Untuk memahami mengapa perusahaan-perusahaan keuangan memutuskan untuk menantang sektor perbankan tradisional, perlu dilakukan analisis beberapa faktor:
- Perusahaan Utilitas dan transportasi umum
Perusahaan yang bergerak di bidang transportasi dan kebutuhan umum masyarakat memiliki basis pelanggan yang sangat besar yang diwakili terutama untuk populasi yang tidak dihargai dan tidak berdasar. Pelanggan mereka berjuang untuk menemukan tempat untuk membayar atau melengkapi layanan mereka, terutama sebelum dan sesudah jam kerja
- Perusahaan di bidang Telekomunikasi
Perusahaan telekomunikasi di seluruh dunia cenderung meluncurkan penawaran uang mobile untuk meningkatkan pendapatan per pengguna (ARPU) dan mengurangi desersi pelanggan (CHURN). Contoh yang sangat relevan di Indonesia adalah T-cash yang dikeluarkan oleh Telkomsel. T-cash yang dikeluarkan oleh telkomsel ini sangat diminati oleh generasi milineal karena promosi dan keuntungan yang didapat.
- Digital Marketplace
Misalnya saja, fitur BukaDompet dari Bukalapak Fitur ini didesain oleh Bukalapak untuk mengakomodir seluruh pembayaran dari pembeli kepada pelapak. Di sana pembeli tidak hanya bisa membayar pesanan barang saja, tapi juga berinvestasi ke reksa dana pasar uang dengan fitur BukaReksa.
Marketplace lainnya adalah Tokopedia, dengan dompet elektronik yang mereka sediakan dapat mengakomodir pembelian dan pembayaran pulsa, paket data, listrik, BPJS, voucher game, TV kabel, donasi, hingga cicilan kredit. Lewat fitur dompet elektronik, pengguna hanya tinggal men-transfer dana lewat ATM, internet banking, virtual account, dan gerai ritel.
Kemampuan uang elektronik yang begitu luas ini jadi suatu amunisi yang ditonjolkan oleh berbagai pemain digital demi meningkatkan traksi dalam platform mereka. Hanya saja, fitur dompet elektronik yang disediakan oleh Bukalapak maupun Tokopedia belum memiliki izin lisensi dari Bank Indonesia.
Terakhir, BI baru memberikan 21 perusahaan untuk menjadi penyelenggara uang elektronik sejak aturan PBI PTP pertama kali diterbitkan pada 2009. Mayoritas pemilik lisensi dikuasai oleh perbankan dan perusahaan telekomunikasi. Perusahaan terakhir yang "beruntung" mendapatkan lisensi adalah PT Espay Debit Indonesia Koe pada 20 Juli 2016.
Pada tahun 2013, 95.5% transaksi di Indonesia dilakukan secara cash(Bank Indonesia, 2013). Sampai dengan tahun 2014, transaksi secara cash masih mendominasi (KPMG, 2017). Walaupun demikian, sesuai survey mengenai penetrasi dan perilaku pengguna internet di Indonesia yang diadakan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia) pada tahun 2016, terdapat potensi pertumbuhan transaksi digital dari kelompok masyarakat pengguna internet dan telepon selular terutama mahasiswa dan pelajar. Sebanyak 132.7 juta jiwa penduduk Indonesia (atau 51% dari total jumlah penduduk) telah mengakses internet.
Sebanyak 71.6% pengguna internet merupakan penduduk berusia produktif atau usia kerja (25--54 tahun). Terkait dengan aktivitas transaksi online,sebanyak 70.4% pengguna internet merasa yakin dan aman untuk melakukan transaksi perbankan secara online dan sebanyak 49% dari pengguna internet sudah melakukan pembayaran dengan memanfaatkan fasilitas digital banking seperti ATM, internet banking, kartu kredit, SMS banking, dan e-money.
Sebagian besar pengguna internet mengakses internet melalui telepon seluler dan komputer dengan penetrasi pengguna internet terbesar adalah pada kelompok mahasiswa (89.7%) dan pelajar (69.8%). Kelompok inilah yang diprediksi akan menyumbang pendapatan terbesar bagi industri perbankan dan layanan keuangan 10 tahun mendatang (Mckinsey, 2015). Tren ini menunjukkan adanya peluang pertumbuhan adopsi layanan keuangan digital oleh masyarakat Indonesia terutama melalui telepon seluler, pada kelompok masyarakat dengan usia produktif, mahasiswa, dan pelajar.
Fasilitas digital banking yang saat ini digunakan oleh para pengguna internet diperkirakan masih banyak berasal dari layanan keuangan digital yang disediakan oleh bank. Hal ini terkait dengan peraturan dari Bank Indonesia dalam memberikan izin pada perusahaan fintechuntuk beroperasi secara agresif. Walaupun demikian, transaksi keuangan fintech di Indonesia mencapai 188.5 trilyun rupiah pada tahun 2016 dan berpeluang mencapai 250 trilyun rupiah di tahun 2017, terutama pada transaksi pembayaran atau payment channel (Kompas, 2016 & Pikiran Rakyat, 2017). Bank Indonesia semakin baik dalam menjalankan fungsi sebagai katalisator, fasilitator, business intelligence, asesmen, koordinasi, dan komunikasi dengan menyediakan Fintech Office Bank Indonesia. Dukungan tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan kemajuan fintechdi Indonesia.