Bakoul bergeming. Tamunya memandanginya dengan kesal yang tertahan-tahan.
“Anak perempuanmu sudah jadi milikku. Tidak ada yang bisa merubahnya. Tidak ada yang bisa mengambil perawannya tanpa aku mengetahuinya.” Ia keluarkan sebuah tabung dan meletakkannya ke meja. Tabung berisi cairan bening dengan sebuah bola merah melayang di dalamnya. “Bahkan aku gampang mencari tahu di mana dia meskipun mulut bisumu bungkam selamanya. Kau ingat telah kumasukkan sesuatu dalam liang peranakannya? Aku tinggal memeriksa ini,” ia menunjuk tabungnya, “aku tahu kau masih menjaga perawannya untukku. Bola ini pecah, kepalamu harus pecah bersamanya. Tapi ini tidak akan pecah dengan mudah.”
Bakoul tak peduli. Ia telah lama menyiapkan diri untuk segala yang akan terjadi hari ini. Tamunya beranjak dengan gelisah, bicara pada beberapa orang di gerombolannya dan terlihat makin kecewa dan marah. Ketika itulah Bakoul melihat bola merah melayang dalam tabung bergerak-gerak tak tentu arah. Bola itu akhirnya pecah. Seperti ledakan kecil yang membuat cairan beningnya terlihat semburat merah ke segala arah. Bakoul tersenyum, memahami apa yang telah terjadi dan ia bahagia sekali. Nirva telah menjadikan putrinya wanita sempurna. Bakoul merasa tugasnya telah selesai. Sekali berarti, sudah itu mati.
“TIDAK MUNGKIN!!” teriak tamunya seperti setan kelaparan setelah mendapati tabungnya telah semakin memerah. Ia sambar leher Bakoul dan menyeretnya.
“Siapa laki-laki itu, katakan!”
“Aku sudah mati sejak kita bertemu hari itu,” erang Bakoul. “Kau tidak mungkin bisa mengancam orang mati.”
Ia melemparkan Bakoul. “Kau tak tahu diuntung!” katanya dan bergegas mendatangi gerombolannya. Ia tunjukkan tabung itu, berteriak-teriak kesetanan.
“Bagaimana bisa? Siapa dia? Cari dan bunuh dia!”
“Tunggu,” cegah seseorang. “Bagaimana kalau ternyata itu ‘dia’?”
Kata-kata ‘dia’ membuat mereka semua terperangah dan bergegas menghampiri Bakoul yang terkapar. Mereka memunculkan sebuah gambar. Gambar Sutar.
“Apakah ini bajingan yang membawa lari perawanmu?”