Kaki Byron bersepatu boot, menyelah dan menggas motor, lantas secepat anak panah ditembakan dari busur, melesat memburu laju ambulans kabur, mengikuti jalur jalan yang membelah hutan gelap, di antara perbukitan dan deru sungai yang terdengar seperti jeritan alam menggema.
Si Jagal Byron membawa Jane bersertanya, apa yang kira-kira hendak dilakukanya. Ketika laju motor memepet sisi kanan ambulans, ia berteriak memberi tahu Raka yang mengemudi, “Susternya masih hidup Om, mau ditolong?”
ANJING! Upat Raka kalap, tak geming dengan gangguan si Jagal, terus mengemudi, sambil meraih radio kontak ambulans, menghubungi bantuan. Belum ia mengangkat radio panggil, kaca pecah dihantam benda yang dilempar Byron menembus sisi kaca, dan alangkah terperangah, sosok kepala buntung terbentur di jok sebelah adalah, “Mbak Rain Fello!” Teriak Raka. “Lo coba hadang ke depan, Byron-Byron! Gua lindas lo, anjing!”
HAHA! Si Jagal Byron tergelak-gelak, gesit bermain dengan motor Ducati yang dikendarai, mengintimidasi penumpang dalam ambulans. Perawakannya yang atletis dan tampan, cukup bugar bermain aksi gila semacam ini, sangat-sangat memberi tekanan fisik maupun psikologi korban, yang terkonsentrasi ketegangan intens.
Dalam laju kendaraan saling menyusul, tekanan mental tak hanya di luar, di dalam pun Herlina dan Humaira shock bukan kepalang, harus berhadapan mayat buntung hamil, duduk bersandar di hadapan mereka, membuka paha, banjir ketuban. Dari pergerakan perut buncit mayat buntung itu, Herlina memprediksi, bayi yang dikandung mayat itu masih hidup.
Sebetulnya Herlina sungkan memberi tahu Humaira, yang dalam kondisi terguncang. Tapi tak ada pilihan, ia membutuhkan bantuan sekecil apapun dalam kondisi ini, terlebih ia harus memutuskan membelah perut mayat buntung Rain Fello, demi menyelamatkan bayi dalam kandungannya. “Siapkan handuk dan alkohol, Jeung Humaira.” Tandas Herlina, seraya mengambil gunting, menusukan ujungnya ke pusar mayat bunting, lalu merobeknya seperti memotong kain tebal dari daging.
“Bun, mau apa Bunda?” Humaira histeris gemetar, menyaksikan darah terbuyar dari perut mayat buntung, dibelah gunting di tangan Herlina, lalu memasukan tangannya ke dalam roggga belekan, mencoba mengeluarkan janin. Humaira tersudut hingga ke dekat sisi jendela, yang pecah ditinju dari luar oleh si Jagal Byron, lalu menjambak dan menarik rambutnya, hingga kepala wanita itu terkulai melewati celah jendela, menjerit-jerit. “AAAW, Bunda tolong!”
Menyaksikan situasi lewat spion, Raka Kelana di ruang kemudi mesti memperhitungkan laju kecepatan ambulans, menyesuaikan kecepatan motor Ducati Byron, atau leher Humaira bisa terpelanting. Sambil sebelah tangannya mencoba meraih gagang radio panggil, setelah sebelumnya terlempar oleh kepala Rain Fello yang dihempaskan ke jok sebelah. Jeritan Humaira benar-benar menambah kegentingan, namun itu bukan situasi gampang si Penjagal menebas kepala wanita itu, sementara satu tangan menarik rambut, lainnya siaga stang gas motor, menyeimbangkan laju kendaraan.
Tangan berlumur darah Herlina meraih gunting, secepat gerakan memotong rambut Humaira yang sebagian ditarik tangan Byron. CUT! Jarak terpisah! Herlina melengos ke belakang arah kemudi, memberi aba-aba. “Tancap GAS, Raka!”
Tak ragu lagi, pedal diinjak! Kecepatan menembus 75km/jam, seraya meraih radio kontak, menghubungi bantuan. Tak ayal, Ducati melaju memburu ke tepi kemudi, Byron mencabut golok yang tersarung di punggungnya, terus menebas tangan Raka, buntung menggenggam radio panggil. AAAKH! Raka kelojotan, mengerang sambil sesumbar! “Anjing Byron-Byron!”
Herlina membuka kaca skat antara kabin dan kemudi ambulans. “Mas Raka!” Tubuh Herlina terhempas histeris ke dekat mayat buntung yang terbelek! “Terus maju!” Teriak Herlina, “Aku lagi ngeluarin bayinya!” Di tengah kepanikan, Herlina kembali meraih rekahan perut mayat hamil di dekatnya, gemetar mencoba mengangkat bayi dari dalamnya.