Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bunting Mutilasi

3 September 2016   20:22 Diperbarui: 4 September 2016   12:30 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TEPAT motor Ducati menyalip Sedan Metalik berkecepatan tinggi, berlanjut insiden mobil oleng, banting stir ke luar jalur aspal, mengelak tubrukan lebih lanjut, lantas menabrak Pohon Jati. Bemper berdentum ringsek! Motor terpental berikut pengendaranya beberapa jeda, melintang di atas aspal, tak berkutik.

Badai menggelebuk, petir menggelegar, di gelap malam, erangan kuat si Pengemudi berupaya memastikan keadaan lewat terawang pandang ke arah lintasan, siuman. Secara ajaib sosok Pengendara bangkit, lantas berjalan cepat ke arahnya, dekat dan dekat, menghunus golok! “Anjing!” Si Pengemudi panik, berusaha lolos!

***

--> SLASHER-BK-present - B U N T I N G    M U T I L A S I

***

Pantat demplon suster Jane bergoyang, seiring langkah selop berhak tinggi, keluar dari toilet menelusuri koridor klinik, disusul dr. Ferry terburu-buru, ngacir sambil meresletingkan celana. Tiba-tiba –tangan pria asing terjulur menyentuh pundak Suster.

AWW! Lampu padam, sosok lelaki tegap berdiri menyongsong, tepat kilat dan halilintar menggelegar, begitu suster Jane membalikan badan. “RAKA! Kaget goblok!” Seru suster Jane, kesal sambil memukulkan clipboard rekam medis di tangannya ke pundak Raka.

Haha – Raka Kelana hanya cekikikan menanggapi, sambil melihat bantalan silikon, “Keknya baru,” seraya menerangkan, “Hey beib, menurut data ada tiga pasien hamil mesti sudah aku evakuasi ke RS. Central, semua sudah di ambulans, Bu Herlina, Humaira dan satu lagi..."

“Si cabol bunting!” Tandas Suster Jane, kesal membalik badan mencari ke belakang klinik. Pasien satu ini yang memang rada bengal, lalu ditemukan tepat power genset menyala, sedang merokok diam-diam. “Ya ampun mbak Rain Fello, di sini?!” Suster Jane merampas rokok dari wanita hamil itu, menghempaskan ke lantai, terus  menginjaknya, lekas ia membawa Rain Fello menuju ambulans.

Menurut Breaking News di televisi ruang tunggu, akan terjadi badai hujan malam ini. Pihak PLN harus mematikan penerangan di beberapa titik distrik kota, infrastruktur bisa lumpuh sementara, berikut kemungkinan terendam banjir di beberapa area. Hanya Ismail Kamil, suami Bu Humaira yang mengantar hingga ambulans, memastikan, “Semua akan baik-baik saja sayang.”

“Ya, kami akan saling jaga.” Sambut Bu Herlina, duduk berhadapan Humaira yang paranoid. “Suami jeung perhatian, ya. Jika kami punya asuransi, suamiku bisa menemani, bukan memilih overtime.”

Bu Herlina dan Humaira, sebetulnya ingin berbasa-basi mengakrabkan susana juga kepada Rain Fello, namun nampaknya ia terlihat gusar dan terganggu, seolah simpati tak lebih belas kasihan menyedihkan, lalu ia menerangkan bahwa, “Laki gue di penjara!”

OH! Terang saja hal itu tidak membantu ketenangan Humaira, terlebih suster Jane menjelaskan, “Kapasitas ambulans sebetulnya hanya untuk satu pasien, dan dua petugas medis, ini keadaan darurat ibu-ibu. Maaf, suamimu tidak bisa turut serta.”

Ismail tak punya pilihan, “Tenang yang, abi sudah pesan Gojek, sejam lagi abi nyusul.” Seraya mengecup kening istri, keluar dari ambulans. Petugas menutup pintu ambulans, setelah memastikan semua pasien masuk, ditemani suster Jane.

Ambulans dipacu berkecepatan sedang ke tempat tujuan. Rambatan hujan mulai menciprat halus, seiring angin menggelebuk dan halilintar menggelegar, serta kilat sepanjang jalan. Bayangan Petugas Polisi nampak  dari kaca mobil kap depan, memberi kode cahaya lampu senter, supaya menepi dan menghampiri, menyampaikan info, “Insiden kontainer terbalik, melintang menghalang di tengah lintasan, bapak harus belok arah jalan.”

Pilihan belok arah memutar bukit, untuk sementara tak terelak, berpacu dengan waktu, “Kita tidak bisa stop menunggu truk diderek, atau ibu-ibu bisa mengalami kontraksi pembukaan bayi, sementara dr. Ferry tidak hadir di sini, Raka!” Suster Jane menjelaskan.

Cuaca  yang terus memburuk sepanjang jalan, membuat Raka tidak bisa ambil resiko mengulur waktu lebih lama tiba di RS. Central, apalagi ibu Humaira telah menunjukan gejala pembukaan ketuban bayi. “Kita memutar!” Lanjut Raka, dan memang jarak tempuh bertambah jadi jauh, jalan lengang diapit-kiri kanan Hutan Jati. “Facebook gue mati signal.” Keluh suster Jane, “Mau bagaimana lagi, ini Perbukitan dan Hutan.”

Tiba-tiba ambulans direm mendadak! Anjing! Sahut Bu Fello kaget dan mengalami kontraksi. Suster Jane menenangkan, bahwa semua baik-baik saja. Raka di depan kemudi menjelaskan, “Ada kecelakaan di depan!” Sambil membuka kaca skat, kabin belakang.

Gerimis halus masih belum terasa cipratannya, seorang lelaki tampan bersetelan jaket kulit, berlari mendekat, dan tampaknya meminta bantuan, “Semuanya baik-baik, mas?” Tegur Raka, begitu lelaki itu menyampak ke jendela ambulans, menghampiri.

“Saya Byron, Om! Rantai motor saya putus, ada kecelakaan sedikit tadi. Barangkali saya bisa meminjam peralatan.” Lanjutnya, “Supaya saya bisa melanjutkan perjalanan.” Raka ingin menawarkan tumpangan, tapi itu melanggar aturan, karena ia sedang bertugas membawa pasien.

“Baiklah!” Rasanya tidak manusiawi menurut Raka, meninggalkan orang ini di tengah hutan, secara cuaca akan terjadi badai. Ia mengambil kotak peralatan, berjalan bersama pria tampan itu ke motornya yang terguling di tengah jalan, memperbaiki rantai.

Gelegar petir dan kilat, terasa cetar membahana. Suster Jane jengkel, Raka malah meladeni orang itu, sementara Bu Humaira mulai kontraksi, dan Mbak Fello menjadi sangat menyebalkan tiba-tiba membuka pintu belakang ambulan, keluar. “Kamu kenapa?” Tukas Jane.

“Gua hamil suster, mau buang hajat!” Sambut Mbak Fello, ketus. Bu Herlina merasa khawatir, menawarkan gunting atau seikat lidi buat penjagaan, secara itu menurut kepercayaan setempat. “Apaan, ini!” Mbak Fello menolak, lalu melemparkan balik ke pangkuan Herlina. “Dasar kepercayaan orang kampung!”

Jablay! Suster Jane menggerutu, dan tidak punya alasan selain harus menemani jalan ke dekat hutan mencari tempat buang hajat. Di bawah pohon Jati, Mbak Fello melorotkan celana dalam, jongkok. Sambil merokok, buang hajat.

JEEZZ! Jane kesal, Mbak Fello malah merokok, bukan buru-buru ngurus hajatnya. “Mulut gue sepet suster, dari pada gue ngerokok depan ibu-ibu hamil.”

Tapi elu juga hamil, Jablay! Suster geram, tak ingin banyak omong! Tiba-tiba, suara Mbak Fello seolah terhenyak, Jane mendekat. Wanita itu ternganga pucat, seperti melihat hantu, dengan tangan menunjuk ke seonggok tubuh dari jendela mobil ringsek, ludes menabrak pohon.

Seonggok tubuh lelaki, menclok pada jendela mobil ringsek, lehernya tergorok berlumur darah, lalu putus jatuh ke bawah, menggelinding tepat di antara dua kaki Mbak Fello jongkok buang hajat. Gelegar petir dan kilat, terdengar.

***

Tangan Raka Kelana baru saja menutup kotak peralatan, tuntas menyambung rantai, lalu motor dinaiki lelaki itu,  mengucapkan “Terimakasih!” Motor distater menyala. “Sebaiknya Om lekas pergi dari sini!” Imbuhnya.

Lalu –AAAW! Suara terdengar di balik belukar tepi jalan, dekat hutan. Byron melayangkan padang ke sana. Sesuatu terlewat baginya. Nampak dari balik semak-semak, suster Jane membopong Mbak Fello yang shock, berusaha mencapai ambulans.

Raka mendadak gamang, melihat gelagat lelaki di hadapannya ini hendak mencelakai Jane dan Mbak Rain Fello. “Sorry Om, keknya telat buat pergi!” Tandas Byron, ke Raka! “Tak ada saksi seharusnya!” Motor digas full! Raka Kelana reflek menghantamkan kotak peralatan ke muka lelaki itu.

Gerakan disambut tendangan kaki Byron, menghalau serangan! Raka terjengkang ke aspal, berikut kotak terbuyar, kunci-kunci berhambur melayang, menghujani ke arah Raka Kelana. Motor digas, meluncur cepat ke arah Jane dan Fello, terus menabrak mereka!

Suster Jane berhasil mendorong tubuh Mbak Rain Fello, sebelum ia sendiri ditabrak motor, terpental beberapa meter, membentur pohon, terus ambruk di semak-semak. AGHH! Hanya tangannya yang berkutik! Indikasi ia masih hidup.

ANJING! Upat Raka, di antara bingung, harus menolong Jane dan Mbak  Fello atau melarikan dua ibu hamil dalam ambulans. Tangan Herlina replek membuka kaca pintu lambung ambulans, bereaksi akan keributan di luar. Suster Jane tertabrak, begitupun motor dikemudian Byron oleng jatuh.

“Buka pintu belakang, Jeung Humaria!” Seru Herlina, menyaksikan Mbak Rain Fello tertatih memegangi perut bunting, mencapai pintu belakang ambulans, kalap menjerit-jerit! Tapi Humaira malah panik tak berkutik, “Demi Allah buka pintunya, Jeung!” Teriak Herlina sekali lagi, karena Humaira tepat dekat pintu.

Pintu terbuka, nampak Mbak Fello panik, tertatih hendak memasuki pintu belakang ambulans. “Jangan tengok belakang!” Seru Bu Herlina, “Cepat!” lanjutnya, melihat Byron terbangun dari motor terguling, berjalan cepat mendekat, menghunus golok dari balik jaketnya!

Tak ada pilihan bagi Raka, selain cepat mencapai kemudi, dan menstarter mobil, siap injak gas, meluncur cepat meninggalkan apa saja yang tidak bisa diselamatkan.

Herlina dan Humaira menjulurkan tangan, hendak membantu Mbak Fello naik, di kesulitan kemampuan ibu hamil, naik kendaraan agak tinggi. Namun ---

AAAW! Belum bu Fello naik ke pintu mobil, secepat kilat tangan Byron menjambak rambut panjang bonding Mbak Fello, hingga tengadah, tertarik ke belakang. Bu Herlina dan Humaira, masing-masing menarik kiri-kanan tangan bu Fello, saling berebut. Sampai akhirnya ---

--- Suster Jane tiba-tiba muncul, menubruk bahu Byron, terus menggigit kupingnya. AAAKKH, Cabol! Byron terinterupsi gangguan, tak kalah cepat berfikir, ia menebas leher Mbak Rain Fello, JREEGK! Tubuh Bu Fello berhasil ditarik Herlina dan Humaira. Pintu ambulans lekas ditutup.

AAAWW! Humaira kalap menyaksikan kepala Mbak Rain Fello tertinggal, jatuh buntung menggelinding di luar. “J A L A N ! ! !” Teriak Bu Herlina ke Raka Kelana, terus meluncur, mengira semua sudah masuk ke dalam! ANJING! Upat Raka, mengemudi dalam keadaan panik!

Darah  menyembur dari leher buntung Mbak Rain Fello, mengerejat-rejat akan reaksi tubuh yang secara klinis masih merespon impuls eksternal, sekurangnya 5 menit, sebelum meregang ajal. Hanya jeritan dua ibu hamil tertinggal, tak berdaya. Ambulans dipacu dengan kecepatan maksimum.

Situasi yang mana tak berguna berteriak minta tolong, sempat Bu Herlina menengok lewat jendela belakang ambulans, bagaimana Jane direnggut dan dibanting si Penjagal, dijambak, diseret, lalu semaput disampirkan ke depan motor, yang lekas dipacu mengejar ambulans. “Oh, suster Jane.” Erang Bu Herlina, shock!

***

Kaki Byron bersepatu boot, menyelah dan menggas motor, lantas secepat anak panah ditembakan dari busur, melesat memburu laju ambulans kabur, mengikuti jalur jalan yang membelah hutan gelap, di antara perbukitan dan deru sungai yang terdengar seperti jeritan alam menggema.

Si Jagal Byron membawa Jane bersertanya, apa yang kira-kira hendak dilakukanya. Ketika laju motor memepet sisi kanan ambulans, ia berteriak memberi tahu Raka yang mengemudi, “Susternya masih hidup Om, mau ditolong?”

ANJING! Upat Raka kalap, tak geming dengan gangguan si Jagal, terus mengemudi, sambil meraih radio kontak ambulans, menghubungi bantuan. Belum ia mengangkat radio panggil, kaca pecah dihantam benda yang dilempar Byron menembus sisi kaca, dan alangkah terperangah, sosok kepala buntung terbentur di jok sebelah adalah, “Mbak Rain Fello!” Teriak Raka. “Lo coba hadang ke depan, Byron-Byron! Gua lindas lo, anjing!”

HAHA! Si Jagal Byron tergelak-gelak, gesit bermain dengan motor Ducati yang dikendarai, mengintimidasi penumpang dalam ambulans. Perawakannya yang atletis dan tampan, cukup bugar bermain aksi gila semacam ini, sangat-sangat memberi tekanan fisik maupun psikologi korban, yang terkonsentrasi ketegangan intens.

Dalam laju kendaraan saling menyusul, tekanan mental tak hanya di luar, di dalam pun Herlina dan Humaira shock bukan kepalang, harus berhadapan mayat buntung hamil, duduk bersandar di hadapan mereka, membuka paha, banjir ketuban. Dari pergerakan perut buncit mayat buntung itu, Herlina memprediksi, bayi yang dikandung mayat itu masih hidup.

Sebetulnya Herlina sungkan memberi tahu Humaira, yang dalam kondisi terguncang. Tapi tak ada pilihan, ia membutuhkan bantuan sekecil apapun dalam kondisi ini, terlebih ia harus memutuskan membelah perut mayat buntung Rain Fello, demi menyelamatkan bayi dalam kandungannya. “Siapkan handuk dan alkohol, Jeung Humaira.” Tandas Herlina, seraya mengambil gunting, menusukan ujungnya ke pusar mayat bunting, lalu merobeknya seperti memotong kain tebal dari daging.

“Bun, mau apa Bunda?” Humaira histeris gemetar, menyaksikan darah terbuyar dari perut mayat buntung, dibelah gunting di tangan Herlina, lalu memasukan tangannya ke dalam roggga belekan, mencoba mengeluarkan janin. Humaira tersudut hingga ke dekat sisi jendela, yang pecah ditinju dari luar oleh si Jagal Byron, lalu menjambak dan menarik rambutnya, hingga kepala wanita itu terkulai melewati celah jendela, menjerit-jerit. “AAAW, Bunda tolong!”

Menyaksikan situasi lewat spion, Raka Kelana di ruang kemudi mesti memperhitungkan laju kecepatan ambulans, menyesuaikan kecepatan motor Ducati Byron, atau leher Humaira bisa terpelanting. Sambil sebelah tangannya mencoba meraih gagang radio panggil, setelah sebelumnya terlempar oleh kepala Rain Fello yang dihempaskan ke jok sebelah. Jeritan Humaira benar-benar menambah kegentingan, namun itu bukan situasi gampang si Penjagal menebas kepala wanita itu, sementara satu tangan menarik rambut, lainnya siaga stang gas motor, menyeimbangkan laju kendaraan.

Tangan berlumur darah Herlina meraih gunting, secepat gerakan memotong rambut Humaira yang sebagian ditarik tangan Byron. CUT! Jarak terpisah! Herlina melengos ke belakang arah kemudi, memberi aba-aba. “Tancap GAS, Raka!”

Tak ragu lagi, pedal diinjak! Kecepatan menembus 75km/jam, seraya meraih radio kontak, menghubungi bantuan. Tak ayal, Ducati melaju memburu ke tepi kemudi, Byron mencabut golok yang tersarung di punggungnya, terus menebas tangan Raka, buntung menggenggam radio panggil. AAAKH! Raka kelojotan, mengerang sambil sesumbar! “Anjing Byron-Byron!”

Herlina membuka kaca skat antara kabin dan kemudi ambulans. “Mas Raka!” Tubuh Herlina terhempas histeris ke dekat mayat buntung yang terbelek! “Terus maju!” Teriak Herlina, “Aku lagi ngeluarin bayinya!” Di tengah kepanikan, Herlina kembali meraih rekahan perut mayat hamil di dekatnya, gemetar mencoba mengangkat bayi dari dalamnya.

***

Jane yang tersampir pada depan motor Ducati, siuman. Beberapa kilometer lagi menurut layar navigasi, arah mendekati jalan protokol. Ini bisa tidak menguntungkan si Jagal, lekas ia menyalip ambulans. Ternyata si sopir ambulans tidak terkendala, meski baru saja dimutilasi.

“Sudah bangun kau!” Tandas Byron, pada Jane, “Tujuanmu sudah sampai, jalang!” Seketika usai mendahului laju ambulans, Byron melempar tubuh suster Jane menghalang jalur ambulans, jatuh bergedebut, lalu bangun, diterawang sinar lampu jauh-dekat ambulans. Raka segera mengenali Jane di depan jalurnya, bangkit tertatih usai dilempar si Jagal Byron.

Dilema harus diputuskan saat itu juga! Raka menabrak tubuh Jane, hingga terjengkang, terkulai, melintang, dihajar bemper ambulas tepat di kepala. Putaran ban melindas kaki, naik ke badan menggilas bantalan silikon dada! Jane menjerit, “RAKAAA!” Dituntaskan melindas kepala hingga pecah, banjir darah! Petir menggelegar beserta kilat, lalu hujan benar-benar mendera deras!

Raka gelagapan gemetar, matanya beriak, hidung meneteskan cairan, berikut menahan ngilu bekas mutilasi di tangan kanannya, vitalitasnya menurun drastis oleh sebab kehilangan banyak darah. Sisa jeritan Jane terakhir berdengung mengguncang ketabahannya. Kemudi mulai tak stabil, sandungan ban belakang terhadap tubuh remuk Jane, merusak konsentrasi kemudi, oleng keluar jalur aspal. Mobil terperosok ke area tubir curam yang miring landai ditumbuhi Hutan Jati dan belukar.

Lengkingan jerit berkumandang seiring ambulans menerobos belukar di antara cabang-cabang pohon patah-patah tertabrak, melaju mengikuti zona menurun. Area labirin hutan kayu membuat tiap gerakan mobil membentur kiri-kanan pohon di tiap penjuru, BAGK! BAGK! BAGK! Benturan demi benturan tak terelak.

Raka sudah kehilangan konsentrasi singkron antara kemudi, pedal gas dan rem, hingga pada satu titik seharusnya menginjak rem, malah pedal gas! Ambulans melaju membabi-buta. Di tengah mental Raka yang sudah goyah, sampai akhirnya ia melihat bayangan batang pohong simetris ke arahnya, menembus kaca film, pecah!

GAS DIINJAK! Raka replek merunduk, menghindari batang kayu melintang menebus pecah kaca depan mobil, kepalanya tersungkur ke stir ketika tabrakan. Tapi, ini adalah ambulans canggih! Bantalan sefty stir mengembang, membuat kepala Raka terpantul kembali tengadah ke sandaran jok, tepat mulutnya ternganga! Ujung patahan runcing batang kayu menombak ke lubang mulutnya, tembus tuntas ke kabin belakang ambulans. AAAAGH! JREBBB! Tak sempat duakalimah syahadat! Kayaknya si Om tak ngomong lagi setelah itu!

Seiring peristiwa mulut Raka Kelana terpanggang cabang pohon, tembus ke kabin, bersamaan tangan Herlina mengeluarkan janin dari belekan mayat bunting, tepat posisi ia simetris membelakangi jok kemudi Raka, dipegangi Humaira menjaga kestabilan dari goncangan posisi.

Hampir saja cabang pohon menombak tengkuk Herlina, tepat saat ia berhasil merangkul bayi, sebelum akhirnya melengos. Hantaman cabang melesat ke sisi kepala Herlina dengan mengoyak telinganya. AAAW! Jerit melengking, darah mengguyur wajah Humaira di bawah cabang pohon yang menombak!

***

Standar dipasang gerakan sepatu boot kulit hitam. Di tepi jalan dekat hutan, Byron berdiri tampan di tengah hujan menyaksikan ambulans terperosok ke lahan hutan landai menurun, lalu melompat gesit, memburu ke arah sana.

Gelegar petir memecah keheningan dalam ambulans, disambut suara tangis bayi dalam pangkuan Herlina, menambah kegentingan. Humaira merayap ke jendela skat kemudi memastikan keadaan Raka, lalu terhenyak menjatuhkan diri, terisak seraya mengucap istigfar berulang-ulang. “Ya’Allah!” Dengan wajah cemong berlumur darah.

Mereka berdua saling tatap, paska terguncang tak berdaya, mungkin putus asa. Di antara deru hujan, terdengar dua suara berbeda seperti deras aliran sungai, “Kau mendengarnya, Jeung?” Bisik Herlina, di balas Humaira celingukan tegang, mengira sedang menjelaskan kehadiran si Jagal.

“Sungai!” Tandas Herlina menerangkan. “Kita masih punya peluang, jika dapat menyebrang, sebelum pintu air utama dibedah dari pusat bendungan.  Keadaan itu akan memisah jarak di antara kita dan si Jagal!” Menyadari Humaira yang skeptis, Herlina meneguhkan supaya “Kita mesti tabah, jeung.” Seraya menyentuh perut hamil rekannya, bergegas membenahi segala peralatan yang dibutuhkan selama menempuh jarak ke sana.

Bayi diikat dalam buaian Humaira, menggunakan persediaan selimut dalam lacai set ambulans. Mereka menggunakan segala peralatan yang tersedia, sepatu boot dan jas hujan parasit. Sambil menyalakan senter, Herlina membuka pintu, “Lekas! Tetap diam menunggu, atau keluar, sama-sama berpotensi mati!” Pintu terbuka, dan ---

Tangan kokoh merenggut leher Herlina dari belakang, AAAW! Jerit keduanya berkoar di antara deras hujan, kilat dan halilintar. Saat tubuhnya ditarik keluar, reflek kaki Herlina menendang pintu ambulans hingga tertutup, mengamankan Humaira dan bayi bersamanya yang histeris menjerit-jerit!

“KUNCI!” Teriaknya, tersedak tangan Byron menyiku lehernya, hingga tercekik! “Aku tidak akan membuat ini mudah tanpa perlawanan, bajingan!” Teriak Herlina, menghantamkan kepalanya ke wajah Byron! BAGK! Belitan sikut di lehernya mengendur. Herlina berontak, lanjut menyikut lambung Byron. Pergumulan mereka terpisah. Terakhir, senter dalam genggaman Herlina, dilayangkan menghantam kening Byron. BAGH!

Byron terjungkal, Herlina kabur ke tepi ambulans. Byron lekas bersiaga, sambil menyusut darah tersembur dari hidungnya, “Bunting sialan, sakit gua!” Teriaknya geram! Lekas mengejar Herlina yang merayap tertatih, ke tepi body ambulans, siaga segal kemungkinan yang terjadi.

Posisi Byron di belakang ambulans, Herlina merapat ke kiri kemudi, dengan menyaksikan mayat Raka terpanggang suluh, dan tentu saja Humaira semakin paranoid akut di delam terjebak menggendong bayi, bersama mayat buntung terbelek, ia meraih gunting di tepi mayat, teringat ucapan Herlina benda tahayul itu digunakan sebagai penjaga ibu hamil. “KENAPA?” Teriak Humaira histeris, menuntut alasan mengapa bajingan itu menghabisi mereka semua.

Hantaman tinju Byron memecah kaca panel-panel jendela lambung Ambulans, mengintimidasi, “Karena kalian berada di tempat dan waktu yang salah, dengan orang yang salah! Aku sudah meminta supirmu itu pergi, ternyata bunting sialan dan susternya melihat mayat saksi kunci persidangan orang penting di kota ini. Apes kalian!”

Herlina menimpali dari depan mobil, “Tinggalkan kami, dan kami tidak akan bicara apapun tentang kejadian ini! Tidakkah kau lihat, kami perempuan-perempuan yang sedang mengandung, demi ibumu, berbuat baiklah!”

“Gua gak tahu emak!” Jawab Byron, “Gua orphan dari lahir!” DAR! Byron meninju panel kaca terakhir, berteriak angker mengintimidasi kedua wanita yang menjerit saling bersahutan.

Herlina mencoba menyusup ke pintu kiri kemudi, namun langsung disambut kepala buntung Mbak Rain Fello, begitu pintu dibuka, AWWW! Byron tak kalah gesit memburu kesana, Herlina kabur merayap kembali ke posisi awal, menjauh dan berakhir di tepi kiri ambulans, tak ada jalan selain, merayap masuk kolong kendaraan, memotong jarak mengitar.

Baru setengah badan, kaki Herlina disergap Byron dan menariknya dari kolong mobil, dalam posisi berlutut siaga tangan hendak melayang, membabat kaki Herlina yang kelojotan, teriaknya histeris memanggil, “HUMAIRAAA!”

“HEIY!!!” Gertak terdengar dari jendela mobil tepat Byron menarik kaki Herlina. Byron tengadah! BAGH! Hantaman tabung oksigen portabel, dilayangkan Humaira menghajar wajah lelaki itu! “Mati lo Dajal!”

Lepas kaki Herlina dari cengkraman, ia memiringkan badan, sebelah tangannya memegangi perut hamil, tangan lainnya menyeret tubuh terengah, menyebrangi kolong ambulans ke sebelah kanan. Sementara itu Byron yang kalap, sudah tak ingin bermain-main lagi. Ia bangkit menghajar panel jendela pintu ambulans belakang, hendak membuka engsel kunci. Bersamaan Herlina bangkit tertatih, lalu menyadari ancaman segera mendatangi Humaira di dalam.

Seolah berpacu dengan waktu yang mendadak hening dan terasa begitu lambat-melambat. Intuisi Herlina tergerak mengambil gunting di atas bekas deks oksigen portabel yang tadi dicabut Humaira, dekat jendela pecah. Gerakan Herlina dan Byron saling memburu ke pintu belakang ambulans.

Tepat tangan Byron menyentuh engsel pintu, sepersekian detik tubuh Herlina telah condong masuk dari tepi jendela ambulans. Tatapan mereka bertemu. Lalu --JLEBBB! Gunting menusuk tembus ke tangan Byron, terpaku kuat pada celah jendela pecah. Tangan Herlina gemetar, melepas gunting yang menancap di tangan Byron. Herlina mundur beberapa jarak. Mata nanar mereka saling bertemu, di keheningan yang seolah segala suara hilang.

***

Tangis bayi seolah tak terdengar di deras hujan yang mengandung badai kencang, menggerakan pepohonan, hingga dedaunan putus dari ranting-rantingnya, bertaburan. Herlina mengumpulkan ketabahan, berjalan memutar tertatih, ke pintu kanan ambulans, membuka pintu bagi Humaira, supaya ia lekas meloloskan diri, sementara si Jagal terkunci tepat di pintu keluar belakang.

Meski rasanya sulit, Humaira haus mengangkat kaki naik menyebrang skat dari kabin ke ruang kemudi, tak ada pilihan lain. Mereka tak tahu berapa peluang waktu yang masih dipunya, lolos dari kondisi ini. Perlahan tapi pasti, setelah menyerah alihkan bayi, Humaira merayap keluar dari skat, memijakkan kaki ke jok kanan, tepat menyenggol kepala buntung Rain Fello, jatuh menggelinding ke kolong ambulans.

“Jangan nengok kanan!” Seru Herlina, namun pantulan spion belakang menampilkan mulut mayat Raka tersodok kayu. Humaira terengah,  mereka sudah tak tahu apa yang dirasakan, hanya meraba perut berharap bayi dalam kandungan masih bergerak, artinya semua baik-baik saja.

Bersama hujan mengguyur, mereka berdua saling bopong, membawa bayi, mencoba melarikan diri, meniti lahan menuju suara deru sungai. Menyadari korbannya akan lolos, Byron melempar golok ke arah mereka.

Golok melayang seperti bumerang, hampir saja menebas leher salah satu di antara mereka, jika Humaira tak mendorong kawannya, yang justru membuat keduanya terperosok, jatuh meluncur di lahan miring licin terguyur hujan. Golok menancap ke pohon!

Dalam guyuran hujan, wajah tampan Byron benar-benar tampak ngambek, tangannya gemetar mencabut tusukan gunting yang memakunya ke pintu ambulans.

Darah menyembur seiring erang tertahan, gunting pun tercabut. Nafas amarahnya memburu, tiba-tiba secara menyebalkan kepala Rain Fello menggelinding terbawa curah genangan dekat kakinya, seolah mengejek. JANCUK!  Serentak kakinya menendang kepala buntung itu, meluncur ke bawah area dua wanita hamil yang terperosok.

Kepala meluncur lantas menancap ke dahan pohon, tepat kedua wanita hamil membawa bayi, terhenti meluncur dekat pohon tersebut, sehingga keduanya langsung menyaksikan bagimana kepala melayang dan menancap ke batang pohon tepat di hadapan muka mereka, AWWW!

***

Sepertinya alam mulai bersahabat, mereka menemukan sungai belum dibedah pintu bendungan pusat, tapi volume air terasa semakin meningkat. “Kita merayap ke seberang, lewat cadas dan bebatuan, jeung.” Kata Herlina ke kawannya. “Lekas!”

Bukan perkara mudah seperti perkiraan mereka, apalagi dikondisi hamil tua, membwa bayi, menyebrang sungai dalam kondisi hujan angin, dengan hanya penerangan senter. Benar-benar menyiksa! Beberapa kali mereka hampir jatuh atau tenggelam di celah genangan tanpa cadas dan hanya deras air, sampai pada akhirnya adrenalin tak lagi sesuai kondisi fisik, Humaira letih, terperosok ke genangan di antara cadas bebatuan.

Herlina menoleh, lekas memburu Humaira, hendak membantu bangkit, tapi ia sudah tidak berdaya, “Stop!” Tukas Humaira, mereka diam, kedua wanita itu saling memahami, ini adalah saatnya. “Iya!” Humaira mengangguk, bayi yang dikandungnya akan lahir saat ini juga.

Herlina menaruh bayi dalam buaiannya ke atas batu cadas, mencondongkan tubuh, meraba bagian tubuh Humaria, yang terendam air hingga pinggang. Ia hanya  bilang, sambil berlinang air mata, “Aku pernah melahirkan dalam proses air, anak yang kukandang insya Allah kelahiran yang ketiga!” Herlina mengambil seikat lidi yang terselip di dasternya, “Peggang, dan  tenanglah jeung.”

Saat itu, Herlina merasakan kepala bayi terantuk ke tangannya. Humaira mengerang, menahan nyeri di kelahiran pertama, kakinya menggelinjang terimpit di antara bebatuan, macet terkunci. Bayi lahir terangkat tangan Herlina dari dalam air, menangis keras. Tiba-tiba gerakan seuntai sabuk mengalung ke leher Humaira, menarik dan mencekik lehernya.

Byron! Mereka tersentak! “Bawa lari bayinya, Bunda!” Jerit Humaira, sebelum tersedak tak lagi bisa berteriak, ia mematahkan lidi di tangannya, terus menusukan pada kedua mata Byron, di belakang wajahnya. JLEBB! AGHHH! Lelaki itu mengerang, menjatuhkan diri di antara bebatuan cadas, lalu berdiri mencabut satu persatu lidi yang menancap matanya secara mengerikan, berlumur darah.

Di antara dua bayi dan Humaira, Herlina di hadapkan kepada dilema yang sulit. Humaira mempermudah Herlina, agar naik dari sungai membawa kedua bayi, agar meninggalkan dirinya saja. Ia memperlihatkan kakinya yang terhimpit di antara batu, tak mungkin bergerak!

Keadaan semakin mendesak, deru air tiba-tiba terdengar lebih keras dari hujan, gulungan air bah datang. Sepertinya pintu bendungan sudah dibedah! “Bilang aku cinta sama Miska, Bunda.” Humaira terisak,  “Aku kasih anak cowok buat dia.” Ucapan terakhir Humaira ke hadapan Herlina, saat Herlina mengambil bayi kedua ke buaiannya, lalu berpaling secepat mungkin, berpacu dengan gulungan air bah yang datang segera!

Byron bangkit selesai mencabuti lidi di mata, sepertinya tersisa satu mata yang masih rabun menerawang di antara gelap. Humaira tak buang kesempatan, saat Byron melangkah melewati dirinya, hendak mengejar Herlina dan bayinya. Humaira menghantamkan batu hingga lelaki itu roboh ke dekatnya.

Gulungan air menderu keras, menyampak seolah memburu ke area. Humaira merayap pada tubuh jatuh Byron, menangkap kakinya, lalu melepas sabuk yang melilit di leher, mengikatkan diri pada keduanya. “JANCUK!” Upat Byron, melihat dirinya terikat bersama Humaira, saat air bah menabrak kedua tubuh mereka.

“Aku seret kau ke neraka, Byron!” Upat Humaira tabah, saat air bah menerjang tubuh keduanya.

***

Herlina mencapai tepi sungai, menaikan kaki dan menelentangkan tubuh menatap angkasa, dua bayi ia taruh di kedua sisinya, ringtone selular berbunyi dari saku daster terdengar, mulai signal selular masuk. Matanya letih tertutup. Dalam gelap, ia mendengar sirine dan kerlap-kerlip lampu di pelupuk matanya.

SELESAI

KATARSIS : RS. Central : Kelopak mata terbuka, kilau cahaya putih menerawang pandang, mengarah ke sekitar, ternyata diri kini tengah telantang di atas ranjang ruang rawat, begitu menyadari suster seksi dengan span pendek muncul dari balik pintu, mengganti kantung infus. Seraya berkata, "Anda ditemukan team SAR hayut dari sungai dengan luka-luka, tuan Byron Khafka."

Suster memandang tubuh lelaki bertelanjang dada di balik selimut, penuh rasa minat, meski berbalut perban di sekitar kepala dan lingkar dada, "Tertarik dengan pria terluka?" Goda Byron, menyingkap selimut hingga pangkal pinggang terbuka, "Aku rasa aku bisa menanganinya, suster Maitra Tara." Senyum Byron terkembang membaca papan nama di seragam suster.

#AbyKahfi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun