kamu daripada Pram. Tapi gak semudah itu di kalau sudah menyangkut keluarga besar, apalagi yang berdarah biru..."
"Kayaknya kamu tau banget deh soal Retno gus, kenapa kamu sembunyiin selama ini dari aku gus? Lagian aku dengar Retno itu gak bahagia dan udah pisah rumah dari Pram!"
"Buset tau dari mana sampeyan urusan ranjang orang?"
"Ya dari Maya! Ingat gus, aku itu dulu satu kosan dengan Maya. Maya itu udah seperti adikku sendiri gus, apalagi Maya itu juga sohibnya Retno. Gus, sampeyan pikir tanpa bantuan Maya selama ini, aku bisa ngajak Retno keluar?"
"Astaga, kenapa aku sampai lupa ya?" Agus terkekeh...
"Udah gini aja deh, aku butuh bantuan kalian berdua, kalian atur aja supaya aku bisa ketemu Retno"
"Bisa aja di, tapi ingat, mereka itu mungkin udah pisah ranjang, tapi Retno itu masih isteri sah Pram!"
"Aku paham gus, aku sadar kalau Retno itu masih isteri Pram. Aku cuma pengen ketemu aja gus. Aku janji..."
***
Sore itu gerimis yang turun membasahi kota Solo sejak pagi hari semakin menambah kegelisahan hati Andi. Jantungnya berdebar tidak karuan menunggu kehadiran Retno. Baru setengah jam dia menanti di cafe ini, namun terasa seperti setengah abad saja.
Sekujur tubuhnya keringat dingin menantikan momen yang sudah ditunggunya selama sewindu ini.
Tiba-tiba pelayan yang baru saja melewatinya menjatuhkan sebuah sendok, "ting!"
"Aduh mas, copot jantungku mas" seru Andi tanpa bisa ditahan.
"Aduh maaf pak, maaf pak" kata pelayan itu sambil berlalu.
Akhirnya sosok yang dinanti pun tiba. Retno tampak lebih gemuk dengan raut muka pucat. Sosoknya sangat jauh berbeda dengan Retnonya dulu. Sorot matanyapun redup pertanda lelah.
Tapi bagi Andi tidak ada bedanya. Retno yang sekarangpun tetap membuatnya terpana. Membuatnya selalu bertanya-tanya, ada apa dibalik sorot mata itu. Apa yang ada dihatinya.
Ingin rasanya memeluknya agar bisa merasakan apa yang dirasakannya, agar ia tahu juga apa yang dirasakannya...
"Apa kabar mas Andi" sapa Retno sambil mengulurkan tangannya, membuyarkan lamunan Andi.
"Kabar baik Retno, gimana kabar mu? Eh, panggil Andi aja, gak pake mas" kata Andi tertawa untuk menenangkan hatinya. Dia hampir saja tidak dapat mengendalikan diri ketika mereka baru saja bersalaman tadi. Soalnya lembut tangan Retno itu sudah tersimpan lama di hipotalamus-nya, bagian otak otonom yang mengatur soal rasa dan pelepasan hormon itu...
Satu jam sudah berlalu tanpa terasa, padahal tadinya waktu Retno hanya setengah jam saja. Sebelum berpisah, Retno kemudian berbicara lebih serius mengenai pertemuan mereka itu.
"Andi, terima kasih ya sudah bersedia menemuiku. Aku minta maaf banget atas segala kesalahanku selama ini. Kamu juga sudah tau kan kondisi kami sebenarnya. Kami pindah dari Jakarta karena Mas Pram bangkrut dan sakit parah. Dua kali seminggu harus cuci darah karena kedua ginjalnya tidak berfungsi lagi" kata Retno sambil menghapus air matanya.
"Andi, kami akan mencoba sekali lagi dengan memulai lagi dari sini. Mas Pram juga sudah pisah dengan Lucy, pacarnya itu. Aku akan merawat Mas Pram. Mas Budi, kakaknya Mas Pram yang dokter itu juga berjanji akan support kami sembari mencarikan donor ginjal bagi Mas Pram. Doain kami ya di" kali ini Retno tidak dapat lagi menahan air matanya.
Andi terdiam dalam bisu. Pupus sudah harapannya, tiada lagi yang tersisa. Bahkan untuk sekedar ciuman backstreet dalam khayalnya.
Ah, tapi ia sudah mencobanya. Sewindu pencarian itu tuntas sudah. Hasilnya sia-sia. Andi membuang waktunya selama delapan tahun untuk kesia-sian belaka. Ambyar tenan!
Hidup ini memang ambyar dan edan. Andi dan Retno saling mencintai. Pram dan Lucy juga saling mencintai. Akan tetapi "Setan" kemudian menikahkan Pram dengan Retno atas nama perjodohan. Jancuk tenan rek! Pram dan Lucy masih bisa memadu kasih dalam perselingkuhan mereka, sedangkan Andi hanya bisa merem melek meluk guling sambil membayangkan wajah Retno...
Awalnya Andi heran, mengapa Pram tidak mau melepaskan Retno kepada Andi, padahal Pram sendiri tidak pernah mencintai Retno.
Akhirnya Andi mendapatkan jawabannya. Pram merasa Retno sejak semula memang menginginkan perkawinan itu. Akhirnya Pram jadi benci kepada Retno.
Kedua, sebelum menikah Retno berbicara kepada Pram bahwa dia sudah menyerahkan kesuciannya kepada Andi. Sejak itu Pram berniat "membunuh" Andi
Entah mengapa Stasiun Balapan selalu disiram hujan ketika Andi sedang berada disana. Hujan memang selalunya meninggalkan genangan dan kenangan...
Andi menghela nafas panjang. Kini ia bisa melihat persoalan cintanya kepada Retno itu secara komprehensif.
Andi justru merasa kasihan kepada Retno, Pram dan Lucy daripada alih-alih membenci mereka itu. Â
Kereta menuju Jakarta sudah bersiap-siap meninggalkan peron Stasiun Balapan ketika Andi justru turun dari kereta.
Andi kemudian melangkah menuju rumah dokter Budi. Andi merasa kalau Ia berutang maaf dan penjelasan kepada Pram dan keluarga besarnya.
***
Setengah tahun telah berlalu ketika Andi terlihat lagi di Stasiun Balapan. Langit terlihat cerah, secerah wajah seorang bocah yang baru saja menemukan selembar pecahan lima puluh ribuaan di bawah kursi. Ia segera mengambil uang tersebut. Ambyar baginya, uang tersebut ternyata "kabur" karena ada benang yang mengikatnya. Rupanya ia kena prank!
Matahari pun tak dapat menahan tawanya. Tawanya itu kemudian membuat tukang becak itu berteriak, "jancuk!" ketika ia memindahkan becaknya ke tempat teduh.
Andi juga tertawa melihat "kemalangan" anak itu, yang seperti memberi kemujuran baginya.
Seumur-umur baru kali inilah ia bisa tertawa ketika berada di Stasiun Balapan yang tumben cerah itu.
Setengah tahun lalu Andi datang dengan harapan agar bisa bertemu dengan Retno. Tapi kini ia datang justru karena Retno berharap agar bisa bertemu dengannya.
Ternyata Pram dan Retno sudah resmi bercerai setengah tahun lalu. Lebih hebohnya lagi, ternyata Pram kemudian menikah dengan Lucy dan tinggal di Jakarta.
Kali ini Andi tidak tinggal di rumah Agus dan Maya, tetapi justru di rumah Mas Budi, kakaknya Pram.
Singkat cerita, setengah tahun lalu, Andi sengaja menjumpai Mas Budi dan berbicara dari hati ke hati.
Andi meminta maaf kepada keluarga Pram dan berdoa untuk kebahagiaan Pram dan Retno.
Selain itu Andi bersedia mendonorkan sebuah ginjalnya bagi Pram, demi kebahagiaan mereka dan penebusan rasa bersalahnya, dengan syarat Pram dan Retno tidak boleh tahu pendonornya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Kebetulan golongan darah dan persyaratan kesehatan semuanya terpenuhi. Ginjal Andi itu memang berjodoh dengan tubuh Pram. Oprasi transplantasi ginjal segera dilakukan, dan berhasil.
Setelah sembuh, Pram dan Retno kemudian berbicara dari hati ke hati. Memang tidak pernah ada cinta diantara mereka. Akhirnya mereka sepakat berpisah.
Mas Budi memang tidak pernah memberitahukan kepada Pram siapa pendonor ginjalnya. Akan tetapi lewat suster Mas Budi, Pram yang penasaran itu akhirnya tahu siapa pendonor ginjalnya.
Pram cuma bisa menangis sedih karena baru tahu setengah tahun kemudian.
Sore itu terik mentari yang membakar kota Solo semakin menambah kegelisahan hati Retno. Jantungnya berdebar tidak karuan menunggu kehadiran Andi. Baru setengah jam dia menanti di cafe ini, namun terasa seperti setengah abad saja.
Marahkah Andi padanya? Maukah Andi sekali lagi memaafkannya?
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Apakah itu dari Andi yang membatalkan pertemuan? pikiran kalut Retno ketika meraih ponselnya. Ternyata dari Pram. Oh mungkin dia mau nanya kabar anak-anak.
Pram kemudian memberitahu Retno siapa pendonor ginjal itu. Pram baru saja mengetahuinya kemarin pagi. Keduanya kemudian bertangis-tangisan.
Pram kemudian berdoa setulus hatinya semoga Retno dan Andi bisa bersatu. Hal itu justru membuat Retno semakin menangis sejadi-jadinya.
Duh Gusti, belum pernah rasanya Mas Pram berdoa untuknya. Retno tidak tahu apakah harus menangis saja atau berbahagia juga. Mungkin lebih tepat menangis dalam bahagia saja.
Tapi tidakkah ini terlambat ya Gusti, mengapa hal baik tidak datang sejak dulu?
Mengapa mereka berempat, Retno, Lucy, Pram dan Andi harus menderita sampai babak belur begini demi sekerat cinta.
Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahu Retno dengan lembut. Retno terperanjat dan segera menghapus air matanya dengan lengan bajunya. Ternyata Andi sudah berdiri disampingnya.
"Aku sudah tau semuanya. Tadi pagi aku berbicara dengan Mas Pram sangat lama. Tadi malam juga aku ngobrol lama dengan Mas Budi. Semuanya sudah terang benderang"
Setelah mengeluarkan sebuah cincin dari saku celananya, Andi kemudian berlutut di samping Retno yang kebingungan, lalu berkata, "Retno, aku ingin melamarmu. Duhai Retno pujaan hatiku, mau kah engkau menikahiku dalam suka dan duka?"
Retno tidak percaya kepada apa yang dilihatnya. Tiba-tiba Agus, Maya dan Mas Budi dan keluarganya keluar dari persembunyian, lalu berteriak, "mau, mau, mau..."
Tanpa menunggu jawaban dari Retno, Andi segera memasukkan cincin di tangannya itu ke jari manis Retno. Sontak Retno berteriak, "aku mau!"
Andi tersentak mendengar teriakan Retno. Dulu dia merasa Tuhan itu tidak adil, tapi kini dia harus mengoreksinya kembali. Cinta tidak mungkin tertukar. Kalau dulu Tuhan memberinya cinta, pasti Dia akan memberikannya dalam satu paket yang utuh. Perjalanan hidup memang panjang dan berliku, tapi cinta akan menuntunnya kembali kepada siempunya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H