Tiba  di  persimpangan  jalan belakang  terminal  Joyoboyo, Arlisa  meminta becak untuk  berhenti. Lodi  yang  pada  saat  itu sedang  menoleh ke arah Arlisa menjadi ketakutan. Dikayuhnya pedal sepeda menuju tempat lain. Arlisa tidak lagi memperdulikan Lodi.
"Kak Arlisa, kita  masuk  ke gang itu" Reni  menunjuk ke sebuah  gang  sempit  di  balik kios rokok . Gang  itu  terlihat  kumuh. Banyak  sampah  plastik  bekas botol air mineral bertumpuk di  sudut - sudut  tikungan gang. Tikus- tikus got seolah - olah  menyambut kedatangan  mereka.
Hampir  saja  Arlisa  menjerit  ketakutan, ketika seekor tikus besar melintas di depan mereka.Melihat  cara melintas  tikus- tikus  itu,tak ada sedikit pun rasa takut  berhadapan  dengan  manusia. Tikus itu berjalan cepat mendahului  Arlisa dan Reni.  Sesekali tampak tikus  itu  berhenti memandang  mereka  berdua. Arlisa mencoba  menahan  diri agar tidak menjerit.
Sepanjang  kanan  dan kiri gang  banyak sekali  cabang tikungan sempit . Tikungan  itu berupa  jalan setapak . Hampir  semua  bangunan  rumah  di  situ  berdinding  triplek  dan kardus  bekas.
Berbagai merek  kardus dan kain spanduk bekas menghiasi  dinding rumah  mereka. Sambil menuntun  Reni , Arlisa membayangkan kehidupan  anak kecil  yang ada di  sampingnya.
Anak - anak yang lahir dan dibesarkan di  sebuah  pemukiman kumuh gang  Kelinci. Apakah mereka berpikir tentang kesehatan yang layak mereka dapatkan.
Lamunan  Arlisa  tiba - tiba  buyar, ketika  seorang  perempuan yang  berpapasan dengan mereka menyapa  Reni. Perempuan  itu menatap Arlisa penuh curiga. Ekspresi keheranan  tampak  pada  wajah  perempuan  itu.
Dua petak dari tempat Arlisa berpijak, terdengar tawa cekikikan dari seorang perempuan lainnya diantara suara musik yang begitu keras.
Melihat suasana itu ingin  rasanya Arlisa  segera  sampai di  rumah Reni. Tetapi langkah kaki Reni yang tertatih - tatih  karena luka  itu, memperlambat  langkah Arlisa.
Saat tiba di salah satu  pertigaan  gang, tercium bau  minuman  beralkohol yang menyengat  hidung Arlisa. Dengan cemas dan takut mata Arlisa mencuri pandang pada sebuah rumah sempit. Tiga orang  laki - laki  bertato sedang  asyik  bermain  judi  domino, di atas sebuah meja kayu usang bercat merah.
Seorang laki-laki berewokan bertubuh tambun berteriak girang. Ia telah tiga kali memenangkan taruhan judi. Laki -laki  itu  bernama Somad. Badannya bergoyang-goyang seirama dengan tawanya.