“Ya. Maafkan aku, kupikir itu tadi petaku,” jawabnya.
“Nona, apakah peta Nirvamu telah menyala?”
“Belum.”
Tanpa sadar, mata Sutar berbinar-binar.
“Boleh kucoba dengan peta Nirvaku?” tanya Sutar, mengulurkan tangannya. Gadis itu tidak menjawab, tapi ia mengulurkan peta Nirva miliknya. Sutar memasangkannya, dan gambar-gambar rumit yang bercahaya bermunculan di sekitarnya. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan mereka terdiam karena terserap ketakjuban.
“Nona ...” kata Sutar, tapi sulit melanjutkannya. “Peta kita berpasangan. Apakah kamu ... kita ... Kamu tahu apa artinya?”
Gadis itu mengangguk pelan.
“Nona ... apakah kita ... bisa ... bekerja sama ...?”
Gadis itu menjawab dengan senyumnya.
“Nona, tahukah kamu kalau itu berarti ... kita harus menjadi ... kekasih?”
Gadis itu terdiam. Sutar berdebar-debar menunggu jawabannya. Tapi gadis itu tetap terdiam. Sutar tidak sabar. Ia ulurkan tangannya. Ketika gadis itu menyambut tangannya dan membalas genggamannya, Sutar tahu jawabnya adalah ‘ya’. Dunia boleh gelap gulita saat itu juga, tapi pendar-pendar cahaya terang memancar berpercikan ketika sepasang mata mereka saling bertatapan. Bermacam-macam makhluk bersorak sorai, bertepuk tangan, jumpalitan, bergulingan, dan segala ekspresi riang gembira menurut budaya masing-masih mereka begitu menyaksikan Sutar menggandeng gadis itu meninggalkan arena pertarungan dengan saling tersenyum dan memandang.