"Watashi mo ... (aku juga)" kata Ran semakin erat memeluk pinggang Mbah Kakung.
Suasana hening menyelimuti hati mereka. Hanya terdengar suara gesekan batang-batang ilalang yang tertiup angin. Mereka turun dari sepedanya. Ran berlari ke tengah padang ilalang. Sementara Mbah Kakung mengikutinya dari belakang. Mereka berdua kemudian berdiri berdampingan dan bergandengan tangan sambil menatap lembayung senja di batas cakrawala. Pandangan mata mereka menerawang jauh mengikuti sang mentari yang perlahan turun menuju peraduannya. Ran menurunkan tas kainnya dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Anata no tame ni (ini untukmu)," katanya sambil menyodorkan sebuah boneka berwujud seorang gadis Jepang berkimono.
"Watashi wa anata o aishiteimasu (aku mencintaimu) ..." kata Mbah Kakung sambil menerima boneka pemberian kekasihnya itu.
Ran hanya terdiam dan mengangguk. Dia menyadari begitu rumit hubungan yang sedang dijalaninya. Rasa cinta dan kasih sayangnya yang belum tentu akan berujung pada sebuah kebahagiaan bersama.Â
"Kamu akan pergi ke mana? Doko e iku? Doko e iku ...?" tanya Mbah Kakung seperti telah merasa akan kehilangan Ran.
Ran tidak mau menambah luka di hati dan membebani perasaan Mbah Kakung. Dia menatap Mbah Kakung dengan mata berkaca-kaca. Tatapan matanya menyiratkan rasa cinta yang begitu dalam padanya. Tetapi situasi yang sedang dihadapi memaksanya untuk tidak pernah mengucapkan kata cinta untuk Mbah Kakung hingga maut memisahkan mereka nantinya.
"Watashi wa Nihon ni modorimasu (aku akan kembali ke Jepang)," kata Ran.
"Untuk selamanya? Dapatkah kita bertemu lagi?" tanya Mbah Kakung penuh harap.
"Wakaranai (tidak tahu)!" Ran menggelengkan kepalanya.
*****