Mohon tunggu...
Bidan Care / Romana Tari
Bidan Care / Romana Tari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bidan Romana Tari [bidancare] Sahabat bagi perempuan dan keluarga, saling memperkaya informasi kaum perempuan dibidang kesehatan dan pengalaman sehari - hari dalam hidup,\r\n\r\nMari hidup sehat dan kreatif dalam hidup bersama bidancare

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan Gang Kelinci Joyoboyo [1]

4 Mei 2012   13:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:43 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Joyoboyo, sebuah terminal lama di kota Surabaya. Lokasinya berhadapan dengan bekas stasiun  tua  peninggalan jaman  Belanda. Stasiun yang  dibangun  ketika   berjayanya pertambangan minyak  bumi di daerah Wonokromo.

Sebuah catatan sejarah yang hampir terlupakan. Sebagian dari tempat itu sekarang berubah wajah   menjadi lokasi pemukiman  warga   pendatang.

Mereka  menempati  tanah  milik  PT Kereta Api. Tanah yang  sudah sekian lama  sengaja dibiarkan menjadi tempat pemukiman sementara bagi  para urban.

Tak satupun dari mereka memiliki ijin bangunan, apalagi  ijin pemilikan  tanah. Hanya rasa memilikilah yang mereka punyai.

Berawal dari  mimpi - mimpi dan  sebuah  harapan untuk sukses di perantauan, mereka datang   ke Surabaya. Mencoba  mengadu nasib  hanya  dengan  bermodalkan  tenaga.

Tuntutan situasi hidup di kota serba cepat ternyata  memerlukan biaya tinggi. Tak dapat dihindari kenyataan ini membuat mereka tak punya pilihan lain, kecuali  menjadi pekerja kasar untuk menyambung hidup. Sebagian mereka menjadi kuli angkut barang di terminal, tukang becak, buruh bangunan, bahkan ada juga yang  nekad menjadi  pencopet dan preman.

Di salah satu sudut  terminal itu, terdapat satu gang sempit bernama gang Kelinci.  Tidak semua orang Surabaya  mengetahui keberadaan gang  tersebut. Lokasi pintu masuknya tersembunyi  di  balik  kios rokok. Selain sempit  gang  Kelinci  ini  sangat  kumuh dan pengap.  Tak heran jika orang -orang enggan melewatinya. Di sisi sebelah kanan dan kiri  gang,   berhimpitan  rumah  -  rumah  petak  berdinding  triplek  dan  beratap seng  yang  sudah berkarat.

Menurut   penuturan  beberapa  orang  yang  tinggal  di sekitar terminal,gang itu juga merupakan jalan pintas menuju kampung urban. Menjadi tempat yang  sangat strategis untuk persembunyian para pencopet.

Pencopet yang mencari penghidupan di  terminal  Joyoboyo.  Selesai melakukan  aksinya  pencopet  itu  menyusup  masuk  ke  gang Kelinci.  Tak  ada seorangpun yang bisa menemukan mereka. Hanya  jaringan  pencopetlah yang  tahu tempat persembunyiannya.

***

Di sisi barat langit senja menyapa, semburat  merah  jingga mulai meredupkan sinarnya  di balik  rindang  pepohonan hijau kebun  binatang   Surabaya. Pada saat yang sama, dari dalam  gang  Kelinci  keluar dua orang bocah perempuan sambil menuntun sepedanya. Sebuah sepeda mini butut  tanpa  boncengan, hanya  ada  sepasang  besi penyangga  kaki di bagian as roda belakang. Sepeda itulah yang menjadi harta bersama anak-anak gang Kelinci.

"Reni, main   ke lapangan Kodam yuk, lihat pasar malam" kata Lodi. Tangan kanannya memainkan dering bel sepeda.

"Sekarang?" tanya Reni.

"Tidak, minggu depan Ren" jawab Lodi sambil tertawa.

"Ya sekarang dong Ren" sambungnya lagi.

Reni ikut tertawa mendengar jawaban Lodi. Dicubitnya pipi Lodi sahabatnya itu sambil berjinjit.

"Aku pamit mamak dulu ya" pinta Reni  sambil mengikat  rambutnya yang  hitam ikal  sebahu itu dengan karet gelang.

"Tidak usah, kita  hanya sebentar saja kok, nanti malah tidak ijinkan" jawab Lodi sambil mengayuh pedal sepedanya.

Tak lama berselang, terlihat Reni  berdiri  di  atas  roda belakang dengan menginjak penyangga kaki dari pipa besi.Kedua tangan Reni berpegangan pundak Lodi.

"Hei, jangan ngebut - ngebut Lodi! aku takut jalannya ramai sekali"  teriak Reni.

"Tenang saja Ren,aku sudah biasa bersepeda lewat sini"

Sepeda mereka melaju kencang  menuju lapangan Kodam Brawijaya. Tempat pasar malam rakyat.

Lodi  dan Reni dibesarkan  di  gang  Kelinci. Usia mereka sebenarnya  sebaya.  Tetapi postur tubuh Lodi lebih besar dan  tinggi dibanding  dengan Reni, potongan rambutnya pendek  cepak seperti anak laki-laki.

Lodi juga sangat pemberani. Sementara Reni  tubuhnya kurus, dengan  bentuk  wajah  tirus  dan  mungil  . Reni lebih   pendiam  dibandingkan   sahabatnya itu, membuat dia dikenal sebagai anak pemalu.

Meskipun berbeda  karakter, keduanya  tetap tidak terpisahkan. Setiap  selesai  sekolah  kedua bocah perempuan itu mengamen di terminal. Mereka juga sering terlihat bermain bersama.

Sore  itulah  kebersamaan  mereka  pun  teruji. Sebuah  sepeda  motor  melintas  cepat menyerempet sepeda Lodi dan Reni. Mereka terjatuh.

Kedua bocah itu  tertindih  sepeda  yang mereka kendarai. Kaki kanan Reni terluka. Kulit pembungkus tulang  kering  kaki kanan Reni terkelupas. Tak lama kemudian darah mulai mengucur deras dari luka itu.

"Aduuuh....sakit sekali kakiku" Reni menjerit sambil meringis kesakitan.

Lodi  menyandarkan  sepedanya, lalu berjongkok di samping  sahabatnya  yang  sedang menangis menahan sakit.

Mendengar tangisan Reni, Lodi mulai panik.Wajah Reni yang mengiba  dan  linangan  airmatanya semakin menambah  kegugupan Lodi. Tak ada satupun kata terucap  dari  bibirnya.

Lodi  menatap  lekat  ke  luka  Reni .Rasa  iba  mulai mencekam dirinya .Kecemasan  bercampur  ketakutan akan mendapat  kemarahan  orang tua  Reni  terus menyelimuti benaknya.

"Diamlah  Ren! Jangan menangis terus" bentak Lodi. Ditariknya lengan kiri sahabatnya  itu  dengan  gugup. Reni dipaksa  bangun. Bentakan  Lodi  membuat  Reni terdiam.

Matanya yang cekung mengerjap sambil  memandang  Lodi  dengan  takut. Reni pun mulai sesenggukan. Air mata  tak  mampu  tertahan, membasahi kedua pipi yang tirus dan pucat itu.

Dengan tersedu -sedu  Reni  mengusap- usap tepi luka kakinya. Dia menggigit bibir untuk menahan rasa nyeri dan perih .

Beruntung seorang  gadis  lewat . Dia  berhenti  dan  berbicara  dengan Lodi  dan Reni. Tampaknya gadis itu berniat akan menolong.

"Dik ,ayo ikut kakak ke rumah , biar saya obati lukamu" ujar gadis itu. Ia menawarkan bantuan.

Kedua  bocah   perempuan  itu terlihat saling  berpandangan.Reni  tampak  ragu  - ragu   untuk  menjawab. Ditatapnya  wajah  sahabatnya  untuk  meminta  persetujuan. Lodi lalu mengangguk setuju.

Beberapa  saat kemudian dipapahnya Reni naik ke atas becak  yang  ditumpanginya .Gadis bernama Arlisa. Bekerja sebagai perawat  di  sebuah  rumah sakit  sebelah utara terminal Joyoboyo.

Setiba  di  rumah  kontrakan  Arlisa, Reni dibaringkan  di  atas  tempat   tidur. Dengan cekatan  tangan Arlisa membersihkan luka pada kaki Reni dan membalutnya.

"Sakit  sedikit  ya  Reni, memang  agak  perih di  beri obat, tapi lukamu akan segera sembuh" kata Arlisa. Ia  menjelaskan sambil membalut luka. Reni mengangguk  lalu memandang wajah Arlisa penuh kekaguman.

Lodi memilih menunggu sambil duduk  di  sebuah kursi rotan, tak  jauh dari Reni. Dia memperhatikan gerak - gerik Arlisa  dari tadi. Di  pandanginya gadis  itu  berulang kali. Sesekali dilihatnya Reni  yang meringis kesakitan.

"Kalian   tunggu  sebentar  ya, kakak  akan  ke  apotik , membelikan  Reni  obat antibiotik" kata Arlisa.

Kedua  anak  itu  hanya mengangguk lalu terdiam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Hampir setengah jam kebekuan  terjadi.

Arlisa muncul di depan pintu kamar sambil membawa tas plastik putih bercap apotik Waras.

"Sekarang  kakak antar kalian pulang ya" kata Arlisa. Ia memberikan  tas plastik itu pada Lodi.

"Oh, terimakasih kak. Maaf kami bisa pulang sendiri"jawab Lodi dengan cepat.

"Lodi, kasihan  Reni,mari  kakak  antar  kalian. Lodi kamu naik sepeda  dan kakak  akan naik  becak  bersama  Reni. Di mana  alamat rumah kalian?" tanya Arlisa.

Dengan suara lembut Arlisa membujuknya. Lodi lalu menyebutkan alamat  tempat  tinggal mereka.Sebelum menaiki sepedanya Lodi memberikan  tas plastik putih bercap apotik Waras tadi pada Reni.

Sudah tiga kali mereka berputar putar mengelilingi gang Teratai. Tak ada satupun alamat yang  sesuai dengan  petunjuk dari Lodi. Arlisa mulai curiga,rupanya Lodi berbohong.

Dipandanginya Reni yang berdampingan dengannya dalam becak. Reni membalas tatapan Arlisa sekejab lalu menunduk.

"Reni, tolong katakan yang sebenarnya alamat rumah kalian pada kakak" bujuk Arlisa.

Sambil menunduk, dengan suara pelan dan parau Reni menjawab.

"Di gang Kelinci kak, dekat terminal Joyoboyo"

Arlisa menarik nafas lega,dia meminta tukang becak mengantar ke terminal Joyoboyo.

Di depan  becak yang  ditumpangi  Arlisa  dan  Reni,terlihat sekali-kali Lodi menengok ke belakang.Arlisa tersenyum. Melihat  itu,  Lodi segera mengayuh sepedanya melaju lagi.

Tiba  di  persimpangan  jalan belakang  terminal  Joyoboyo, Arlisa  meminta becak untuk  berhenti. Lodi  yang  pada  saat  itu  sedang  menoleh ke  arah Arlisa  menjadi ketakutan. Dikayuhnya pedal  sepeda menuju tempat lain. Arlisa tidak lagi memperdulikan Lodi.

"Kak Arlisa, kita  masuk  ke gang itu" Reni   menunjuk ke sebuah  gang  sempit  di  balik kios  rokok . Gang  itu  terlihat  kumuh. Banyak  sampah  plastik  bekas botol air mineral bertumpuk  di  sudut  - sudut  tikungan gang. Tikus- tikus got  seolah - olah  menyambut kedatangan  mereka.

Hampir  saja  Arlisa  menjerit  ketakutan, ketika  seekor tikus besar melintas di depan mereka.Melihat  cara melintas  tikus- tikus  itu,tak ada sedikit pun rasa takut  berhadapan  dengan  manusia. Tikus itu berjalan cepat mendahului  Arlisa dan Reni.  Sesekali tampak  tikus  itu  berhenti memandang  mereka  berdua. Arlisa mencoba  menahan  diri agar tidak menjerit.

Sepanjang   kanan  dan  kiri gang  banyak sekali  cabang  tikungan  sempit . Tikungan  itu berupa   jalan setapak . Hampir  semua  bangunan  rumah  di  situ  berdinding  triplek  dan kardus  bekas.

Berbagai merek  kardus dan kain spanduk bekas menghiasi  dinding rumah  mereka. Sambil menuntun  Reni , Arlisa membayangkan kehidupan  anak kecil  yang ada di  sampingnya.

Anak - anak  yang  lahir dan  dibesarkan  di  sebuah   pemukiman kumuh gang  Kelinci. Apakah mereka berpikir  tentang kesehatan yang layak mereka dapatkan.

Lamunan  Arlisa  tiba - tiba  buyar, ketika  seorang  perempuan yang  berpapasan dengan mereka menyapa  Reni. Perempuan  itu menatap Arlisa penuh curiga. Ekspresi keheranan  tampak  pada  wajah  perempuan  itu.

Dua petak dari tempat Arlisa berpijak, terdengar tawa cekikikan dari seorang perempuan lainnya diantara suara musik yang begitu keras.

Melihat  suasana  itu  ingin  rasanya Arlisa  segera  sampai di  rumah Reni. Tetapi langkah kaki Reni yang tertatih - tatih  karena luka  itu, memperlambat  langkah Arlisa.

Saat tiba di salah satu  pertigaan  gang, tercium bau  minuman  beralkohol yang menyengat  hidung Arlisa. Dengan  cemas  dan  takut  mata  Arlisa mencuri pandang pada  sebuah  rumah sempit. Tiga  orang   laki - laki  bertato sedang  asyik  bermain  judi  domino, di  atas sebuah meja kayu usang bercat merah.

Seorang laki-laki berewokan bertubuh tambun berteriak girang. Ia telah tiga kali memenangkan taruhan judi. Laki -laki  itu  bernama Somad. Badannya bergoyang-goyang seirama dengan tawanya.

"Jangan sombong dulu bos!" Kata Jepri.

Temannya yang satu tampak bergumam sembari menghisap rokok di sudut bibirnya. Mata sipitnya tertuju   pada deretan  kartu  domino di tangan kirinya  sambil  mengerutkan  kening. Dia juga  tidak mau terima dengan kekalahan berjudi kali ini.

"Kau tenang -tenang  sajalah Jep! si Somad  menangpun  juga tidak  ada artinya. Ingat, dia berhutang  banyak  pada kita  kemarin " kata Badri menyambung  perkataan  Jepri sambil tertawa  mengejek Somad.

Badri yang  dikenal sebagai  preman di pasar Wonokromo itu, meraih  botol Whisky. Di tangan  kirinya kartu domino tersusun rapi seperti sebuah kipas. Di lengannya  terlihat bekas luka jahitan sepanjang limabelas sentimeter.

Tak jauh dari meja judi itu, seorang perempuan bertubuh seksi dengan memakai rok jeans mini warna hitam, berdiri  sambil bersandar di dinding triplek. Bibirnya mengepulkan asap rokok.

Digenggaman tangan kanannya, sebotol whisky kosong. Dengan sempoyongan perempuan itu  berjalan menuju  ketiga  laki - laki  bertato yang sedang  asyik  bermain judi. Tak ada satupun dari mereka yang peduli pada perempuan yang sedang mabuk itu. Langkahnya tampak limbung.

"Cak, menang maneh yo? Bagi - bagi rejeki rek!"

Perempuan itu tertawa genit  sambil menyapa mereka. Lalu ia berdiri mendekat  meja judi dan  mencolek si tambun. Dipamerkannya  gambar tato kupu-kupu di punggungnya.

"Ha-ha-ha-ha.." ketiga lelaki itu tertawa bersama. Mereka tidak menggubris kedatangan perempuan bertato kupu - kupu itu.

Derai tawa mereka berhenti ketika melihat Arlisa dan Reni lewat. Perempuan yang sedang mabuk itu  juga ikut memandang tajam ke arah Arlisa. Matanya seolah menyelidiki Arlisa dari ujung rambut  sampai ujung kaki. Seperti  melihat  mahkluk  asing  turun  dari langit.

Ketakutan perlahan  mulai menyergap hati Arlisa. Reni lalu   menggandeng  tangan dan  menariknya dengan kuat. Tak lama melangkah, mereka sampai di rumah Reni.

"Kak Arlisa tunggu sebentar  ya,aku panggil mamak"

Arlisa menggangguk sambil tersenyum  manis pada Reni. Sambil menunggu, pandangan Arlisa tertuju di depan rumah Reni. Banyak anak kecil. Sepertinya wajah  mereka itu tidak asing  di  mata  Arlisa.Anak- anak kecil itu sering dilihatnya berada di terminal Joyoboyo. Mengemis dan  mengamen. Rupanya ini markas  mereka, katanya  dalam  hati.

Terdengar  Reni   memanggil mamaknya. Tak  lama  kemudian  keluar  seorang  perempuan kira-kira berumur limapuluh tahunan. Reni memanggil dia mamak. Arlisa membatin sambil terus memandang perempuan itu. Tidak mungkin dia yang melahirkan Reni. Perempuan ini sudah terlalu tua untuk menjadi seorang ibu. Wajah Reni pun tidak ada miripnya sama sekali.

"Jadi, kamu  yang  menolong  anak  saya  Reni? Terimakasih ya Arlisa" kata  perempuan itu. Ia mengulurkan tangannya menyalami Arlisa. Bibirnya  yang  hitam  kebiruan tersenyum, mengucapkan   terimakasih  berulang  -  ulang.

Tak  lama   kemudian  menyusul   keluar seorang   laki -  laki.  Melihat  dari  raut  wajah  itu  usianya  kira -  kira   terpaut sepuluh  tahun lebih muda dari mamak Reni.

"Kak Arlisa, kenalkan ini bapak"

Laki-laki itu menyalami  Arlisa  tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan tersenyum pun juga tidak. Reni  menyebut  laki -laki itu  bapak. Pasangan  yang    aneh, batin Arlisa.

Benarkah  Reni  anak  mereka? Atau  jangan - jangan mereka adalah induk semang yang menjual  anak atau  menjadikan  mereka  sebagai  pengemis dan pengamen. Banyak pertanyaan menghinggapi benak Arlisa.

Arlisa pun segera pamit pulang. Tidak ingin  ia berlama-lama  di tempat itu.

"Saya pamit pulang ya, Reni jangan lupa untuk minum obatnya"

Ketika  akan melangkahkan  kaki  keluar  dari rumah  itu, rasa takut menghinggapi benak Arlisa. Bayangan sekilas  orang - orang di gang Kelinci membuatnya takut setengah mati.

Arlisa  pun  membalikkan  tubuhnya  kembali  ke  rumah Reni. Untung  Reni  dan  kedua orang tuanya masih berada di luar. Arlisa menghampiri mamak Reni.

"Bu,apakah ada jalan lain untuk keluar?"

" Ya ada, bisa lewat samping dan nanti lurus. Lalu setelah tikungan kedua belok kanan" jawab mamak Reni.

Legalah hati Arlisa mendengar jawaban itu. Lalu  cepat-cepat Arlisa  melangkah  ke arah yang ditunjukkan oleh  mamaknya  Reni. Gang itu merupakan jalan   tembus langsung ke pemukiman penduduk urban belakang stasiun tua Wonokromo.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun