Sekujur tubuhnya keringat dingin menantikan momen yang sudah ditunggunya selama sewindu ini.
Tiba-tiba pelayan yang baru saja melewatinya menjatuhkan sebuah sendok, "ting!"
"Aduh mas, copot jantungku mas" seru Andi tanpa bisa ditahan.
"Aduh maaf pak, maaf pak" kata pelayan itu sambil berlalu.
Akhirnya sosok yang dinanti pun tiba. Retno tampak lebih gemuk dengan raut muka pucat. Sosoknya sangat jauh berbeda dengan Retnonya dulu. Sorot matanyapun redup pertanda lelah.
Tapi bagi Andi tidak ada bedanya. Retno yang sekarangpun tetap membuatnya terpana. Membuatnya selalu bertanya-tanya, ada apa dibalik sorot mata itu. Apa yang ada dihatinya.
Ingin rasanya memeluknya agar bisa merasakan apa yang dirasakannya, agar ia tahu juga apa yang dirasakannya...
"Apa kabar mas Andi" sapa Retno sambil mengulurkan tangannya, membuyarkan lamunan Andi.
"Kabar baik Retno, gimana kabar mu? Eh, panggil Andi aja, gak pake mas" kata Andi tertawa untuk menenangkan hatinya. Dia hampir saja tidak dapat mengendalikan diri ketika mereka baru saja bersalaman tadi. Soalnya lembut tangan Retno itu sudah tersimpan lama di hipotalamus-nya, bagian otak otonom yang mengatur soal rasa dan pelepasan hormon itu...
Satu jam sudah berlalu tanpa terasa, padahal tadinya waktu Retno hanya setengah jam saja. Sebelum berpisah, Retno kemudian berbicara lebih serius mengenai pertemuan mereka itu.
"Andi, terima kasih ya sudah bersedia menemuiku. Aku minta maaf banget atas segala kesalahanku selama ini. Kamu juga sudah tau kan kondisi kami sebenarnya. Kami pindah dari Jakarta karena Mas Pram bangkrut dan sakit parah. Dua kali seminggu harus cuci darah karena kedua ginjalnya tidak berfungsi lagi" kata Retno sambil menghapus air matanya.