Malam itu Mbah Kakung duduk sendiri di serambi rumah itu. Dia terlihat begitu sedih, pandangan matanya menerawang jauh ke angkasa. Angannya kembali mengingat masa-masa indah dulu ketika masih bersama Ran. Dia semakin tenggelam dalam kesedihannya.Â
Tiba-tiba terdengar benda jatuh dari dalam rumah. Mbah Kakung segera menengok ke dalam. Dilihatnya boneka gadis Jepang itu jatuh sendiri di atas meja. Segera Mbah Kakung membetulkan lagi letaknya. Tetapi berulangkali boneka itu jatuh lagi ketika dia akan beranjak pergi meninggalkannya. Saat ketiga kalinya dia membetulkan lagi letak boneka itu semilir angin dingin menerpa punggungnya.Â
Mbah Kakung terkejut ketika membalikkan badannya. Seperti ada seseorang yang berdiri di depan pintu rumah. Sebuah bayangan putih yang semakin lama semakin jelas bentuk tubuh dan wajahnya. Ran, arwah gadis Jepang itu datang menemui Mbah Kakung. Dia terlihat begitu cantik dengan kimononya.
"Kamu ... bukankah kamu telah pergi untuk selamanya?" tanya Mbah Kakung. Ran hanya mengangguk. Mereka kemudian terlihat saling mendekat dan menjulurkan tangannya tetapi tidak bisa saling bersentuhan.
"Ran ... maafkan aku tidak bisa menjagamu."
"Watashi wa mada anata o aishiteimasu (aku masih mencintaimu)." Terdengar suara lembut keluar dari mulut Ran.
"Watashi mo (aku juga) ..." kata Mbah Kakung.
"Aku ... tidak bisa ... tinggal lama ... dalam wujudku ... ini. Aku ... merasa ... sangat panas!" kata Ran terbata-bata.
"Kembalilah ke alammu. Aku sudah ikhlas."
"Īe ...! Aku ... ingin dekat ... denganmu."Â
Kemudian arwah Ran perlahan melayang mendekati bonekanya. Tubuhnya kembali memudar menjadi bayangan putih transparan seperti hologram dan perlahan menembus masuk ke dalam bonekanya.