[caption caption="The Love Awakens"][/caption]
Prasangka terdiri dari pra dan sangka. Pra=sebelum, sangka=anggapan. Orang sering bilang sebaiknya kita selalu berprasangka yang baik-baik saja. Anda tidak perlu percaya perbilangan seperti itu. Bukan masalah besar kita berprasangka baik atau berprasangka buruk, tergantung situasinya, asal semua prasangka itu berakhir dengan pascasangka yang baik. Setuju? Inilah kisah tentang balada sangka-sangka ... Star Wars style. Halah!
***
Pernikahan itu terjadi setelah pertemuan-pertemuan tak terduga yang begitu indah namun cepat dan upacaranya pun berlangsung dengan begitu syahdu namun singkat. Sutar dan Wurry, perjaka tampan rupawan dan perawan cantik menawan, telah bersanding di pelaminan, tersenyum bahagia mengawali fase hidup baru mereka. Setiap hari memang adalah hidup baru, tapi hidup pengantin baru adalah yang paling istimewa. Tiga hari yang lalu mereka adalah makhluk asing satu sama lain, kini dengan kuasa cinta, mereka bergandeng tangan penuh kemesraan, siap menjadi bahagia dan sengsara berdua sebagai sepasang sahabat, saudara, dan makhluk fana yang mengemban naluri peranakan melanjutkan keberlanjutan keturunan. Semua yang hadir menyambut gembira hari bersejarah mereka. Sutar pemuda Planet Bumi, Wurry pemudi Planet Efcee, hari ini jarak dua belas hari cahaya mereka mampatkan dalam satu perjalan sekejap mata. Mata sepasang pengantin yang dilanda amuk asmara.
“Izinkan kami berangkat pulang ke Bumi, ayah. Kami akan kembali ke Efcee bersama keluarga besar Bumi,” kata Sutar penuh hormat pada Bakoul, ayah mertuanya.
“Berangkatlah, berangkatlah jangan kautunda-tunda lagi!” jawab ayah mertuanya.
Maka berangkatlah sepasang kekasih yang masih segar, kaku dan malu-malu rangkaian tari-tari cintanya itu. Mereka memasuki Tress-N4, pesawat antariksa yang akan mengantarkan mereka menembus belantara jagad raya. Semua melambaikan tangan mengantar kepergian. Ketika N4 telah lenyap, Bakoul tak kuasa menahan leleh air mata. Bisa jadi hari itu adalah terakhir kali ia bisa melihat putri terkasihnya. Ia telah menyiapkan berita ‘JANGAN KEMBALI LAGI’ untuk ia kirim beberapa jam lagi.
N4 melesat cepat, terlalu bahagia untuk sanggup memindai bahaya.
Sutar telah memastikan koordinat tujuan pesawat dan menyerahkan kendali pada auto pilot. Kecepatan ia tetapkan 6 cahaya untuk 48 jam perjalanan menuju kampung halaman. 48 jam telah ia jatahkan untuk memastikan mereka menghadap ayah dan ibu di Bumi dalam keadaan telah lepas perjaka dan perawan. 48 jam waktu yang cukup panjang, tapi dari percakapan dan kabar-kabar, Sutar memperhitungkan 48 jam terlalu sekejap untuk sepasang pengatin. Sutar akan mempergunakannya sebaik mungkin. Ini adalah malam pengantin mereka, meskipun secara teknis tidak ada siang dan malam di antariksa.
Ia dapati istri tercintanya meneteskan air mata.
“Ada apa, Wu?” tanya Sutar lembut.
Wurry tersenyum dan memeluk pinggang suaminya sambil mengusapkan air mata ke dada laki-laki sumber kekuatan hidupnya. “Aku bahagia,” ungkapnya. “Aku mencintaimu.”
“Aih ...mestinya aku dulu yang mengucapkan cinta padamu.”
“Cintaku lebih besar. Aku yang berhak duluan.”
“Cintaku paling besar. Dan aku kecolongan start mengucapkannya.”
“Cintaku tak mungkin terukur. Sepantasnya aku mengucapkannya lebih dulu.”
“Cintaku melampaui batasan. Aku malu tak segera mengucapkan padamu.”
“Baiklah, maafkan kelancangan istrimu.”
“Oh tidak, maafkan aku yang lalai mengucapkannya lebih dulu.”
Dialog ini sebenarnya masih panjang dan makin membosankan bagi siapa saja kecuali mereka, pengantinnya. Segala kata telah melampaui makna kamusnya. Segala yang terucap tidak harus terurai artinya. Sang kekasih hanya haus perhatian, berhasrat menjadi pusat mata memandang. Mengajak kekasih bicara bahkan hanyalah alasan untuk mencari-cari kesempatan menghirup harum aroma nafasnya yang menggetarkan.
Dan bila mereka telah kehabisan kata-kata, sedang apa yang di dalam dada masih menggelepar-gelepar ingin keluar dan menyapa, mereka pun menyerah, membiarkan dua mulut itu bekerja dengan cara yang lebih lugas dalam bertukar berjuta-juta kata. Bibir-bibir mereka saling merindu dan menyatu, berbagi kelembutan, kehangatan dan basah-basah yang licin tapi sungguh membakar kesadaran. Belum lagi ditambah kenyataan adanya makhluk-makhluk lain dalam mulut-mulut mereka yang berusaha saling membelit kawannya kalau saja mereka cukup panjang untuk menggapainya.
Tapi dalam temaram pandangan mata setengah pejam, Sutar melihat Wurry kembali mengalirkan air matanya. Ia menangis.
“Kamu menangis, Wu?”
“Aku bahagia,” ungkapnya. “Aku mencintaimu. Maafkan kelancanganku.”
“Oh, tidak mengapa, cintamu memang lebih besar.”
“Tapi cintamu yang paling besar.”
“Demi cintamu yang tak mungkin bisa kuukur.”
“Karena cintamu telah melampaui segala batasan.”
Hadeh, dialog pun kembali membosankan. Dan mereka kembali berciuman, kembali memasrahkan diri pada hasrat yang melenakan. Sutar tak lagi memaksa otaknya mengendalikan otot-otot yang menggerakkan seluruh tubuhnya. Semua terjadi begitu saja, dan tiba-tiba ia sadari istrinya telah tersentak. Sutar memandanginya dan barulah ia dapati tangan kanannya telah menyusup dalam kain perempuan itu, menangkap setangkup dada yang nyaman dalam pegangan. Buru-buru Sutar menariknya, merasa tak enak telah mengejutkan kekasihnya. Tapi sang kekasih kemudian membukakan itu untuknya dan menuntun tangannya kembali ke tempat semula.
Sutar tersenyum haru. Ia hirup dalam-dalam aroma dada istri tercintanya.
Wurry gemetar. Air matanya kembali bercucuran.
“Wu, ada apa?” tanya Sutar.
Wurry tidak menjawab. Ia raih kepala suaminya dan membenamkannya di antara gunung tegak menjulang di dadanya. Ia peluk kepala itu erat-erat seakan hendak ia rasukkan ke jantungnya agar menyatu selamanya. Lalu Wurry melanjutkan tangisnya.
Tangis itu menghanyutkan Sutar pada satu ingatan. Ia pernah melihat tangis itu beberapa hari yang lalu. Tangis yang sama mengherankannya. Mungkin karena mereka belum lama bertemu dan di mata Sutar saat itu, Wurry adalah gadis tangguh dengan tangan-tangan yang terkepal siap meninju. Gadis setangguh itu ternyata bisa menangis juga, batinnya kala itu.
Mereka pertama kali berjumpa di Planet Efbee. Datang dengan tujuan yang sama, mengisi bekal sebanyak yang bisa dibawa. Planet Efbee cukup menyenangkan untuk mereka yang siap menghadapi bandit-bandit segala macam. Sutar melihat gadis itu menyetir kontainer bekalnya dengan kesembronoan yang kentara. Ia tampak tergesa-gesa tapi Sutar memakluminya. Untuk gadis yang tampak lemah seperti dia, ia memang sebaiknya tergesa-gesa menyelesaikan urusan di planet celaka. Tapi Sutar tak bisa membiarkannya begitu saja setelah kontainer gadis itu akhirnya mencelakai kontainer Sutar sendiri. Lumayan berantakan.
Tanpa sedikit pun curiga, Sutar memaafkannya, bersama-sama membereskan bekal yang berhamburan. Untuk gadis secantik dia, laki-laki manapun pasti akan mudah memaafkannya. Lalu mereka berpisah, hanya dengan bertukar kata seperlunya. Sutar melanjutkan urusannya. Tapi setelah beredar ke sana ke mari, menawar itu dan ini, Sutar baru tersadar ada sesuatu miliknya yang tak lagi ada pada dirinya. Sesuatu yang sangat penting, selalu ia bawa ke mana pun perginya, sesuatu yang kalau sampai hilang, sia-sialah semua susah payah perjalannya. Sesuatu itu adalah sebuah peta.
Sial, pasti gadis itu! Ini Planet Efbee, Sutar! Cukup menyenangkan bila kau sanggup menghadapi bandit-bandit segala macam, termasuk macam gadis secantik itu.
Sutar melepas kontainernya, dan melesat mengejar pencuri harta karunnya. Ia masih beruntung, gadis itu berhasil dia pergoki masih di sana bersama pesawatnya. Dan ia bisa melihat sesuatu yang dicarinya. Gadis cantik nan lemah itu benar-benar telah mencuri petanya. Sutar merutuki dirinya sendiri karena merasa begitu bodoh telah dikerjai. Ia pantang dibodohi sekali lagi.
“Nona, saya kehilangan sesuatu, kulihat sekarang ada padamu. Aku tidak akan menganggapnya pencurian kalau sekarang kamu kembalikan.”
“Pencurian? Aku tidak mencuri!”
Tapi Sutar memang cukup bodoh. Ia salah mengira. Gadis itu tidak selemah perkiraannya, bahkan ia tidak lemah sama sekali. Dan gadis itu marah sekali karena disebut pencuri. Tapi mau bagaimana lagi, Sutar hanya mengatakan apa yang ia lihat sendiri. Semua memang harus diselesaikan dalam pertarungan. Pertarungan yang Sutar sama sekali tidak memperhitungkannya. Gadis lemah itu justru yang lebih dulu menyerangnya, menyerang habis-habisan.
Segala macam makhluk berdatangan menyaksikan pertarungan mereka. Semua bersorak-sorak, berteriak. Bursa taruhan dadakan digelar. Sutar sadar harus segera mengakhiri urusan konyol hari ini. Tapi gadis itu terlalu ganas untuk ditaklukkan kecuali dengan melukainya. Sesuatu yang Sutar gagal melakukannya.
Kesempatan itu akhirnya datang juga. Sutar berhasil merebut petanya. Tapi sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ternyata ada dua peta yang nyaris sama. Sutar mengambil miliknya dan gadis itu mengambil miliknya juga.
“Nona, kamu akan mencari Nirva juga?” tanya Sutar, tercengang.
“Ya. Maafkan aku, kupikir itu tadi petaku,” jawabnya.
“Nona, apakah peta Nirvamu telah menyala?”
“Belum.”
Tanpa sadar, mata Sutar berbinar-binar.
“Boleh kucoba dengan peta Nirvaku?” tanya Sutar, mengulurkan tangannya. Gadis itu tidak menjawab, tapi ia mengulurkan peta Nirva miliknya. Sutar memasangkannya, dan gambar-gambar rumit yang bercahaya bermunculan di sekitarnya. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan mereka terdiam karena terserap ketakjuban.
“Nona ...” kata Sutar, tapi sulit melanjutkannya. “Peta kita berpasangan. Apakah kamu ... kita ... Kamu tahu apa artinya?”
Gadis itu mengangguk pelan.
“Nona ... apakah kita ... bisa ... bekerja sama ...?”
Gadis itu menjawab dengan senyumnya.
“Nona, tahukah kamu kalau itu berarti ... kita harus menjadi ... kekasih?”
Gadis itu terdiam. Sutar berdebar-debar menunggu jawabannya. Tapi gadis itu tetap terdiam. Sutar tidak sabar. Ia ulurkan tangannya. Ketika gadis itu menyambut tangannya dan membalas genggamannya, Sutar tahu jawabnya adalah ‘ya’. Dunia boleh gelap gulita saat itu juga, tapi pendar-pendar cahaya terang memancar berpercikan ketika sepasang mata mereka saling bertatapan. Bermacam-macam makhluk bersorak sorai, bertepuk tangan, jumpalitan, bergulingan, dan segala ekspresi riang gembira menurut budaya masing-masih mereka begitu menyaksikan Sutar menggandeng gadis itu meninggalkan arena pertarungan dengan saling tersenyum dan memandang.
Gadis itu tidak keberatan menjual pesawatnya, urusan yang sangat sepele di Planet Efbee, lalu menyambut ajakan Sutar bergabung dalam N4, pesawatnya. Ketika N4 membawa mereka melesat meninggalkan Efbee, itulah pertama kali Sutar menyaksikan gadis tangguhnya beruari air mata.
“Hei, ada apa denganmu?” tanya Sutar kebingungan.
“Aku bahagia menjadi kekasihmu,” ungkapnya, mengusap air matanya. “Ajari aku membahagiakanmu.”
Sutar tersenyum. Gadis setangguh dia ternyata bisa menangis juga, batinnya. Dan gadis tangguh itu menangis untuknya! Lalu ia teringat sesuatu yang menjadi salah satu syarat awal jalinan kasih mereka. Syarat yang ternyata tidak terlalu penting, tapi pasti sangat berguna.
“Namaku Sutar. Kamu?”
“Wurry.”
“Kamu tahu, Wu ... kamu sudah sangat ahli membuatku bahagia. Kita harus menemui orang tua kita dan mengesahkan cinta, lalu kita mulai petualangan ke Nirva.”
Mereka tiba di Efcee tidak lama kemudian. Semua menyambutnya dengan heran.
“Ayah,” kata Wurry. “Kami kembali menghadapmu untuk memohon restu.” Ia pasangkan kedua peta Nirva dan gambar-gambar rumit bercahaya yang bermunculan telah menjelaskan semuanya.
“Ohhh ... aku tahu kamu pasti menemukan kekasih Nirvamu!” sambut sang ayah lalu memeluk putri kesayangnnya, dan menarik Sutar dalam pelukan itu juga.
Bakoul menikahkan mereka hari itu dan mereka berangkat ke Bumi setelahnya.
“Wu, apakah kamu ... punya kekasih lain sebelum aku?” tanya Sutar sedih.
“Tidak, tidak ada,” jawab Wurry cepat. “Oh, Su, kamulah yang pertama dan satu-satunya kekasihku. Nirva memilihmuu untukku. Aku mencintaimu. Apakah kamu meragukan cintaku?”
“Kalau begitu, ajari aku membahagiakanmu ...”
“Kamu sudah sangat ahli membuatku bahagia.”
“Ajari aku membuatmu tidak menangis lagi.”
“Sentuh aku. Miliki aku, Su. Lengkapi tubuh dan jiwaku.”
“Ya, aku tersiksa harus menunda-nundanya. Tapi Wu, aku harus menundanya untukmu. Beri tahu aku sebab tangismu yang sebenarnya, biar aku putuskan sendiri apa yang harus aku lakukan untuk mencegahnya. Itu bukan tangis bahagia, aku tahu. Aku kekasihmu. Jangan ragukan naluri cintaku, Wu.”
Wurry menjatuhkan diri dalam pelukan Sutar dan menumpahkan sisa air matanya di sana. Lalu berceritalah ia tentang ketakutannya ...
Wurry kecil memiliki banyak guru. Guru-guru yang bergantian mengenalkan Wurry pada berbagai macam ilmu pengetahuan, terutama ilmu bertempur, bertarung, bersiasat perang. Guru-guru yang menyenangkan menurutnya. Ayahnya yang bersusah payah mendatangkan guru-guru itu tapi ayahnyalah justru faktor tidak menyenangkan dari semua kesenangan berburu ilmu. Ayahnya sangat keras. Wurry selalu berhasil membuat terkesan guru-gurunya, tapi tidak di mata ayah. Wurry merasa telah berlatih dengan keras, tapi selalu kurang keras menurut ayahnya. Kadang Wurry jadi begitu benci pada ayahnya sendiri. Itu sebelum hari di mana ayah memberinya hadiah peta Nirva.
“Aku telah berunding dengan guru-gurumu,” kata ayahnya. “Mereka telah setuju. Wurry, kamu telah siap untuk Nirva.”
Peta itu berpindah ke tangan Wurry dan memindai seluruh tubuh Wurry dengan cara-cara anehnya. Wurry menunggu dengan penuh harap. Ketika peta itu terbuka, Wurry tak tahan untuk tidak menjerit senang. Peta itu telah memilihnya.
“Wurry, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya.”
“Ya, ayah. Aku akan mencari pasangan Nirvaku!”
“Ya. Dan tentang pasangan itu, sudah saatnya ayah menceritakan sesuatu padamu.”
Berceritalah ayahnya tentang Wurry yang balita. Bercerita dan mata berkaca-kaca.
Wurry anak yang menyedihkan dan sakit-sakitan. Tapi ia adalah anugerah terindah bagi ayah dan ibunya. Mereka merawatnya dengan penuh cinta. Tak ada kata putus asa untuk mencari penawar sakitnya, tak ada kata letih untuk menempuh segala perjalanan ke sana, tak ada kata boros untuk mengganti semua biayanya. Segala cara telah ditempuh, segala usaha telah dilakukan. Wurry kecil masih menyedihkan dan sakit-sakitan.
Hari itu ayah dan ibu membawa Wurry ke Planet Marr. Bukan perjalanan yang mudah dan menyenangkan. Tapi setelah segala macam perjalan yang mereka sasar selama ini, berangkat ke Marr hanya sedikit lebih sulit dari biasanya. Itu memang menjadi perjalanan mereka paling berbahaya, tapi itu juga akan menjadi perjalanan terakhir mereka. Dan pesawat mereka tidak pernah mendarat di Marr.
Segerombolan perompak menghadang pesawat mereka. Pertempuran tak terelakkan. Pertempuran yang tidak seimbang. Pesawat mereka telah dibuat lumpuh. Makhluk-makhluk aneh menerobos masuk, memperagakan hal-hal mengerikan dan menjijikkan, dan mereka jadikan para tawanan sebagai alat peraganya. Wurry telah berada di tempat aman, di dalam kapsul rahasia, siap untuk otomatis dilarikan pulang. Ketika itulah muncul dia, makhluk tak kalah mengerikannya. Tapi ayah bisa sedikit menjadi lega karena sengeri apapun, makhluk itu adalah manusia sepertinya. Dan makhluk itu memberantas semua perompak menjijikkan.
“Manamu yang sakit?” tanya makhluk itu akhirnya.
“Bukan saya, Tuan,” jawab ayah masih ketakutan. “Anak saya.”
“Bawa ke sini, dan setelah ini katakan pada semua yang kamu temui, Marr itu planet bangsat, bukan tempat mencari obat!”
Ayah ragu. Ia tidak yakin dengan maksud sebenarnya makhluk mengerikan itu.
“MANA, KELUARKAN?” sentaknya. “Aku banyak urusan!”
Ayah masih ketakutan, tapi akhirnya Wurry ia keluarkan. Makhluk itu memandangi Wurry sebentar. Matanya terlihat sama sekali tidak berminat untuk melihat. Ia suruh ayah membaringkannya. Entah apa yang dilihat makhluk itu kemudian, tiba-tiba ia menjadi sangat antusias karenanya. Ia bolak-balik tubuh Wurry dan ia jelas tampak puas. Akhirnya ia keluarkan sesuatu dari kantung dari saku yang rumit letaknya. Sesuatu itu lalu ia masukkan ke vagina mungil Wurry dan ayah panik melihat itu semua.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Dia akan sehat dan sangat kuat,” katanya sambil memberikan sebatang tongkat kecil menyala. “Dia harus jadi milikku. Jaga dia baik-baik. Kelak bila yang kuberikan padamu itu telah habis nyalanya, aku akan mengambil anak perawanmu. Itu masih 15 tahun dari sekarang. Sekarang kalian harus pulang.”
Mereka pun pulang, mengawali masa 15 tahun yang terbayang-bayang kecemasan. Wurry memang tumbuh sehat dan kuat, tapi itu tidak membuat ayah berhenti membawa anaknya ke tempat-tempat pengobatan. Semua tabib mengatakan tidak ada yang salah dengan anaknya, malah ia anak yang sempurna. Tapi ayah yakin pasti ada yang salah karena ia melihat sendiri sesuatu telah dimasukkan ke lubang paling berharganya.
Di hari di mana Wurry mendapatkan peta Nirvanya, ayah menunjukkan sebatang tongkat yang telah habis nyalanya.
“Dia akan datang mengambilmu sewaktu-waktu,” kata ayah serak. “Pergilah, temukan pasangan Nirvamu. Maafkan aku selama ini telah keras padamu. Aku harus menyiapkan dirimu untuk Nirvamu. Nirva melindungimu.”
“Siapa dia ayah, orang yang akan mengambilku?”
“Ayah tidak tahu,” kata ayah. “Tidak ada yang tahu. Ia punya banyak nama, muncul dan lenyap sesukanya, tidak jelas berpihak pada siapa. Pertempuran-pertempuran hebat yang telah tercatat, aku yakin ia terlibat di dalamnya dengan mempelajari ciri-cirinya dan anomali konflik yang menjadi sebabnya. Dia membuat aturannya sendiri, Wurry, dan kita telah terseret dalam aturannya. Maafkan ayahmu yang tak berdaya melindungimu.”
“Jangan cemas, ayah. Aku akan menemukan pasangan Nirvaku.”
Wurry telah menemukannya, menjadi kekasihnya. Kekasih itu memeluknya.
“Aku bahagia menjadi kekasihmu, jangan ragukan itu,” kata Wurry. “Tapi di atas kebahagian ini, aku sedih teringat ayahku dan keluargaku. Dia yang bernafsu mengambil diriku pasti akan menghancurkannya.”
Sutar melepas pelukannya agar bisa memandang wajah istrinya.
“Kau tahu, Wu ... cerita kita hampir sama. Aku juga punya banyak guru. Mereka bukan guru-guru yang menyenangkan, sayangnya, tapi aku menghormati mereka. Aku juga punya ayah yang mendatangkan mereka padaku, dan ayahku ayah yang mengerikan dari aslinya. Tapi aku juga menyayanginya, menghawatirkan nasibnya. Mereka menyiapkan diriku untuk Nirva. Tapi kau tahu, persetan dengan Nirva! Kita harus kembali ke rumahmu dan membela orang-orang yang kita hormati dan cintai di sana. Kita cukupkan mereka sebagai Nirva kita.”
N4 pun berbalik arah. Mereka pulang kembali meskipun beberapa saat kemudian datang kabar “JANGAN KEMBALI LAGI”. Para orangtua kadang memang demi cinta harus didurhakai. Sutar dan Wurry siap menghadapi apapun yang layak mereka hadapi. Mereka membalas berita itu: “Kami kembali. Siap mati.”
“Wu, kamu siap mati?”
Wurry tersenyum dan mengangguk pasti.
“Aku takut sekali,” kata Sutar, menunjukkan tangannya yang gemetar. “Aku takut mati dalam keadaan masih perjaka.”
Wurry tertawa malu-malu. Ia tuntun tangan itu ke posisi nyaman semula di dadanya.
Mereka saling berbagi getar sampai tetes keringat penghabisan.
Nun jauh di planet Efcee, Bakoul pun bermandi keringat. Apa yang selama ini menghantui hari-harinya telah nyata berada di hadapannya.
“Aku tahu kau itu bodoh, tapi aku tak tahu kalau kau sebodoh itu,” kata tamu kurang ajarnya. “Pikiran dari mana itu yang membuatmu yakin bisa lari dariku?”
Bakoul bergeming. Tamunya memandanginya dengan kesal yang tertahan-tahan.
“Anak perempuanmu sudah jadi milikku. Tidak ada yang bisa merubahnya. Tidak ada yang bisa mengambil perawannya tanpa aku mengetahuinya.” Ia keluarkan sebuah tabung dan meletakkannya ke meja. Tabung berisi cairan bening dengan sebuah bola merah melayang di dalamnya. “Bahkan aku gampang mencari tahu di mana dia meskipun mulut bisumu bungkam selamanya. Kau ingat telah kumasukkan sesuatu dalam liang peranakannya? Aku tinggal memeriksa ini,” ia menunjuk tabungnya, “aku tahu kau masih menjaga perawannya untukku. Bola ini pecah, kepalamu harus pecah bersamanya. Tapi ini tidak akan pecah dengan mudah.”
Bakoul tak peduli. Ia telah lama menyiapkan diri untuk segala yang akan terjadi hari ini. Tamunya beranjak dengan gelisah, bicara pada beberapa orang di gerombolannya dan terlihat makin kecewa dan marah. Ketika itulah Bakoul melihat bola merah melayang dalam tabung bergerak-gerak tak tentu arah. Bola itu akhirnya pecah. Seperti ledakan kecil yang membuat cairan beningnya terlihat semburat merah ke segala arah. Bakoul tersenyum, memahami apa yang telah terjadi dan ia bahagia sekali. Nirva telah menjadikan putrinya wanita sempurna. Bakoul merasa tugasnya telah selesai. Sekali berarti, sudah itu mati.
“TIDAK MUNGKIN!!” teriak tamunya seperti setan kelaparan setelah mendapati tabungnya telah semakin memerah. Ia sambar leher Bakoul dan menyeretnya.
“Siapa laki-laki itu, katakan!”
“Aku sudah mati sejak kita bertemu hari itu,” erang Bakoul. “Kau tidak mungkin bisa mengancam orang mati.”
Ia melemparkan Bakoul. “Kau tak tahu diuntung!” katanya dan bergegas mendatangi gerombolannya. Ia tunjukkan tabung itu, berteriak-teriak kesetanan.
“Bagaimana bisa? Siapa dia? Cari dan bunuh dia!”
“Tunggu,” cegah seseorang. “Bagaimana kalau ternyata itu ‘dia’?”
Kata-kata ‘dia’ membuat mereka semua terperangah dan bergegas menghampiri Bakoul yang terkapar. Mereka memunculkan sebuah gambar. Gambar Sutar.
“Apakah ini bajingan yang membawa lari perawanmu?”
Bakoul tidak menjawab, tapi sorot matanya telah cukup menjadi jawaban. Jawaban itu membuat berpasang-pasang mata gerombolan makhluk beringas terbelalak. Lalu meledaklah mereka dalam tawa yang membahana tak ada putus-putusnya.
Mereka pun bubar, berhamburan keluar. Tinggal laki-laki mengerikan yang dulu telah menyembuhkan Wurry dengan cara ganjilnya. Laki-laki itu memeluk Bakoul erat-erat. Ia bisikkan sesuatu ke telinganya. Sesuatu yang membuat Bakuoul tercengang. Ketika laki-laki itu akhirnya pergi bergabung dengan gerombolannya, Bakoul memandanginya dengan masih sulit untuk percaya.
N4 akhirnya datang. Bakoul sengaja menunggunya, membiarkan rumahnya masih berantakan sisa-sisa amukan tangan-tangan berangasan.
“Ayah, kau tak apa-apa?” tanya Wurry cemas.
“Aku baik-baik saja. Kita tidak perlu mencemaskan dia selamanya.”
“Ayah, siapa dia?” tanya Sutar.
“Aku tidak tahu,” kata Bakoul. “Tidak ada yang tahu. Ia punya banyak nama, muncul dan lenyap sesukanya, tidak jelas berpihak pada siapa. Pertempuran-pertempuran hebat yang telah tercatat, aku yakin ia terlibat di dalamnya dengan mempelajari ciri-cirinya dan anomali konflik yang menjadi sebabnya. Dia membuat aturannya sendiri dan kita telah terseret dalam aturannya. Tapi, Sutar, kamu pasti tahu siapa orang itu. Dia ayahmu. Dia, sejak pertama melihat anak balitaku hari itu, menginginkan Wurry menjadi pasangan Nirvamu.”
***
Sidang pembaca yang budiman .... Zappppp, Sutar dan Wurry akhirnya berangkat mencari Nirva mereka. Perjalanan yang menyenangkan tapi belum jelas berakhir kapan. Mereka tidak tahu, tidak ada yang tahu. Setiap pasangan peta memunculkan kombinasi jalur yang berbeda-beda. Mereka harus menempuh petualangan untuk membuktikan bahwa mereka layak dipasangkan. Tapi Sutar sama sekali tak mempermasalahkan kapan Nirva akan berhasil mereka temukan. Ia telah memiliki Wurry, Nirva sejatinya. Selebihnya hanya bonus saja. Dia sama sekali tidak berangasan seperti ayahnya. Faktor ibu, kayaknya. Cuma herannya, bagaimana mungkin dulu laki-laki berangasan seperti ayahnya bisa mendapat calon ibu yang anggun dan sopan bagi anak-anaknya? Tanyakan itu pada cinta!
Mereka hidup bersama bahagia selamanya.
Pretttt (N4 melesat ...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H