Penggunaan kedua metafora ini oleh Sosrokartono memiliki tujuan yang jelas. Ia ingin mengilustrasikan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan atau dominasi, melainkan tentang pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat.Â
Dalam konteks ini, "Mandor Klungsu" mencerminkan sikap rendah hati dan kesadaran akan tanggung jawab, sementara "Joko Pering" mencerminkan semangat juang yang tak kenal lelah. Keduanya merupakan elemen penting dalam membangun hubungan yang harmonis antara pemimpin dan masyarakat.
Melalui metafora ini, Sosrokartono mengajak masyarakat untuk berpikir ulang tentang konsep kepemimpinan. Ia menekankan bahwa pemimpin harus berkomitmen untuk menciptakan kesejahteraan bersama tanpa merasa harus memiliki atau mengendalikan.Â
Kepemimpinan yang tulus adalah tentang merangkul dan mendukung setiap individu dalam komunitasnya, tanpa mengharapkan imbalan atau pengakuan. Metafora "Klungsu" dan "Joko Pering" menciptakan kerangka kerja untuk memahami bagaimana seorang pemimpin seharusnya berinteraksi dengan masyarakatnya.
Dalam praktiknya, Sosrokartono menjalankan prinsip-prinsip ini dengan penuh konsistensi. Ia menekankan pentingnya pelayanan tanpa pamrih dalam setiap tindakan kepemimpinannya. Dengan sikap ini, ia menunjukkan bahwa ia lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dibandingkan ambisi pribadi.Â
Ini terlihat dalam kebijakan-kebijakan yang diambilnya, yang selalu berorientasi pada kesejahteraan rakyat, serta dalam cara ia berkomunikasi dengan masyarakat. Sosrokartono tidak hanya berperan sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai sahabat dan pelindung bagi rakyatnya.
Rasa tanggung jawab yang kuat terhadap kesejahteraan masyarakat juga merupakan pilar utama dalam kepemimpinan Sosrokartono. Ia percaya bahwa setiap pemimpin harus memiliki rasa empati yang tinggi, yang tercermin dalam tindakan nyata untuk membantu mereka yang membutuhkan.Â
Dengan memegang prinsip ini, ia berhasil membangun kepercayaan dan loyalitas dari masyarakat, yang merasa diperhatikan dan dihargai. Melalui kepemimpinannya, masyarakat belajar bahwa mereka memiliki peran penting dalam proses pembangunan dan kesejahteraan bersama.
Sosrokartono juga menyadari bahwa untuk menjadi pemimpin yang efektif, ia harus mampu mendengarkan suara rakyatnya. Ia mengadakan dialog terbuka dan mengajak masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.Â
Ini adalah bentuk nyata dari konsep "Mandor Klungsu," di mana pemimpin berperan sebagai penjaga dan pelayan, bukan sebagai penguasa. Melalui partisipasi aktif ini, ia berhasil menciptakan suasana di mana masyarakat merasa memiliki andil dalam pembangunan daerah mereka.
Kedua metafora ini bukan hanya teori belaka, tetapi juga menjadi panduan praktis bagi Sosrokartono dalam menjalankan tugasnya. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dengan pendekatan yang lebih modern.Â