"Bukan hanya sebatas luka bathin, tetapi kepergian ayah meneguk kematian ibu dalam diam"kataku sembari meneteskan air mata.
Hampir di setiap waktu di sisa hidup ibu, aku tidak pernah mendengar ibu mengeluarkan sepatah kata pun kepada  Andreas, dan lebih menyakitkan lagi membayangkan wajah andreas kali ini adalah siksa baginya.
Andai saja, permintaan ayah diamini oleh Andreas masih ada kemungkinan buat ayah untuk tetap hidup karena satu permintaan yang paling luhur dikabulkan.
Begitulah kata-kata yang secara tidak sengaja kubaca pada lembar penutup diary milik ibu ketika  ku antar makanan untuknya.
Masa depan andreas suram seperti menulis babak di parade kehidupan yang kelam.
***
Disaat bulan purnama tiba,di saat itulah ibu mengawali penderitaannya.
Ibu murung, sesekali surut dalam tawa yang menjengkelkan bahkan semua pakayan pun ditanggalkan, dan ibu telanjang layaknya orang yang telah kehilangan martabatnya.
Diobrak-abrik rambutnya yang mulai kuning ketua-tuaan mirip tuak di pulau solor, didekapnya erat boneka sambil membagi senyum kepada segenap isi kamar.
Meredam tangisan yang semakin lama semakin gaduh, akhirnya dengan langkah berani kulemaskan tubuhku didadanya, kukecup keningnya mengharapkan belaian kasih sayang yang telah lama kerdil.
Dilepasnya boneka murahan dan mulai memelukku.