Pukul 16.00
Al masih tampak tidur. Al memang tak mungkin terjaga terus. Bahkan untuk ngobrol saja tak bisa terlalu lama. Mengusap tangan dan kakinya mungkin lebih baik daripada mengajaknya bicara. Sentuhan lembut, tatapan penuh cinta atau senyuman manis pasti lebih berarti untuk Al.
"Al masih tidur?"Ardi menghampiriku.
Aku menganggukkan kepala. Â Ardi kakak lelakiku. Pasti ada rasa was-was saat ia tahu aku ingin menikahi seorang laki-laki yang sudah tak berdaya. Bagaimana bisa bertanggungjawab atas hidupku kalau mengurus dirinya sendiri saja sudah tak bisa? Bagaimana bisa menitipkan adik perempuan satu-satunya agar hidupnya tak pernah menderita?
Aku dan Ardi sudah pernah membicarakan ini dari hati ke hati seminggu yang lalu. Pembicaraan yang cukup panjang di malam itu. Bukan karena Ardi tidak suka kepada Al tapi rasa sayang Ardi yang besar kepadaku.
"Apakah pernikahan ini tidak terlalu terburu-buru?"
"Kamu masih bisa bertemu laki-laki yang normal."
"Pernikahan itu seumur hidup."
"Kebahagiaan dan kesulitannyapun seumur hidup."
"Kamu sanggup? "
Ardi banyak bertanya malam itu. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya seumur hidup kami. Ardi pendiam. Tak banyak mengomentari hidup orang lain. Kalau ia sampai bicara malam ini, pasti itu sesuatu yang sangat penting untuknya. Yang harus dikatakannya agar ia sendiri tak menyesal karena tak pernah menyampaikan apa-apa