Selain itu Andi bersedia mendonorkan sebuah ginjalnya bagi Pram, demi kebahagiaan mereka dan penebusan rasa bersalahnya, dengan syarat Pram dan Retno tidak boleh tahu pendonornya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Kebetulan golongan darah dan persyaratan kesehatan semuanya terpenuhi. Ginjal Andi itu memang berjodoh dengan tubuh Pram. Oprasi transplantasi ginjal segera dilakukan, dan berhasil.
Setelah sembuh, Pram dan Retno kemudian berbicara dari hati ke hati. Memang tidak pernah ada cinta diantara mereka. Akhirnya mereka sepakat berpisah.
Mas Budi memang tidak pernah memberitahukan kepada Pram siapa pendonor ginjalnya. Akan tetapi lewat suster Mas Budi, Pram yang penasaran itu akhirnya tahu siapa pendonor ginjalnya.
Pram cuma bisa menangis sedih karena baru tahu setengah tahun kemudian.
Sore itu terik mentari yang membakar kota Solo semakin menambah kegelisahan hati Retno. Jantungnya berdebar tidak karuan menunggu kehadiran Andi. Baru setengah jam dia menanti di cafe ini, namun terasa seperti setengah abad saja.
Marahkah Andi padanya? Maukah Andi sekali lagi memaafkannya?
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Apakah itu dari Andi yang membatalkan pertemuan? pikiran kalut Retno ketika meraih ponselnya. Ternyata dari Pram. Oh mungkin dia mau nanya kabar anak-anak.
Pram kemudian memberitahu Retno siapa pendonor ginjal itu. Pram baru saja mengetahuinya kemarin pagi. Keduanya kemudian bertangis-tangisan.
Pram kemudian berdoa setulus hatinya semoga Retno dan Andi bisa bersatu. Hal itu justru membuat Retno semakin menangis sejadi-jadinya.
Duh Gusti, belum pernah rasanya Mas Pram berdoa untuknya. Retno tidak tahu apakah harus menangis saja atau berbahagia juga. Mungkin lebih tepat menangis dalam bahagia saja.