Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perbedaan Tulisan Blogger dan Storyteller

27 April 2018   18:58 Diperbarui: 28 April 2018   00:25 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
writingcooperative.com

Saat kelas workshop storytelling mau dimulai, seseorang menghampiri saya dan berkata, "Om Bud, perkenalkan nama saya Abdul Riziek. Saya ke sini nganter isteri saya. Dia yang mau belajar storytelling."

"Oh? Kenapa gak ikutan aja sekalian?" tanya saya sambil melirik ke arah isterinya. Wuiiih...cantik juga loh. Hehehehe...

"Saya seorang blogger dan saya sering diminta menulis oleh hotel dan resto untuk mempromosikan produk mereka."

"Wah, keren dong? Ngobrolnya sembari ngopi, yuk?" sahut saya. Para peserta workshop memang disediakan sarapan kue-kue dan kopi ala kadarnya

Sambil ngopi dan ngerokok berdampingan, lelaki berusia sekitar 30-an itu ngomong lagi, "Saya gak ikut kelas ini karena buat saya, tulisan blogger dan tulisan storyteller gak ada bedanya."

"Oh ya?" tanya saya seraya menyeruput kopi kebanyakan gula akibatnya rasanya jadi rada kemanisan.

"Minimal sampe saat ini, saya belum ngeliat bedanya. Emang ada bedanya?" tanya Riziek lagi agak ofensif.

"Agak susah menjawab pertanyaan itu karena kalo gue terangin pasti lo akan membantah omongan gue," kata saya lagi.

"Berarti saya gak akan pernah dapet jawabannya, dong?"

Sejenak saya terdiam, mengambil risoles dan 5 cabe rawit sekaligus dan langsung saya masukan ke dalam mulut. Begitulah biasanya cara melakukan buying time, pura-pura sibuk padahal mikir gimana cara menjawab pertanyaan ini.

"Terakhir lo nulis tentang apa?" tanya saya.

"Sebuah Kafe di daerah Kelapa Gading."

"Okay, kalo gitu begini aja. Kita bikin kafe fiktif lalu masing-masing membuat tulisan tentang kafe itu. Terus kita bandingin tulisan kita berdua."

"Wah! OK, tuh! Boleh-boleh. Kafenya tempatnya cozy dengan ciri khas tradisional campur modern untuk kelas menengah ke atas." Tiba-tiba orang ini bernapsu banget langsung menentukan brief sendiri tanpa ngajak kompromi.

"Okay!" Saya gak punya pilihan lain karena saya gak mau menggiring brief yang akan membuat dia berpikir menguntungkan saya.

"Hidangannya juga kue-kue jaman dulu tapi versi modernnya. Desainnya juga dengan desain dan ukiran japara campur modern. Teko dan mugnya juga yang antik tapi keren dan modern. AC-nya dingin membuat pengunjung nyaman banget."

"Okay. Terus nama kafenya apa?" tanya saya lagi.

"Kafe Memori. Setuju?" kata Riziek lagi sambil menyodorkan tangan mengajak salam kesepakatan.

"Okay," kata saya lagi sambil menyambut tangannya dan jadilah kedua tangan kami menyatu membentuk logo sabun jaman dulu merk Sunlight, kalo gak salah. Sunlight atau sabun Cap Tangan, ya? Gue lupa lagi.

"Jadi kapan kita berdua saling membacakan cerita?"

"Nanti pas break makan siang jam 12, ya?"

"Wah, Om Bud kan lagi ngajar? Nggak fair dong? Terlalu menguntungkan saya dan merugikan, Om Bud."

"Gapapa. Gue terbiasa menulis di otak. Kalo gak selesai ditulis kan bisa gue ceritakan verbal. Yang penting ceritanya selesai."

"Sip-sip. Thanks, Om Bud."

Jam 9 Teng, panitia Mindstream institute, yang menyelenggarakan workshop, menyuruh semua peserta masuk ke dalam kelas. Saya menyeruput kopi sampe tandas lalu pamitan pada Riziek untuk mengajar.

"Sampe ketemu jam makan siang, ya," kata saya sambil menepuk pundaknya.

"Selamat ngajar, Om Bud. Saya jadi seneng banget karena nunggu isteri juga gak bosen jadinya."

Jam 12 tepat, kelas storytelling berhenti untuk beristirahat makan siang. Di depan pintu, Riziek sudah menunggu memegang kertas yang dipenuhi oleh huruf. Senyumnya lebar menyiratkan kemenangan yang lahir sebelum dimulainya pertandingan.

"Tulisan saya udah kelar, nih," katanya sambil mengipas-ngipaskan kertas di tangannya.

"Hehehe....makan dulu, yuk? Kita ngobrolnya sembari makan siang."

"Tapi saya kan bukan peserta? Masa ikutan makan?"

"Gapapa, biasanya panitia selalu belinya lebih, untuk antisipasi," kata saya sembari menyambar dua buah nasi kotak dan mengajaknya ke ruangan pribadi supaya gak terganggu oleh peserta yang lagi makan.

"Om Bud, udah nulis ceritanya?"

"Belum. Tapi ceritanya udah ada di kepala. Ntar gue tulis sembari makan."

Di dalam ruangan saya yang sempit itu kami makan berdua. Riziek rupanya sudah sangat bernafsu sehingga tanpa minta persetujuan saya, dia membacakan ceritanya dengan suara lantang.

"Okay saya bacain tuisan saya, ya? Ceritanya begini, Om:

KAFE MEMORI

Baru saja memasuki kafe Memori, udara dingin AC menyambut kedatanganku dan seketika membuat tubuh ini sejuk dan nyaman. Udara dingin dilengkapi dengan sapaan hangat dari seorang staff perempuan yang wajahnya dihiasi senyuman yang bukan main manisnya.

"Selamat datang di Kafe Memori. Untuk berapa orang, Bapak?" tanya perempuan itu. Suaranya begitu lembut membuat saya langsung betah sebelum waktunya.

"Saya sendiri," sahutku.

"Baik, mari ikut saya."

Di ruangan yang cukup besar itu, bau harum kopi mendominasi sementara sayup-sayup sebuah lagu jaman kolonial terdengar dari speaker-speaker yang ditempel di atas plafon.

Ini adalah pertama kali aku datang ke Kafe Memori. Seorang teman merekomendasikan tempat ini ketika kami mengadakan reuni SMA kemarin. Dan apa yang aku temukan ternyata jauh lebih bagus dari yang kubayangkan. Desain interiornya bergaya antik dengan campuran sentuhan modern masa kini.

Ketika pesanan datang, aku semakin takjub karena kopi dihidangkan dengan mug yang dulu sering dipakai oleh ayahku di kampung. Model dan obyek lukisannya sama tapi gaya lukisannya dibentuk dengan gaya vignette sehingga membuat mug itu seperti reinkarnasi tokoh lawas dengan enerji yang sangat kekinian.

Untuk menemani kopi, aku membeli kue-kue yang terdapat di depan yang letaknya tepat di samping bar para barista. Sambil berjalan, aku memperhatikan tamu-tamu di sana. Kebanyakan semua berdandan perlente. Mereka nampak happy sekali, bersenda gurau diselingi tawa yang berderai-derai.

Untuk kesekian kalinya, kembali aku tertegun. Di dalam etalase tedapat berbagai macam kue yang biasa aku makan waktu SD. Ada kue cucur, ada kue lumpur, ada kue tete dan masih banyak lagi. Seperti konsep yang tadi aku sebutkan, kue-kue ini juga mewakili jaman lawas dan jaman modern sekaligus. Entah bagaimana cara memasaknya tapi secara penampakan kue-kue tersebut jauh lebih keren dari kue aslinya.

Aku kembali ke meja menikmati Cappuccino yang terbuat dari kopi Illy dengan kudapan yang mengantarkanku pada masa lalu tanpa meninggalkan kekiniannya. Aku membatin di dalam hati, 'Suatu hari aku akan bawa seluruh keluargaku dan menemukan quality time di tempat yang sangat homy ini.

Jadi buat Anda yang suka ngopi, aku anjurkan untuk datang ke sini. Kafe Memori adalah pilihan yang tepat. Selain penggabungan dua unsur masa lalu dan masa kini ternyata juga ada penggabungan yang lain lagi yaitu, Tempatnya mewah tapi murah. Hidangannya memukau tapi terjangkau. Kopinya manis tapi ekonomis.

Selamat menikmati.

Plok...plok...plok....!!!!

"Keren-keren!" kata saya sambil terus bertepuk tangan.

"Thank you. Thank you. Jadi gak ada bedanya kan tulisan saya dengan storytelling?" tanya Riziek.

"Sebetulnya tulisan lo udah bisa dimasukin ke kategori storytelling."

"Udah bisa? Jadi belum storytelling maksudnya?"

"Udah tapi storytellingnya kurang kentel aja. Tulisan lo masih terlalu fokus pada produk. Sementara storytelling lebih fokus pada story. Makanya namanya storytelling."

"Maksud Om Bud tulisan saya jelek?"

"Lo gak usah terganggu sama omongan gue. Tulisan lo udah bagus banget terlepas dari storytelling atau tidak.

"Tapi pertanyaan saya belom terjawab. Saya beneran mau tau beda tulisan blogger dan storyteller," desak dia lagi."

"Okay. Bentar, ya?"

"Tulisan Om Bud udah kelar?"

"Belum. Gue tulis dulu, ya. Kasih gue waktu 5 menit. Lo lanjutin dulu aja makannya," sahut saya lalu mencoret-coret kertas sementara orang tersebut melanjutkan ritual makan siangnya.

"Okay, storytelling gue udah kelar, nih," kata saya gak lama kemudian.

Riziek meletakkan gelas minumannya. Dengan antusias, dia langsung berujar, "Bacain, dong, Om Bud?"

Sebetulnya saya belum dapet ide tapi karena ini cuma mau membuktikan perbedaan antara tulisan blogger dan storyteller, saya mengadaptasi cerita yang pernah ada untuk storytelling itu. Rizieknya juga sudah saya kasih tau dan dia gak keberatan karena memahami bahwa saya gak punya cukup waktu untuk menciptakan cerita baru.

Saya berdiri sambil memegang storytelling dadakan tersebut (Udah kayak sambel dadakan aja nih. Hehehehe... Semoga rasanya cukup pedes deh). Dengan seluruh penghayatan, saya pun mulai membaca.

TENTANG SEBUAH MEMORI

"Taksi!!" teriak saya memanggil taksi yang kebetulan lewat.

Ciiiit! Taksi tersebut jalannya terlalu ngebut sehingga ketika dia ngerem, berentinya sudah sekitar 10 meter melewati saya.

Dengan langkah cepat, saya pun berjalan menghampiri namun sekonyong-konyong seorang perempuan juga datang hendak menaiki taksi tersebut. Untungnya supir taksi itu tau etika, dengan halus dia menolak calon penumpang itu dengan mengatakan bahwa sayalah yang duluan memanggilnya.

"Mas, boleh gak saya pake taksi ini," tanya Sang Perempuan pada saya yang baru sampai di sana.

Astaghfirullah! Saya melotot dan terpaku seketika itu juga. Kenapa? Karena Inilah perempuan yang saya cari-cari sepanjang hidup. Selama ini, dia hanya muncul dalam imajinasi saya. Masya Allah, wajahnya, tubuhnya, warna kulitnya pokoknya semua persis dengan yang saya bayangkan. Perlu diketahui bahwa saya memang mempunyai tokoh wanita ideal dalam imajinasi saya.

"Wah, gak bisa, Mbak. Saya kan yang manggil duluan," sahut saya tersenyum semanis mungkin, berharap dia juga tertarik pada saya.

"Tapi saya buru-buru nih, Mas. Kalo terlambat bisa batal wawancara saya."

"Maaf, Mbak. Bukan saya gak mau nolong tapi kan Mbak tau, di daerah ini jarang banget taksi lewat," jawab saya lagi sambil terus menikmati wajahnya yang cantik jelita.

"Aduh! Gimana, ya?" keluh perempuan itu kebingungan sementara saya masih saja takjub melihat tokoh idola di imajinasi saya bisa tiba-tiba muncul di dunia nyata. Perempuan itu terlihat sangat gelisah, dia melihat ke arah jalan berharap ada taksi lain kemudian berganti melihat ke arah jam tangannya.

Ngeliat dia nampak panik seperti itu, hati saya pun meleleh lalu berkata dengan suara pelan, "Ya udah, Mbak boleh pake taksi itu. Biar saya nunggu yang lain."

"Serius, Mas? Aduh, terima kasih banyak, ya," kata perempuan itu lalu membuka pintu belakang dan masuk ke dalam taksi.

Belum sempat taksi itu pergi tiba-tiba pintu kaca terbuka dan perempuan itu menongolkan kepalanya sambil berkata, "Mas, saya tau di sini jarang sekali taksi lewat. Gimana kalo kita berdua naik taksi ini tapi saya dianter duluan."

Wah? Pucuk dicinta ulam tiba, nih, pikir saya. Tapi entah kenapa yang terlontar dari mulut, "Gak usah, Mbak. Biar saya nunggu aja, saya gak terburu-buru, kok."

"Serius? Saya gak minta dibayarin, loh. Nanti saya bayar sendiri sesuai ongkos jarak tempuh saya,"

"Iya, saya tau. Biar saya nunggu aja," sahut saya masih mengagumi keajaiban yang terjadi.

"Okay, kalo begitu. Terima kasih sekali lagi. Bye, Mas." Dia melambaikan tangannya dengan senyum manis bukan main. Seumur hidup belum pernah saya melihat senyuman seindah itu. Sayangnya perempuan itu memang nampak terburu-buru, tangannya dengan cepat menekan tombol sehingga jendela taksi pun tertutup. Dan seperti sebelumnya, Si Supir Taksi langsung ngebut dan hilang di pengkolan jalan seiring dengan hati yang tiba-tiba dilanda kehampaan.

GOBLOK! Saya langsung memaki diri sendiri. Goblok!! Gobloook!!! Tuhan sudah memberi kesempatan emas namun saya sia-siakan. Sungguh saya sangat menyesal telah menolak tawaran itu. Aduuuh.. padahal yang namanya kesempatan jarang banget datang dua kali. Hadeuh! Gimana, ya? Pokoknya saya harus bisa ketemu sama dia lagi, begitu tekad saya. Christopher Revee pernah berkata, 'One you choose hope, anything is possible.'

Udara panas Jakarta semakin menyengat! Saya melirik jam di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 3.30. Ah, lebih baik saya ngopi dulu buat ngadem sekaligus menenangkan hati yang gundah. Untungnya pas di depan saya ada sebuah kafe dan saya langsung menuju ke sana.

Alhamdulillah, di dalam kafe tersebut udaranya sejuk karena AC-nya bekerja dengan baik. Saya memilih duduk di dekat jendela dan minta dibuatkan secangkir kopi latte. Tempat duduk saya menghadap ke luar sehingga saya bisa melihat ke tempat saya berebut taksi dengan perempuan tadi. Siapa namanya, ya? Ah, goblok! Bahkan sampai menanyakan namanya pun saya lupa.

Untuk membunuh waktu, saya memperhatikan kafe ini lekat-lekat, keliatannya ini kafe baru. Desainnya unik, mengingatkan saya pada desain jaman kolonial namun digabungkan dengan desain masa kini. Desainernya jago, nih, perpaduannya bersinerji tanpa ada kesan maksa.

Sehabis ngopi saya pulang ke rumah. Dan tau gak? Sepanjang hari itu hati saya terus dihantui penyesalan; Goblok! Kenapa saya gak ikut bersama perempuan itu tadi sore. Malamnya saya juga gak bisa tidur karena rindu pada seseorang yang bahkan namanya juga saya tidak tau.

Esok harinya, persis di jam yang sama seperti kemaren, saya datang lagi ke kafe tersebut. Duduk di tempat yang sama karena tempat itu sangat strategis untuk mengetahui jika perempuan yang saya rindukan muncul kembali.

Tik tok tik tok! Waktu terus berjalan. Iseng-iseng saya memesan beberapa kudapan berupa kue cucur dan kue tete yang dipamerkan di dalam sebuah etalase. Di sana tersedia berbagai macam kue jaman dulu tapi dihidangkan dalam bentuk yang lebih mewah daripada kue aslinya. Rasanya lumayan enak. Sementara musik jaman kolonial terdengar tidak terlalu keras sehingga pengunjung masih bisa ngobrol tanpa perlu harus berteriak.

Setiap 2 menit saya menengok ke luar jendela berharap perempuan yang kemaren nongol lagi. Ya, Tuhan, berilah kesempatan sekali lagi, hambaMu janji kali ini tidak akan mensia-siakan berkahmu ya, Allah. Sampai pukul 6 sore, tidak ada tanda-tanda kemunculan perempuan yang saya tunggu. Akhirnya saya pun pulang dan bertekad untuk datang lagi esok hari di jam yang sama.

Seminggu berturut-turut, saya datang ke kafe itu, di jam yang sama, di tempat duduk yang sama, memesan kopi yang sama namun penantian saya ternyata tak kunjung tiba. Untungnya para waiter di situ sangat ramah. Ngeliat saya datang selalu sendirian, sesekali mereka mengajak ngobrol supaya saya tidak terlalu kesepian. Keramahan mereka membuat harapan saya yang mulai memudar kembali membara. When the world says 'give up' hope whispers, 'Try it one more time.'

Setiap hari, Jam 6 menjadi akhir batas penantian. Di jam itu saya memutuskan untuk pulang dari penantian yang sia-sia. Saya keluar dari dalam kafe dan berjalan sepanjang trotoar. Peristiwa ini membuat saya memahami bahwa keberuntungan tidak pernah datang pada orang yang selalu ragu-ragu. Padahal kalo, waktu itu, saya mau ikut naik taksi barengan dengan dia, bisa jadi hidup saya berubah.

Ah, kafe ini adalah satu-satunya saksi di mana saya berada di persimpangan dan, gobloknya, saya telah memilih tikungan yang salah. Eh, nama kafe itu apa, ya? Baru nyadar kalo saya gak pernah memperhatikan namanya. Dengan segera saya berbalik badan dan berjalan kembali ke tempat semula. Sesampainya di depan kafe, saya membaca sebuah tulisan tepat di atas pintu; 'Kafe Memori'.

Buset! Kok namanya begitu, sih? Apakah ini pertanda bahwa saya bener-bener gak akan pernah ketemu lagi dengan dia? Apakah bener pengalaman singkat itu hanya berujung pada memori? Tapi saya gak putus asa. Setiap hari saya masih tetap datang ke sana. Setiap malam saya berdoa, 'Dear God, I've tried my best. If today I lose my hope, please convince me that your plan is better than my dream. Amen.

Sampai saat ini, walaupun tidak setiap hari, saya masih suka datang ke Kafe Memori. Seiring berjalannya waktu, udah gak jelas lagi apakah saya ngopi di sana karena kafenya atau karena memorinya. Hehehe...

"Selesai, Bro," kata saya seraya menoleh pada Riziek. Anehnya orang itu terdiam dengan mata mendelong. Saya ikut terdiam menunggu reaksinya. 

"Sekarang saya ngerti perbedaan tulisan blogger dan storyteller. Thanks, Om Bud." Akhirnya Riziek berkata pelan sambil menarik napas panjang. Dari suaranya, saya merasa ada sesuatu yang membebani pikirannya.

"Gue gak bilang tulisan gue lebih bagus, loh. Tulisan kita cuma berbeda genre," sahut saya mencoba membesarkan hatinya.

"Maksud, Om Bud, gimana?"

"Tulisan kita beda kategori; seperti tulisan fiksi dan non-fiksi, seperti tulisan jurnalistik dan novel, seperti puisi dan roman. Kita gak bisa ngebandingin keduanya karena beda kategori."

"Saya setuju. Kalo ngebandingin sesuatu harus apple to apple," kata Sang Blogger. Ada nada kelegaan di dalamnya dan suaranya mulai kembali ceria.

"Betul. Begitu juga tulisan blogger dan storyteller, keduanya dua binatang yang berbeda. Dan buat gue tulisan lo keren banget," kata saya sejujurnya.

"Maaf, Ombud," tiba-tiba panitia workshop dari Mindstream Institute nongol, "Sudah jam 1, silakan dilanjutkan kelasnya."

"Okay!" kata saya lalu pamitan pada Riziek, "Gue ngajar lagi, ya?"

"Thanks, Om Bud," jawab Riziek

"Kita ketemu lagi sekitar jam 5 setelah workshop berakhir," kata saya sambil berdiri menghadap pergi.

"Om Bud," Tiba-tiba suara Riziek menghentikan langkah saya.

"Yes, Bro?" tanya saya.

"Kalo nanti workshop storytelling Om Bud ada lagi, saya janji mau ikutan."

"Thanks, Bro." Dengan langkah ringan saya berjalan menuju ruang workshop.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun