Joyoboyo, sebuah terminal lama di kota Surabaya. Lokasinya berhadapan dengan bekas stasiun  tua peninggalan jaman Belanda. Stasiun yang  dibangun  ketika  berjayanya pertambangan minyak bumi di daerah Wonokromo.
Sebuah catatan sejarah yang hampir terlupakan. Sebagian dari tempat itu sekarang berubah wajah  menjadi lokasi pemukiman warga  pendatang.
Mereka  menempati  tanah  milik  PT Kereta Api. Tanah yang  sudah sekian lama sengaja dibiarkan menjadi tempat pemukiman sementara bagi para urban.
Tak satupun dari mereka memiliki ijin bangunan, apalagi ijin pemilikan tanah. Hanya rasa memilikilah yang mereka punyai.
Berawal dari mimpi - mimpi dan  sebuah harapan untuk sukses di perantauan, mereka datang   ke Surabaya. Mencoba  mengadu nasib hanya  dengan  bermodalkan  tenaga.
Tuntutan situasi hidup di kota serba cepat ternyata memerlukan biaya tinggi. Tak dapat dihindari kenyataan ini membuat mereka tak punya pilihan lain, kecuali menjadi pekerja kasar untuk menyambung hidup. Sebagian mereka menjadi kuli angkut barang di terminal, tukang becak, buruh bangunan, bahkan ada juga yang nekad menjadi pencopet dan preman.
Di salah satu sudut  terminal itu, terdapat satu gang sempit bernama gang Kelinci. Tidak semua orang Surabaya mengetahui keberadaan gang tersebut. Lokasi pintu masuknya tersembunyi di  balik  kios rokok. Selain sempit gang Kelinci  ini  sangat  kumuh dan pengap. Tak heran jika orang -orang enggan melewatinya. Di sisi sebelah kanan dan kiri  gang,  berhimpitan rumah  -  rumah  petak berdinding  triplek  dan beratap seng  yang sudah berkarat.
Menurut  penuturan beberapa  orang  yang  tinggal  di sekitar terminal,gang itu juga merupakan jalan pintas menuju kampung urban. Menjadi tempat yang sangat strategis untuk persembunyian para pencopet.
Pencopet yang mencari penghidupan di  terminal Joyoboyo. Selesai melakukan aksinya pencopet  itu menyusup masuk ke gang Kelinci. Tak  ada seorangpun yang bisa menemukan mereka. Hanya  jaringan  pencopetlah yang  tahu tempat persembunyiannya.
***
Di sisi barat langit senja menyapa, semburat  merah  jingga mulai meredupkan sinarnya  di balik  rindang pepohonan hijau kebun  binatang   Surabaya. Pada saat yang sama, dari dalam gang Kelinci keluar dua orang bocah perempuan sambil menuntun sepedanya. Sebuah sepeda mini butut tanpa boncengan, hanya ada  sepasang  besi penyangga  kaki di bagian as roda belakang. Sepeda itulah yang menjadi harta bersama anak-anak gang Kelinci.
"Reni, main  ke lapangan Kodam yuk, lihat pasar malam" kata Lodi. Tangan kanannya memainkan dering bel sepeda.
"Sekarang?" tanya Reni.
"Tidak, minggu depan Ren" jawab Lodi sambil tertawa.
"Ya sekarang dong Ren" sambungnya lagi.
Reni ikut tertawa mendengar jawaban Lodi. Dicubitnya pipi Lodi sahabatnya itu sambil berjinjit.
"Aku pamit mamak dulu ya" pinta Reni sambil mengikat  rambutnya yang hitam ikal sebahu itu dengan karet gelang.
"Tidak usah, kita  hanya sebentar saja kok, nanti malah tidak ijinkan" jawab Lodi sambil mengayuh pedal sepedanya.
Tak lama berselang, terlihat Reni  berdiri  di  atas  roda belakang dengan menginjak penyangga kaki dari pipa besi.Kedua tangan Reni berpegangan pundak Lodi.
"Hei, jangan ngebut - ngebut Lodi! aku takut jalannya ramai sekali"Â teriak Reni.
"Tenang saja Ren,aku sudah biasa bersepeda lewat sini"
Sepeda mereka melaju kencang menuju lapangan Kodam Brawijaya. Tempat pasar malam rakyat.
Lodi dan Reni dibesarkan  di  gang Kelinci. Usia mereka sebenarnya  sebaya. Tetapi postur tubuh Lodi lebih besar dan tinggi dibanding  dengan Reni, potongan rambutnya pendek cepak seperti anak laki-laki.
Lodi juga sangat pemberani. Sementara Reni  tubuhnya kurus, dengan bentuk wajah tirus dan mungil . Reni lebih   pendiam dibandingkan  sahabatnya itu, membuat dia dikenal sebagai anak pemalu.
Meskipun berbeda karakter, keduanya  tetap tidak terpisahkan. Setiap  selesai  sekolah kedua bocah perempuan itu mengamen di terminal. Mereka juga sering terlihat bermain bersama.
Sore  itulah  kebersamaan  mereka  pun  teruji. Sebuah  sepeda  motor melintas  cepat menyerempet sepeda Lodi dan Reni. Mereka terjatuh.
Kedua bocah itu  tertindih  sepeda yang mereka kendarai. Kaki kanan Reni terluka. Kulit pembungkus tulang  kering  kaki kanan Reni terkelupas. Tak lama kemudian darah mulai mengucur deras dari luka itu.
"Aduuuh....sakit sekali kakiku" Reni menjerit sambil meringis kesakitan.
Lodi menyandarkan  sepedanya, lalu berjongkok di samping  sahabatnya  yang  sedang menangis menahan sakit.
Mendengar tangisan Reni, Lodi mulai panik.Wajah Reni yang mengiba  dan  linangan  airmatanya semakin menambah kegugupan Lodi. Tak ada satupun kata terucap  dari  bibirnya.
Lodi  menatap  lekat  ke  luka  Reni .Rasa  iba  mulai mencekam dirinya .Kecemasan  bercampur ketakutan akan mendapat  kemarahan  orang tua  Reni  terus menyelimuti benaknya.
"Diamlah  Ren! Jangan menangis terus" bentak Lodi. Ditariknya lengan kiri sahabatnya  itu  dengan  gugup. Reni dipaksa  bangun. Bentakan  Lodi  membuat  Reni terdiam.
Matanya yang cekung mengerjap sambil  memandang  Lodi  dengan  takut. Reni pun mulai sesenggukan. Air mata  tak  mampu  tertahan, membasahi kedua pipi yang tirus dan pucat itu.
Dengan tersedu -sedu  Reni  mengusap- usap tepi luka kakinya. Dia menggigit bibir untuk menahan rasa nyeri dan perih .
Beruntung seorang  gadis  lewat . Dia  berhenti  dan  berbicara  dengan Lodi  dan Reni. Tampaknya gadis itu berniat akan menolong.
"Dik ,ayo ikut kakak ke rumah , biar saya obati lukamu" ujar gadis itu. Ia menawarkan bantuan.
Kedua  bocah  perempuan  itu terlihat saling  berpandangan.Reni  tampak  ragu - ragu  untuk  menjawab. Ditatapnya  wajah  sahabatnya  untuk  meminta  persetujuan. Lodi lalu mengangguk setuju.
Beberapa  saat kemudian dipapahnya Reni naik ke atas becak  yang ditumpanginya .Gadis bernama Arlisa. Bekerja sebagai perawat  di  sebuah  rumah sakit sebelah utara terminal Joyoboyo.
Setiba  di  rumah  kontrakan Arlisa, Reni dibaringkan  di  atas tempat  tidur. Dengan cekatan tangan Arlisa membersihkan luka pada kaki Reni dan membalutnya.
"Sakit  sedikit  ya  Reni, memang  agak  perih di  beri obat, tapi lukamu akan segera sembuh" kata Arlisa. Ia menjelaskan sambil membalut luka. Reni mengangguk  lalu memandang wajah Arlisa penuh kekaguman.
Lodi memilih menunggu sambil duduk  di  sebuah kursi rotan, tak  jauh dari Reni. Dia memperhatikan gerak - gerik Arlisa  dari tadi. Di  pandanginya gadis itu berulang kali. Sesekali dilihatnya Reni  yang meringis kesakitan.
"Kalian  tunggu  sebentar  ya, kakak  akan  ke  apotik , membelikan Reni  obat antibiotik" kata Arlisa.
Kedua  anak  itu  hanya mengangguk lalu terdiam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Hampir setengah jam kebekuan  terjadi.
Arlisa muncul di depan pintu kamar sambil membawa tas plastik putih bercap apotik Waras.
"Sekarang  kakak antar kalian pulang ya" kata Arlisa. Ia memberikan  tas plastik itu pada Lodi.
"Oh, terimakasih kak. Maaf kami bisa pulang sendiri"jawab Lodi dengan cepat.
"Lodi, kasihan  Reni,mari  kakak  antar  kalian. Lodi kamu naik sepeda  dan kakak  akan naik  becak  bersama Reni. Di mana  alamat rumah kalian?" tanya Arlisa.
Dengan suara lembut Arlisa membujuknya. Lodi lalu menyebutkan alamat  tempat  tinggal mereka.Sebelum menaiki sepedanya Lodi memberikan tas plastik putih bercap apotik Waras tadi pada Reni.
Sudah tiga kali mereka berputar putar mengelilingi gang Teratai. Tak ada satupun alamat yang  sesuai dengan petunjuk dari Lodi. Arlisa mulai curiga,rupanya Lodi berbohong.
Dipandanginya Reni yang berdampingan dengannya dalam becak. Reni membalas tatapan Arlisa sekejab lalu menunduk.
"Reni, tolong katakan yang sebenarnya alamat rumah kalian pada kakak" bujuk Arlisa.
Sambil menunduk, dengan suara pelan dan parau Reni menjawab.
"Di gang Kelinci kak, dekat terminal Joyoboyo"
Arlisa menarik nafas lega,dia meminta tukang becak mengantar ke terminal Joyoboyo.
Di depan  becak yang  ditumpangi  Arlisa  dan  Reni,terlihat sekali-kali Lodi menengok ke belakang.Arlisa tersenyum. Melihat itu,  Lodi segera mengayuh sepedanya melaju lagi.
Tiba  di  persimpangan  jalan belakang  terminal  Joyoboyo, Arlisa  meminta becak untuk  berhenti. Lodi  yang  pada  saat  itu sedang  menoleh ke arah Arlisa menjadi ketakutan. Dikayuhnya pedal sepeda menuju tempat lain. Arlisa tidak lagi memperdulikan Lodi.
"Kak Arlisa, kita  masuk  ke gang itu" Reni  menunjuk ke sebuah  gang  sempit  di  balik kios rokok . Gang  itu  terlihat  kumuh. Banyak  sampah  plastik  bekas botol air mineral bertumpuk di  sudut - sudut  tikungan gang. Tikus- tikus got seolah - olah  menyambut kedatangan  mereka.
Hampir  saja  Arlisa  menjerit  ketakutan, ketika seekor tikus besar melintas di depan mereka.Melihat  cara melintas  tikus- tikus  itu,tak ada sedikit pun rasa takut  berhadapan  dengan  manusia. Tikus itu berjalan cepat mendahului  Arlisa dan Reni.  Sesekali tampak tikus  itu  berhenti memandang  mereka  berdua. Arlisa mencoba  menahan  diri agar tidak menjerit.
Sepanjang  kanan  dan kiri gang  banyak sekali  cabang tikungan sempit . Tikungan  itu berupa  jalan setapak . Hampir  semua  bangunan  rumah  di  situ  berdinding  triplek  dan kardus  bekas.
Berbagai merek  kardus dan kain spanduk bekas menghiasi  dinding rumah  mereka. Sambil menuntun  Reni , Arlisa membayangkan kehidupan  anak kecil  yang ada di  sampingnya.
Anak - anak yang lahir dan dibesarkan di  sebuah  pemukiman kumuh gang  Kelinci. Apakah mereka berpikir tentang kesehatan yang layak mereka dapatkan.
Lamunan  Arlisa  tiba - tiba  buyar, ketika  seorang  perempuan yang  berpapasan dengan mereka menyapa  Reni. Perempuan  itu menatap Arlisa penuh curiga. Ekspresi keheranan  tampak  pada  wajah  perempuan  itu.
Dua petak dari tempat Arlisa berpijak, terdengar tawa cekikikan dari seorang perempuan lainnya diantara suara musik yang begitu keras.
Melihat suasana itu ingin  rasanya Arlisa  segera  sampai di  rumah Reni. Tetapi langkah kaki Reni yang tertatih - tatih  karena luka  itu, memperlambat  langkah Arlisa.
Saat tiba di salah satu  pertigaan  gang, tercium bau  minuman  beralkohol yang menyengat  hidung Arlisa. Dengan cemas dan takut mata Arlisa mencuri pandang pada sebuah rumah sempit. Tiga orang  laki - laki  bertato sedang  asyik  bermain  judi  domino, di atas sebuah meja kayu usang bercat merah.
Seorang laki-laki berewokan bertubuh tambun berteriak girang. Ia telah tiga kali memenangkan taruhan judi. Laki -laki  itu  bernama Somad. Badannya bergoyang-goyang seirama dengan tawanya.
"Jangan sombong dulu bos!" Kata Jepri.
Temannya yang satu tampak bergumam sembari menghisap rokok di sudut bibirnya. Mata sipitnya tertuju  pada deretan  kartu  domino di tangan kirinya sambil  mengerutkan  kening. Dia juga tidak mau terima dengan kekalahan berjudi kali ini.
"Kau tenang -tenang sajalah Jep! si Somad menangpun juga tidak  ada artinya. Ingat, dia berhutang  banyak pada kita  kemarin " kata Badri menyambung  perkataan  Jepri sambil tertawa  mengejek Somad.
Badri yang  dikenal sebagai  preman di pasar Wonokromo itu, meraih  botol Whisky. Di tangan  kirinya kartu domino tersusun rapi seperti sebuah kipas. Di lengannya terlihat bekas luka jahitan sepanjang limabelas sentimeter.
Tak jauh dari meja judi itu, seorang perempuan bertubuh seksi dengan memakai rok jeans mini warna hitam, berdiri sambil bersandar di dinding triplek. Bibirnya mengepulkan asap rokok.
Digenggaman tangan kanannya, sebotol whisky kosong. Dengan sempoyongan perempuan itu  berjalan menuju ketiga  laki - laki  bertato yang sedang  asyik  bermain judi. Tak ada satupun dari mereka yang peduli pada perempuan yang sedang mabuk itu. Langkahnya tampak limbung.
"Cak, menang maneh yo? Bagi - bagi rejeki rek!"
Perempuan itu tertawa genit sambil menyapa mereka. Lalu ia berdiri mendekat meja judi dan  mencolek si tambun. Dipamerkannya  gambar tato kupu-kupu di punggungnya.
"Ha-ha-ha-ha.." ketiga lelaki itu tertawa bersama. Mereka tidak menggubris kedatangan perempuan bertato kupu - kupu itu.
Derai tawa mereka berhenti ketika melihat Arlisa dan Reni lewat. Perempuan yang sedang mabuk itu juga ikut memandang tajam ke arah Arlisa. Matanya seolah menyelidiki Arlisa dari ujung rambut  sampai ujung kaki. Seperti  melihat  mahkluk  asing  turun  dari langit.
Ketakutan perlahan  mulai menyergap hati Arlisa. Reni lalu   menggandeng  tangan dan menariknya dengan kuat. Tak lama melangkah, mereka sampai di rumah Reni.
"Kak Arlisa tunggu sebentar ya,aku panggil mamak"
Arlisa menggangguk sambil tersenyum manis pada Reni. Sambil menunggu, pandangan Arlisa tertuju di depan rumah Reni. Banyak anak kecil. Sepertinya wajah  mereka itu tidak asing  di  mata  Arlisa.Anak- anak kecil itu sering dilihatnya berada di terminal Joyoboyo. Mengemis dan  mengamen. Rupanya ini markas  mereka, katanya  dalam hati.
Terdengar Reni  memanggil mamaknya. Tak  lama  kemudian  keluar  seorang  perempuan kira-kira berumur limapuluh tahunan. Reni memanggil dia mamak. Arlisa membatin sambil terus memandang perempuan itu. Tidak mungkin dia yang melahirkan Reni. Perempuan ini sudah terlalu tua untuk menjadi seorang ibu. Wajah Reni pun tidak ada miripnya sama sekali.
"Jadi, kamu  yang  menolong  anak  saya Reni? Terimakasih ya Arlisa" kata  perempuan itu. Ia mengulurkan tangannya menyalami Arlisa. Bibirnya  yang  hitam  kebiruan tersenyum, mengucapkan   terimakasih  berulang  -  ulang.
Tak  lama  kemudian menyusul  keluar seorang   laki -  laki. Melihat  dari raut wajah itu usianya  kira -  kira   terpaut sepuluh tahun lebih muda dari mamak Reni.
"Kak Arlisa, kenalkan ini bapak"
Laki-laki itu menyalami  Arlisa  tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan tersenyum pun juga tidak. Reni  menyebut  laki -laki itu  bapak. Pasangan  yang   aneh, batin Arlisa.
Benarkah  Reni  anak  mereka? Atau  jangan - jangan mereka adalah induk semang yang menjual  anak atau  menjadikan  mereka  sebagai  pengemis dan pengamen. Banyak pertanyaan menghinggapi benak Arlisa.
Arlisa pun segera pamit pulang. Tidak ingin  ia berlama-lama di tempat itu.
"Saya pamit pulang ya, Reni jangan lupa untuk minum obatnya"
Ketika  akan melangkahkan  kaki  keluar  dari rumah  itu, rasa takut menghinggapi benak Arlisa. Bayangan sekilas  orang - orang di gang Kelinci membuatnya takut setengah mati.
Arlisa  pun  membalikkan tubuhnya  kembali  ke  rumah Reni. Untung  Reni  dan  kedua orang tuanya masih berada di luar. Arlisa menghampiri mamak Reni.
"Bu,apakah ada jalan lain untuk keluar?"
" Ya ada, bisa lewat samping dan nanti lurus. Lalu setelah tikungan kedua belok kanan" jawab mamak Reni.
Legalah hati Arlisa mendengar jawaban itu. Lalu cepat-cepat Arlisa  melangkah  ke arah yang ditunjukkan oleh  mamaknya  Reni. Gang itu merupakan jalan  tembus langsung ke pemukiman penduduk urban belakang stasiun tua Wonokromo.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H