"Padang ilalang!" jawab Ran.
Mbah Kakung masih dengan seragam tentara PETA-nya sedangkan Ran berkimono terlihat duduk di belakang. Sepeda onthel Mbah Kakung berjalan meyusuri jalanan menuju padang ilalang di pinggir kota.
"Dō shita no? (apa yang terjadi?) Mengapa terburu-buru?" tanya Mbah Kakung lagi.
"Nanimonai (tidak apa-apa)! Aku ... hanya ingin ... pergi ... denganmu," kata Ran dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.
"Apa yang kamu bawa?"
"Nanti ... kamu ... akan tahu ..."
Mbah Kakung mempercepat laju sepeda onthelnya. Sementara Ran duduk di belakang memeluk erat pinggang Mbah Kakung.
"Yukkuri! Mawarimichi." (Perlahan. Jalan memutar).
"Dō shita no?" Mbah Kakung memperlambat laju sepeda onthelnya menuruti keinginan kekasihnya. Dia pun membelokkan arah sepedanya agar lebih lama sampai di padang ilalang.
"Aku ingin ... lebih lama ... bersamamu ... naik sepeda ini ...."
Mbah Kakung tersenyum. Dia pun menyadari kalau seorang wanita memang susah ditebak. Sebentar berubah keinginannya. Apa yang dikatakan kadang berbeda dengan apa yang diinginkannya. Apalagi mereka berbeda budaya dan bahasa.