Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bunting Mutilasi

3 September 2016   20:22 Diperbarui: 4 September 2016   12:30 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gua gak tahu emak!” Jawab Byron, “Gua orphan dari lahir!” DAR! Byron meninju panel kaca terakhir, berteriak angker mengintimidasi kedua wanita yang menjerit saling bersahutan.

Herlina mencoba menyusup ke pintu kiri kemudi, namun langsung disambut kepala buntung Mbak Rain Fello, begitu pintu dibuka, AWWW! Byron tak kalah gesit memburu kesana, Herlina kabur merayap kembali ke posisi awal, menjauh dan berakhir di tepi kiri ambulans, tak ada jalan selain, merayap masuk kolong kendaraan, memotong jarak mengitar.

Baru setengah badan, kaki Herlina disergap Byron dan menariknya dari kolong mobil, dalam posisi berlutut siaga tangan hendak melayang, membabat kaki Herlina yang kelojotan, teriaknya histeris memanggil, “HUMAIRAAA!”

“HEIY!!!” Gertak terdengar dari jendela mobil tepat Byron menarik kaki Herlina. Byron tengadah! BAGH! Hantaman tabung oksigen portabel, dilayangkan Humaira menghajar wajah lelaki itu! “Mati lo Dajal!”

Lepas kaki Herlina dari cengkraman, ia memiringkan badan, sebelah tangannya memegangi perut hamil, tangan lainnya menyeret tubuh terengah, menyebrangi kolong ambulans ke sebelah kanan. Sementara itu Byron yang kalap, sudah tak ingin bermain-main lagi. Ia bangkit menghajar panel jendela pintu ambulans belakang, hendak membuka engsel kunci. Bersamaan Herlina bangkit tertatih, lalu menyadari ancaman segera mendatangi Humaira di dalam.

Seolah berpacu dengan waktu yang mendadak hening dan terasa begitu lambat-melambat. Intuisi Herlina tergerak mengambil gunting di atas bekas deks oksigen portabel yang tadi dicabut Humaira, dekat jendela pecah. Gerakan Herlina dan Byron saling memburu ke pintu belakang ambulans.

Tepat tangan Byron menyentuh engsel pintu, sepersekian detik tubuh Herlina telah condong masuk dari tepi jendela ambulans. Tatapan mereka bertemu. Lalu --JLEBBB! Gunting menusuk tembus ke tangan Byron, terpaku kuat pada celah jendela pecah. Tangan Herlina gemetar, melepas gunting yang menancap di tangan Byron. Herlina mundur beberapa jarak. Mata nanar mereka saling bertemu, di keheningan yang seolah segala suara hilang.

***

Tangis bayi seolah tak terdengar di deras hujan yang mengandung badai kencang, menggerakan pepohonan, hingga dedaunan putus dari ranting-rantingnya, bertaburan. Herlina mengumpulkan ketabahan, berjalan memutar tertatih, ke pintu kanan ambulans, membuka pintu bagi Humaira, supaya ia lekas meloloskan diri, sementara si Jagal terkunci tepat di pintu keluar belakang.

Meski rasanya sulit, Humaira haus mengangkat kaki naik menyebrang skat dari kabin ke ruang kemudi, tak ada pilihan lain. Mereka tak tahu berapa peluang waktu yang masih dipunya, lolos dari kondisi ini. Perlahan tapi pasti, setelah menyerah alihkan bayi, Humaira merayap keluar dari skat, memijakkan kaki ke jok kanan, tepat menyenggol kepala buntung Rain Fello, jatuh menggelinding ke kolong ambulans.

“Jangan nengok kanan!” Seru Herlina, namun pantulan spion belakang menampilkan mulut mayat Raka tersodok kayu. Humaira terengah,  mereka sudah tak tahu apa yang dirasakan, hanya meraba perut berharap bayi dalam kandungan masih bergerak, artinya semua baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun