Selain itu, Bank Indonesia dan bank konvensional hendaknya terus menerus meningkatkan penerapan manajemen risiko terutama risiko teknologi yang termasuk risiko operasional. Ingat bahwa dalam operasi gerbang tol non tunai juga tersimpan potensi risiko teknologi. Apa bentuknya? Ketika sistem itu tidak berjalan, maka mesin tidak akan mampu membaca uang-el yang akhirnya justru membuat antrean panjang.
Belum hilang dari ingatan kita bahwa pada 25 Agustus 2017 telah terjadi risiko teknologi ketika Satelit Telkom 1 tidak berfungsi. Akibatnya, ribuan ATM tidak berjalan normal. Dengan bahasa lebih lugas, terdapat 4.700 ATM BCA, 2.000 ATM Bank Mandiri, 1.500 ATM BNI, dan 300 ATM BRI yang mengalami gangguan. Tentu saja, hal itu sangat merugikan ribuan nasabah dalam melakukan transaksi perbankan dan bisnis lainnya.
Sudah barang tentu, biaya isi ulang itu akan menjadi pendapatan dari komisi atau fee-based income yang gemerincing. Memang sejak krisis ekonomi pada 1997-1998, bank semakin melirik pendapatan dari komisi atau pendapatan non operasional (non interest income) selain pendapatan dari bunga (interest income). Oleh karena itu, BI, bank dan penyelenggara jalan tol harus mempertimbangkan risiko teknologi, bukan hanya memikirkan biaya isi ulang sebagai pendapatan yang gurih. Dengan bahasa lebih bening, bank wajib memiliki rencana ketika sistem jatuh atau tidak berfungsi (business continuity plan/BCP). Hal itu bertujuan final untuk menjamin uang-el tetap berfungsi sebagaimana mestinya. BCP tersebut antara lain terdiri atas sarana sebagai pendukung (back up) tatkala jaringan, aplikasi atau sistem terganggu.
Tak hanya dari lembaga pemerintah serta bank sebagai pelaksana intermediasi keuangan sendiri, sebaiknnya pengguna harus lebih berhati-hati dalam menggunakan e-money karena pada hakekatnya e-money merupakan alternatif dari uang fisik sehingga memiliki kegunaan dan posisi yang sama dengan uang fisik.Jadi, kehilangan yang diakibatkan oleh pengguna merupakan tanggung jawab pengguna itu sendiri.
Pada zaman dimana perkembangan teknologi dan globalisasi semakin erat, digital money memberikan sumbangsihnya melalui kemudahan dalam bertransaksi pada masyarakat. Selain itu, kemudahan dalam berbelanja yang diberikan bagi masyarakat yang memiliki alat pembayaran non tunai dapat mendorong kenaikan konsumsi dari masyarakat tersebut. Kenaikan konsumsi pada akhirnya akan mempengaruhi peningkatan pendapatan nasional dan dapat mendorong meningkatnya permintaan uang (money demand).
Mungkin sebagian orang hanya menyadari kemudahan dalam bertransaksi dengan digital money dari sisi masyarakat saja sebagai konsumen, tetapi, digital money juga turut serta mendukung berjalannya kegiatan produksi. Karena, dari sisi produsen, peningkatan konsumsi tersebut akan diikuti dengan efisiensi biaya transaksi akan meningkatkan profit bagi produsen yang kemudian berpotensi untuk mendorong aktivitas usaha dan eskpansi usaha. Semakin efisien biaya transaksi yang diperoleh dari penggunaan alat pembayaran non tunai semakin besar potensi peningkatan output. Hal ini pada gilirannya mendorong peningkatan produksi di sektor riil yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi pemerintahan sendiri, berbagai kebijakan bidang ekonomi yang diterapkan pemerintah adalah untuk membangun perkembangan ekonomi yang sekaligus dapat berdampak pada pembangunan nasional. Keterlibatan Indonesia dalam forum-forum ekonomi dunia juga telah sedikit mempengaruhi kebijakan ekonomi di Indonesia, salah satunya adalah kebijakan mengenai sistem pembayaran. Di Indonesia sistem pembayaran secara umum masih menggunakan uang tunai sebagai alat pembayaran yang sah padahal drngan banyaknya uang yang beredar dimasyarakat maka dapat memicu meningkatnya inflasi. Maka melihat perkembangan sistem pembayaran di berbagai negara seperti Jepang, Singapura, Inggis dan Amerika Serikat yang telah lebih dulu menerapkan sistem pembayaran menggunakan alat atau disebut e-money.
Oleh karena itu, peran dari masyarakat sebagai konsumen, peran produsen sebagai yang menjalani kegiatan produksi serta peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus berjalan seiringan atau mendukung satu sama lain, karena, ketiga pihak tersebut sama-sama mendukung berputarnya roda ekonomi nasional dengan menggunakan dan memanfaatkan digital money sebagai medianya.
Dari sisi produknya sendiri, digital money diharapkan dapat menggantikan uang tunai karena penggunaan instrumen baru ini jauh lebih efektif dan efisien. Di Indonesia, layanan keuangan digital atau teknologi pembayaran digital menjadi salah satu konsentrasi untuk dieksplorasi oleh banyak lembaga bisnis dalam beberapa tahun terakhir seperti Bank dan penyedia telekomunikasi, semua industri telah melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka memberikan cara termudah bagi masyarakat untuk melakukan transaksi keuangan sehari-hari melalui Smartphone mereka, bisa berupa web base(internet banking) atau aplikasi seluler. Disini peran sektor perbankan dibutuhkan, tidak hanya dalam me-maintainlayanan serta produknya tetapi untuk meminimalisir risiko yang ada dalam tiap-tiap layanan dan produknya.
Dalam hal digital money, bank diharapkan dapat memberikan fitur keamanan yang lebih canggih, berkaca dengan keadaan saat ini dimana teknologi tidak hanya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, tetapi juga untuk memenuhi keuntungan pribadi. Salah satunya dengan fitur digital money per satu Kartu Tanda Penduduk (KTP), sehingga jelas pemiliknya, namun fungsi digital money sebagai 'pengganti uang tunai' tetap ada, tidak dialihkan menjadi kartu debit maupun kartu kredit.
Dari sini, bank perlu peran pemerintah melalui bank sentral dalam membuat kebijakan mengenai fitur keamanan tersebut serta peran dari masyarakat sendiri yang tentunya harus cerdas dalam melakukan transaksi, karena, kembali lagi kepada tujuan awal yaitu untuk memutar roda perkonomian nasional tidak bisa dijalankan oleh salah satu pihak, melainkan seluruh pihak dengan tugasnya masing-masing dapat mendukung dan mewujudkan terputarnya roda perekonomian tersebut pada zaman dimana teknologi berkembang pesat dan globalisasi semakin erat.