Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bunting Mutilasi

3 September 2016   20:22 Diperbarui: 4 September 2016   12:30 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersama hujan mengguyur, mereka berdua saling bopong, membawa bayi, mencoba melarikan diri, meniti lahan menuju suara deru sungai. Menyadari korbannya akan lolos, Byron melempar golok ke arah mereka.

Golok melayang seperti bumerang, hampir saja menebas leher salah satu di antara mereka, jika Humaira tak mendorong kawannya, yang justru membuat keduanya terperosok, jatuh meluncur di lahan miring licin terguyur hujan. Golok menancap ke pohon!

Dalam guyuran hujan, wajah tampan Byron benar-benar tampak ngambek, tangannya gemetar mencabut tusukan gunting yang memakunya ke pintu ambulans.

Darah menyembur seiring erang tertahan, gunting pun tercabut. Nafas amarahnya memburu, tiba-tiba secara menyebalkan kepala Rain Fello menggelinding terbawa curah genangan dekat kakinya, seolah mengejek. JANCUK!  Serentak kakinya menendang kepala buntung itu, meluncur ke bawah area dua wanita hamil yang terperosok.

Kepala meluncur lantas menancap ke dahan pohon, tepat kedua wanita hamil membawa bayi, terhenti meluncur dekat pohon tersebut, sehingga keduanya langsung menyaksikan bagimana kepala melayang dan menancap ke batang pohon tepat di hadapan muka mereka, AWWW!

***

Sepertinya alam mulai bersahabat, mereka menemukan sungai belum dibedah pintu bendungan pusat, tapi volume air terasa semakin meningkat. “Kita merayap ke seberang, lewat cadas dan bebatuan, jeung.” Kata Herlina ke kawannya. “Lekas!”

Bukan perkara mudah seperti perkiraan mereka, apalagi dikondisi hamil tua, membwa bayi, menyebrang sungai dalam kondisi hujan angin, dengan hanya penerangan senter. Benar-benar menyiksa! Beberapa kali mereka hampir jatuh atau tenggelam di celah genangan tanpa cadas dan hanya deras air, sampai pada akhirnya adrenalin tak lagi sesuai kondisi fisik, Humaira letih, terperosok ke genangan di antara cadas bebatuan.

Herlina menoleh, lekas memburu Humaira, hendak membantu bangkit, tapi ia sudah tidak berdaya, “Stop!” Tukas Humaira, mereka diam, kedua wanita itu saling memahami, ini adalah saatnya. “Iya!” Humaira mengangguk, bayi yang dikandungnya akan lahir saat ini juga.

Herlina menaruh bayi dalam buaiannya ke atas batu cadas, mencondongkan tubuh, meraba bagian tubuh Humaria, yang terendam air hingga pinggang. Ia hanya  bilang, sambil berlinang air mata, “Aku pernah melahirkan dalam proses air, anak yang kukandang insya Allah kelahiran yang ketiga!” Herlina mengambil seikat lidi yang terselip di dasternya, “Peggang, dan  tenanglah jeung.”

Saat itu, Herlina merasakan kepala bayi terantuk ke tangannya. Humaira mengerang, menahan nyeri di kelahiran pertama, kakinya menggelinjang terimpit di antara bebatuan, macet terkunci. Bayi lahir terangkat tangan Herlina dari dalam air, menangis keras. Tiba-tiba gerakan seuntai sabuk mengalung ke leher Humaira, menarik dan mencekik lehernya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun