... dan sebuah foto usang Mbah Kakung bersama Ran yang masih tersimpan di album lawas mengingatkan aku akan sedikit kisah cinta mereka ....
Sebagai anggota tentara PETA pada waktu itu bukan hal yang mustahil jika Mbah Kakung mempunyai akses untuk berhubungan dengan orang-orang maupun tentara pendudukan Jepang. Hubungan kedekatan mereka dianggap sebagai hal yang lumrah karena pada saat itu tentara PETA juga bertugas untuk pemerintah pendudukan Jepang. Sikap tegas dan ramah dari Mbah Kakung serta postur tubuh tegapnya begitu menarik perhatian pembesar Jepang tersebut sehingga dia diangkat menjadi orang kepercayaannya.
Dikisahkan bahwa keluarga pembesar Jepang itu mempunyai seorang anak gadis yang berusia lima tahun lebih muda dari Mbah Kakung. Ran nama gadis Jepang itu. Sebagai orang kepercayaan, Mbah Kakung selalu menemani ke mana pun keluarga itu pergi. Dan entah siapa yang memulainya, timbul benang-benang asmara dan terjalin kisah kasih di antara Mbah Kakung dengan Ran.
Mereka berdua sebenarnya menyadari bahwa kisah kasih mereka merupakan cinta terlarang karena begitu banyak perbedaan di antara mereka. Tetapi begitulah cinta, dia akan menemukan jalannya sendiri. Seberapa banyak perbedaan dan seberapa kokoh tembok penghalang, cinta akan bisa hadir di tengah-tengahnya. Cinta mampu memberikan pilihan untuk mendobrak batas-batas rasa bagi yang terkena panah asmaranya.
Tetapi Mbah Kakung lebih memilih untuk menyembunyikan rasa itu dan menjalin kisah asmara tersembunyi dengan Ran. Mereka memanfaatkan waktu luang di sela-sela tugas Mbah Kakung sebagai tentara untuk bertemu atau pergi ke suatu tempat. Waktu itu hanya sepeda onthel Mbah Kakung yang menjadi alat transportasi bagi mereka dan selalu setia menemani ke mana dia pergi bersama kekasihnya.
Mereka sering bertemu dan bercengkerama melepas rindu di bawah pohon besar yang berada di tepi sebuah padang ilalang jauh dari tempat tinggal mereka. Tak terbayangkan betapa bahagianya Mbah Kakung dan Ran bersepeda mengelilingi padang ilalang tersebut. Tetapi mereka tidak menyangka kalau pertemuan saat itu akan menjadi kebahagiaan dan pertemuan terakhir bagi mereka. Situasi perang kemerdekaan saat itu sewaktu-waktu dapat memisahkan kisah asmara dua insan berbeda bangsa ini.
Suatu sore Mbah Kakung sedang beristirahat jaga di rumah sang pembesar Jepang. Tiba-tiba Ran dengan pakaian kimononya dan membawa tas kain yang cukup besar mendatanginya. Dia terlihat begitu cantik. Dengan langkah-langkah kecil dan tergesa-gesa dia menarik tangan Mbah Kakung yang sedang menikmati istirahat bersama teman-temannya.
"Watashio o tsureteitte (bawa aku pergi)!" kata Ran.
"Doko e iku (ke mana harus pergi)?" tanya Mbah Kakung sedikit terkejut. Tetapi Ran tidak menjawab. Dia terus menarik-narik tangan Mbah Kakung lagi. Hingga Mbah Kakung merasa sedikit terseret dan sejenak menoleh ke arah taman-temannya.
"Sudah, sana pergi! Antar gadismu dulu. Sepertinya penting. Lihat apa yang dia bawa," kata salah seorang temannya sambil tersenyum. Mbah Kakung pun mengangguk dan segera menuruti ajakan kekasihnya tersebut. Dia mengambil sepeda onthel kesayangannya dan membawa Ran pergi.
"Doko e iku?" Mbah Kakung mengulangi pertanyaannya.
"Padang ilalang!" jawab Ran.
Mbah Kakung masih dengan seragam tentara PETA-nya sedangkan Ran berkimono terlihat duduk di belakang. Sepeda onthel Mbah Kakung berjalan meyusuri jalanan menuju padang ilalang di pinggir kota.
"Dō shita no? (apa yang terjadi?) Mengapa terburu-buru?" tanya Mbah Kakung lagi.
"Nanimonai (tidak apa-apa)! Aku ... hanya ingin ... pergi ... denganmu," kata Ran dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.
"Apa yang kamu bawa?"
"Nanti ... kamu ... akan tahu ..."
Mbah Kakung mempercepat laju sepeda onthelnya. Sementara Ran duduk di belakang memeluk erat pinggang Mbah Kakung.
"Yukkuri! Mawarimichi." (Perlahan. Jalan memutar).
"Dō shita no?" Mbah Kakung memperlambat laju sepeda onthelnya menuruti keinginan kekasihnya. Dia pun membelokkan arah sepedanya agar lebih lama sampai di padang ilalang.
"Aku ingin ... lebih lama ... bersamamu ... naik sepeda ini ...."
Mbah Kakung tersenyum. Dia pun menyadari kalau seorang wanita memang susah ditebak. Sebentar berubah keinginannya. Apa yang dikatakan kadang berbeda dengan apa yang diinginkannya. Apalagi mereka berbeda budaya dan bahasa.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di sana. Sejenak Mbah Kakung menghentikan sepedanya di bawah pohon besar di tepi padang ilalang, tempat mereka biasa duduk-duduk bercengkerama melepas rindu. Terlihat cakrawala sore nan elok tempat terbenamnya sang mentari. Mbah Kakung kembali mengayuh sepeda onthelnya menuju ke tengah kemudian berputar mengelilingi padang ilalang sambil menikmati segarnya udara sore hari.
"Taiyō, watashi no kuni (matahari, negaraku)!" kata Ran sambil menunjuk ke arah matahari.
"Bukan, itu matahari terbenam, negaramu matahari terbit, Taiyōganoboru ..." kata Mbah Kakung. Ran hanya tersenyum dan mengangguk.
"Minogasu ... anata no kuni? (Rindu ... negaramu?)" tanya Mbah Kakung.
Hening ....
Ran terdiam. Seperti ada yang ingin disampaikan pada Mbah Kakung tetapi terasa berat di hatinya. Sementara itu sepeda onthel Mbah Kakung masih berjalan pelan membelah rerumputan. Kicau burung di sana pun tak mampu menghibur hati sang gadis yang sedang gundah gulana. Sinar mentari semakin meredup menyisakan lembayung senja di batas cakrawala.
"Aku ... akan pergi ... meninggalkan kota ini ..." kata Ran sambil menyandarkan kepalanya ke punggung Mbah Kakung.
Mbah Kakung terdiam mendengar perkataan itu. Sementara Ran melingkarkan tangannya memeluk pinggang Mbah Kakung. Semilir angin menerpa wajah dan rambut Mbah Kakung menerbangkan sebagian angannya bersama Ran, gadis yang sangat dicintainya itu.
"Mungkin aku ... tidak akan ... kembali!"
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Mbah Kakung menghentikan sepedanya.
"Nanimonai ... (tak ada)!" jawab Ran sambil menggelengkan kepalanya.
"Tapi, aku tidak ingin berpisah denganmu," kata Mbah Kakung. Mata itu memandang Ran penuh kesedihan.
"Watashi mo ... (aku juga)" kata Ran semakin erat memeluk pinggang Mbah Kakung.
Suasana hening menyelimuti hati mereka. Hanya terdengar suara gesekan batang-batang ilalang yang tertiup angin. Mereka turun dari sepedanya. Ran berlari ke tengah padang ilalang. Sementara Mbah Kakung mengikutinya dari belakang. Mereka berdua kemudian berdiri berdampingan dan bergandengan tangan sambil menatap lembayung senja di batas cakrawala. Pandangan mata mereka menerawang jauh mengikuti sang mentari yang perlahan turun menuju peraduannya. Ran menurunkan tas kainnya dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Anata no tame ni (ini untukmu)," katanya sambil menyodorkan sebuah boneka berwujud seorang gadis Jepang berkimono.
"Watashi wa anata o aishiteimasu (aku mencintaimu) ..." kata Mbah Kakung sambil menerima boneka pemberian kekasihnya itu.
Ran hanya terdiam dan mengangguk. Dia menyadari begitu rumit hubungan yang sedang dijalaninya. Rasa cinta dan kasih sayangnya yang belum tentu akan berujung pada sebuah kebahagiaan bersama.
"Kamu akan pergi ke mana? Doko e iku? Doko e iku ...?" tanya Mbah Kakung seperti telah merasa akan kehilangan Ran.
Ran tidak mau menambah luka di hati dan membebani perasaan Mbah Kakung. Dia menatap Mbah Kakung dengan mata berkaca-kaca. Tatapan matanya menyiratkan rasa cinta yang begitu dalam padanya. Tetapi situasi yang sedang dihadapi memaksanya untuk tidak pernah mengucapkan kata cinta untuk Mbah Kakung hingga maut memisahkan mereka nantinya.
"Watashi wa Nihon ni modorimasu (aku akan kembali ke Jepang)," kata Ran.
"Untuk selamanya? Dapatkah kita bertemu lagi?" tanya Mbah Kakung penuh harap.
"Wakaranai (tidak tahu)!" Ran menggelengkan kepalanya.
*****
Selepas pertemuan itu, beberapa hari kemudian Ran bersama keluarganya pergi meninggalkan kota untuk menghindari suasana genting di sana. Karena para pejuang pribumi telah melakukan perlawanan pada tentara pendudukan Jepang. Mbah Kakung tidak menyangka kalau kepergian Ran saat itu merupakan tanda terputusnya kisah cinta mereka berdua untuk selamanya. Menjelang waktu subuh, keluarga pembesar Jepang bersiap-siap untuk pergi meninggalkan kota. Satu persatu anggota keluarga itu masuk ke dalam mobil militer Jepang untuk dievakuasi.
"Watashi wa anata to kimasu (aku ikut denganmu)!" kata Mbah Kakung.
"Īe! (tidak)" teriak Ran.
"Setidaknya aku antar kamu hingga batas kota!" Mbah Kakung sedikit memaksa Ran agar dia bisa ikut serta.
"Īe!" Ran menjulurkan kedua tangannya sambil digerak-gerakkan sebagai isyarat tidak setuju dengan keinginan Mbah Kakung. Mbah Kakung tetap nekat naik ke dalam mobil militer. Tetapi Ran segera mendorong tubuhnya dengan kuat hingga jatuh ke tanah.
"Aku ... tidak mau ... kamu mati!" kata Ran terbata-bata.
"Aku rela mati untuk kamu!" kata Mbah Kakung sambil berusaha bangkit dan berdiri lagi.
"Īe ...!" Ran menatap Mbah Kakung dengan mata berkaca-kaca.
Mobil militer Jepang segera pergi meninggalkan rumah pembesar Jepang. Mbah Kakung mengiringi kepergiannya dengan tatapan sedih. Di bawah dingin dan gelapnya malam iring-iringan mobil militer itu bergerak menuju batas kota. Tak disangka oleh rombongan itu, kepergian mereka meninggalkan kota telah tercium oleh para pejuang pribumi.
Selepas subuh di sebuah hutan kecil yang sepi jauh dari kota, rombongan dihentikan oleh para pejuang pribumi. Terjadi baku tembak di sana. Desingan peluru dari senapan mesin otomatis memberondong rombongan pembesar Jepang itu. Rombongan panik dan berhamburan keluar dari mobil untuk mencari tempat perlindungan.
Ran terlihat meloncat keluar dari mobil dan mencoba berlari masuk ke dalam hutan. Tapi naas beberapa butir peluru menerjang punggungnya hingga menembus dada dan bersarang di jantungnya. Dia jatuh tersungkur ke tanah. Darah segar mengalir dari tubuhnya. Sementara anggota rombongan yang lain pun berjatuhan tertembus peluru yang dimuntahkan dari senapan para pejuang pribumi.
Tentara Jepang berusaha membalas serangan tersebut. Baku tembak pun berlangsung sengit. Kondisi medan yang sulit dan tidak menguntungkan membuat tentara Jepang berusaha mati-matian untuk bertahan. Tetapi korban dari rombongan pembesar Jepang semakin banyak. Dan sebuah ledakan dari meriam kecil pejuang pribumi mengakhiri perlawanan tentara Jepang di sana. Semua anggota rombongan itu pun tewas terbunuh di tempat kejadian.
Tetapi Mbah Kakung tidak mengetahui peristiwa penyerangan dan penembakan rombongan pembesar Jepang dan kekasihnya itu. Dia masih berharap dapat bertemu kembali dan merajut cintanya dengan Ran. Karena hingga saat pertemuan terakhir di padang ilalang dulu tidak pernah terucap kata perpisahan di antara mereka. Ran pergi membawa cintanya yang terkubur begitu dalam di hatinya.
Suasana kembali sepi. Pagi itu bau anyir darah dan asap kebakaran menyelimuti ruas jalan di tengah hutan kecil itu. Terlihat bangkai tubuh manusia bercampur dengan bangkai mobil militer Jepang yang hancur dan terbakar. Dan sesosok tubuh seorang gadis Jepang berkimono tertelungkup di tepi hutan. Pakaiannya basah oleh darah. Dia adalah Ran. Tetapi perlahan-lahan Ran membuka matanya dan berdiri.
"Do shita no (apa yang telah terjadi)?" Dia terkejut melihat keadaan di sekelilingnya.
Ran kemudian berlari menuju bangkai-bangkai mobil yang sedang terbakar. Dilihatnya mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya bermandikan darah. Sebagian ikut hangus terbakar karena berada di atas bangkai-bangkai mobil yang terbakar. Diperhatikan satu per satu mayat-mayat tersebut.
"Otōsan ... Okāsan!" teriak Ran ketika melihat dua sosok mayat ayah dan ibunya. Dia mengenali mayat kedua orang tuanya dari pakaian hakama dan kimono yang dipakai oleh keduanya meskipun sebagian telah hangus terbakar.
Ran berbalik arah bermaksud mencari bantuan ke kota tempat tinggal Mbah Kakung. Tetapi langkahnya terhenti ketika pandangan matanya menatap sesosok tubuh gadis berkimono tergeletak di tepi hutan. Dia berjalan mendekat dan betapa terkejutnya Ran saat memperhatikan sesosok tubuh itu. Wajah itu seperti wajahnya. Kimono itu seperti yang dia pakai sekarang ini. Tapi kimono gadis itu terkoyak di bagian punggungnya karena beberapa butir peluru telah menerjangnya. Dan tubuh itu bersimbah darah!
Dengan gemetar Ran menjulurkan tangannya ingin menyentuh tubuh gadis itu. Betapa terkejutnya Ran saat tangannya tidak bisa menyentuhnya. Tubuh Ran bagaikan hologram sehingga tangannya menembus sesosok tubuh yang tergeletak di depannya. Lama Ran tertegun memandangi tubuhnya sendiri.
"Do shita no? (apa yang telah terjadi) Kenapa aku ... tidak bisa ... kembali ... ke tubuhku?"
Akhirnya dia pun menyadari bahwa dirinya sekarang adalah arwah yang telah terpisah dari raganya. Sesaat kemudian arwah Ran melayang dan melesat pergi meninggalkan tempat itu. Dia kembali ke kota untuk menemui Mbah Kakung.
Beberapa hari kemudian berita tewasnya rombongan pembesar Jepang sampai juga ke telinga Mbah Kakung. Tetapi dia tidak mempercayai berita itu hingga datang arwah Ran menemuinya. Saat itu dia sedang berada di bekas rumah pembesar Jepang. Sepeninggal keluarga itu rumah tersebut dipakai untuk tempat berkumpul para anggota tentara PETA. Setiap hari ada yang berjaga dan membersihkannya. Foto Ran pun masih terpajang di sana. Mbah Kakung selalu merawat dan membersihkannya. Di bawah foto tersebut terdapat sebuah meja kecil tempat meletakkan boneka gadis Jepang pemberian Ran.
Malam itu Mbah Kakung duduk sendiri di serambi rumah itu. Dia terlihat begitu sedih, pandangan matanya menerawang jauh ke angkasa. Angannya kembali mengingat masa-masa indah dulu ketika masih bersama Ran. Dia semakin tenggelam dalam kesedihannya.
Tiba-tiba terdengar benda jatuh dari dalam rumah. Mbah Kakung segera menengok ke dalam. Dilihatnya boneka gadis Jepang itu jatuh sendiri di atas meja. Segera Mbah Kakung membetulkan lagi letaknya. Tetapi berulangkali boneka itu jatuh lagi ketika dia akan beranjak pergi meninggalkannya. Saat ketiga kalinya dia membetulkan lagi letak boneka itu semilir angin dingin menerpa punggungnya.
Mbah Kakung terkejut ketika membalikkan badannya. Seperti ada seseorang yang berdiri di depan pintu rumah. Sebuah bayangan putih yang semakin lama semakin jelas bentuk tubuh dan wajahnya. Ran, arwah gadis Jepang itu datang menemui Mbah Kakung. Dia terlihat begitu cantik dengan kimononya.
"Kamu ... bukankah kamu telah pergi untuk selamanya?" tanya Mbah Kakung. Ran hanya mengangguk. Mereka kemudian terlihat saling mendekat dan menjulurkan tangannya tetapi tidak bisa saling bersentuhan.
"Ran ... maafkan aku tidak bisa menjagamu."
"Watashi wa mada anata o aishiteimasu (aku masih mencintaimu)." Terdengar suara lembut keluar dari mulut Ran.
"Watashi mo (aku juga) ..." kata Mbah Kakung.
"Aku ... tidak bisa ... tinggal lama ... dalam wujudku ... ini. Aku ... merasa ... sangat panas!" kata Ran terbata-bata.
"Kembalilah ke alammu. Aku sudah ikhlas."
"Īe ...! Aku ... ingin dekat ... denganmu."
Kemudian arwah Ran perlahan melayang mendekati bonekanya. Tubuhnya kembali memudar menjadi bayangan putih transparan seperti hologram dan perlahan menembus masuk ke dalam bonekanya.
"Aku ... nyaman ... di sini. Bawa aku ... ke mana ... kamu pergi." Terdengar suara sedikit menggema di ruangan itu dan boneka gadis Jepang berkimono itu bergoyang-goyang.
Semenjak itu Ran selalu mengikuti ke mana pun Mbah Kakung pergi. Arwahnya tinggal di dalam boneka yang selalu dibawa Mbah Kakung. Ran merasa nyaman di situ karena selalu dekat dan dapat menjaga Mbah Kakung hingga akhir hayatnya ....
*****
Aku tutup album foto lawas itu. Dan kulihat boneka gadis Jepang berkimono itu menangis. Mungkinkah arwah Ran merasa sedih karena masih terperangkap di sana hingga kini dan ingin menemui Mbah Kakungku lagi?
"Aku ingin ... menemui ... kekasihku lagi." Sayup-sayup terdengar suara mendesis di belakang telingaku ....
Solo. 20.08.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H