Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di sana. Sejenak Mbah Kakung menghentikan sepedanya di bawah pohon besar di tepi padang ilalang, tempat mereka biasa duduk-duduk bercengkerama melepas rindu. Terlihat cakrawala sore nan elok tempat terbenamnya sang mentari. Mbah Kakung kembali mengayuh sepeda onthelnya menuju ke tengah kemudian berputar mengelilingi padang ilalang sambil menikmati segarnya udara sore hari.
"Taiyō, watashi no kuni (matahari, negaraku)!" kata Ran sambil menunjuk ke arah matahari.
"Bukan, itu matahari terbenam, negaramu matahari terbit, Taiyōganoboru ..." kata Mbah Kakung. Ran hanya tersenyum dan mengangguk.
"Minogasu ... anata no kuni? (Rindu ... negaramu?)" tanya Mbah Kakung.
Hening ....
Ran terdiam. Seperti ada yang ingin disampaikan pada Mbah Kakung tetapi terasa berat di hatinya. Sementara itu sepeda onthel Mbah Kakung masih berjalan pelan membelah rerumputan. Kicau burung di sana pun tak mampu menghibur hati sang gadis yang sedang gundah gulana. Sinar mentari semakin meredup menyisakan lembayung senja di batas cakrawala.
"Aku ... akan pergi ... meninggalkan kota ini ..." kata Ran sambil menyandarkan kepalanya ke punggung Mbah Kakung.
Mbah Kakung terdiam mendengar perkataan itu. Sementara Ran melingkarkan tangannya memeluk pinggang Mbah Kakung. Semilir angin menerpa wajah dan rambut Mbah Kakung menerbangkan sebagian angannya bersama Ran, gadis yang sangat dicintainya itu.
"Mungkin aku ... tidak akan ... kembali!"
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Mbah Kakung menghentikan sepedanya.
"Nanimonai ... (tak ada)!" jawab Ran sambil menggelengkan kepalanya.
"Tapi, aku tidak ingin berpisah denganmu," kata Mbah Kakung. Mata itu memandang Ran penuh kesedihan.