"Kan sekarang sudah ada istri."Tante Caterine berkata saat akan pamit pulang.
Al mengangguk dengan wajah yang berseri-seri walau terlihat capek. Al melirikku dan aku makin mempererat genggaman tangannya.
"Kalau capek tidur saja."Bisikku di telinga Al.
"Jangan dipaksakan."
"Aku tidak pergi kemana-mana."
Al mengangguk dan memejamkan matanya. Aku mencium keningnya sebelum beranjak ke pintu kamar untuk mengucapkan terimakasih kepada keluarga dan sahabat yang akan pulang.
****
Pukul 11.00
Aku memasangkan cincin pernikahan kami di jari manis Al, sebelumnya Al melakukan hal yang sama. Cincin pernikahan sederhana yang kusiapkan seminggu sebelumnya. Semua yang hadir terharu dan menitikkan air mata. Aku sendiripun tak sanggup untuk tak menangis di sisi tempat tidur Al sambil menggenggam tangannya.
Mungkin ini bukan pesta pernikahan biasa bahkan bukan pesta pernikahan impian, tapi aku memilihnya dengan sadar. Sadar tak selamanya kenyataan hidup seindah yang kubayangkan. Aku hanya punya ketulusan, cinta tanpa syarat dan kesabaran.
Al sangat tahu itu. Aku berulang-ulang mengatakannya agar ia mengerti kalau menerima keadaannya adalah wujud rasa cintaku yang besar. Kalau hari ini aku berjanji di hadapan Tuhan untuk menerimanya dalam susah dan senang, dalam sehat dan sakit, dalam untung dan malang, aku menyadari sepenuhnya perjanjian ini bukan hanya antara aku dan Al tapi juga dengan Tuhan yang tak dapat kuingkari seenaknya sebelum perjanjian itu berakhir saat maut memisahkan.