Ayah,Menangkap Senja di Tasik
Takkan ada lagi yang terisa untuk kukenang selain deburan ombak dan sayap perahu yang remuk dihantam  pasang di tasik yang selalu merindukan kehadiran waktu.
Dan waktu yang kudapatkan adalah hasil menangkap senja dan mengingat riwayatnya yang kekal.
***
Sore,sebelum usai hari itu,aku termenung di bibir pantai diantara bentangan pasir dari sepanjang pantai Oa dan desahan angin  timur yang berhembus mesra dari balik pulau kambing menghantarku pada segumpal tanya mengapa ayah terlalu cepat untuk pergi sedangkan aku dan Andreas masih punya mimpi untuk membahagiakannya.
Kamilus, begitu ayah disapa.
Ayah ditakdirkan untuk memiliki mimpi namun sampai pada akhir hayatnya ta kada satu pun pecahan mimpi yang  diwujudkannya.
Orang tua dari sang ayah bahkan menjual seluruh harta milik termasyuk tanah dan seluruh tanaman demi menyekolahkan ayah, namun apalah artinya sebuah masa depan jika pada sebuah pojok yang terjal seketika tungkai kaki tak mampu lagi untuk melangkah?
Uang, itulah jawaban dari segala bias pertanyaan yang sesekali waktu dijawab oleh ayah dengan nada pasrah pada nasib.
Kendatipun harus bergulat dengan nasib yang tidak berpihak kepadanya, namun ayah tetaplah ayah dengan segala talenta yang dimilikinya untuk mengarungi lautan yang luas demi menyekolahkan aku dan Andreas.
Andreas, berulangkali diminta oleh ayah bahkan sempat ayah berlutut di kakinya dan memohon supaya ia melanjutkan studinya di Seminari menengah.
Ia pun tidak rela membiarkan ayah memenuhi hasratnya dan melupakan dirinya.
Baginya,ayah adalah masa depannya bukan perahu dan tasik yang menyisir maut, bukan pula masa depan yang membekukan kenangan pada selembar diary yang usang.
Hanya karena sama-sama tidak tega saling membiarkan, Andreas pun memutuskan pergi dari rumah tanpa pamit.
Sedangkan aku, masih dalam proses perjuangan menggapai masa depan di sebuah Universitas yang sengaja tidak kusebut namanya dan lebih tepatnya kubungkam lantaran aku tahu, menceritakan perjuangan sama dengan menampar luka di wajah ayah.
Ayah yang sejatinya diam, menginginkan agar proses perjuangan yang sedang aku tapaki haruslah selalu dalam nuansa diam bahkan terkadang terlalu diam aku pun lupa mengatakan kepadanya tentang cita-citaku.
Ayah seorang nelayan dengan perahu yang kerap disapanya sahabat,selalu setia menemani baik  pasang maupun  surut gelombang di tasik.
***
Aku ingat betul, senja itu 20 Juni merupakan pertemuan sekaligus perpisahan yang membawa duka di tasik itu.
Ayah yang masih mempunyai harapan dan semangat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan ikan untuk dijual supaya aku bisa melunasi SKS, Â tetapi harapan hanyalah sebatas harapan.
Semakin larut, pasangpun semakin bergelora.
Dengan rasa kesal bercampur lelah, ayah membalikan badan perahu menuju arah pantai .
Sebelum sempat mendarat di bibir pantai, tiba-tiba tanpa malu tapi mau mirip tsunami tahun 2004 di Aceh menghantam  kedua sayap perahu beserta ayah.
Seketika ayah lenyap dari permukaan.Tanpa daya, kuteriak sekeras mungkin supaya ayah secepatnya mendapatkan pertolongan.
Kira-kira dua jam lamanya, setelah mendapatkan bantuan yang efektif, ayahpun ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.
Dengan nafas yang masih tersisa, kurangkul erat tubuhnya, di relung matanya yang bening tersimpan selumbung janji untuk menyekolahkan aku dan andreas sampai menggapai masa depan.
"Terimakasih ayah untuk semua ketulusanmu".
Ibu berlari dengan cepat, dipeluknya sang ayah, air mata pilu ditelannya, hanya terdengar deru gelombang dan rintihan mungil penuh ratap.
Kali ini, ayah benar-benar pergi dan takkan kembali lagi.
***
"Kamu kenapa Kheyla?' Tanya Reinard dengan nada ingin tahu.
Dua bahkan sampai tiga kali pertanyaan yang sama dilontarkannya untukku, namun untuk memberikan alasan atas apa yang menimpa diriku, aku harus berulangkali memandang gelombang  mencari sebagian raut wajah ayah yang menyembunyikan keegoisan dari tasik itu.
"Saya harap Nona jangan terlalu terbawa dengan situasi maut yang dengan kejam menyapamu di perjalanan mimpimu.Nona harus berani bangkit menenun fajar di pantai ini, agar tasik pun tahu engkau tidak lelap terbuai dengan sekeping sesal di hatimu.
Masa depan itu lebih penting dari hanya sekedar kata-kata hampa ayahmu yang telah hanyut bersama senja.
Masa depan itu lebih mulia dari membakar peluh ibumu di pasar dengan sepotong ikan kepada pembeli.
Masa depan jauh lebih berharga dari membiarkan air mata memenuhi lorong ingatanmu" Katanya membangkitkan semangatku.
"Kamu  memiliki kata-kata hanya sebatas menggalih gairah agar aku bisa melupakan semuanya,apakah kamu pernah berpikir arti dari sebuah kehilangan?.
Semenjak kepergian ayah, ibu sepertinya orang yang kurang waras.
Dari dalam bilik terdengar isak tangis yang mengharukan, bahkan setiap senja ibu tak pernah lekang dari menatap gelombang di tasik.
Ibu kali ini berbeda dengan ibukku yang dulu.Ibu yang periang,penuh kasih sayang kini dimahkotai dengan ketakutan.Dan lebih anehnya, masih ada nada penuh ambisi untuk selalu memiliki ayah hari ini, besok dan selamanya"
Kataku sembari menarik napas dalam-dalam meninggalkan pantai dan Reinard yang masih terbengong dengan cerita duka yang membingkai hidupku.
***
Setelah mendengar berita tentang kepergian ayah dari tasik itu, Andreas pun kembali kerumah.Dengan rambut gimbalnya yang sengaja diikat layaknya preman pasaran, celana diberi lubang mengikuti pola sajak, disorongkan telapak tangannya menempel pada bahuku seketika dirangkulnya tubuhku hingga aku merasakan ada aliran kasih sayang seorang saudara sepanjang ketiak-ketiak masih hangat dari leleh tubuhnya.
"Apakah ibu terluka?"pertanyaan yang membodohkanku pun terucapkan dari bibirnya.
"Bukan hanya sebatas luka bathin, tetapi kepergian ayah meneguk kematian ibu dalam diam"kataku sembari meneteskan air mata.
Hampir di setiap waktu di sisa hidup ibu, aku tidak pernah mendengar ibu mengeluarkan sepatah kata pun kepada  Andreas, dan lebih menyakitkan lagi membayangkan wajah andreas kali ini adalah siksa baginya.
Andai saja, permintaan ayah diamini oleh Andreas masih ada kemungkinan buat ayah untuk tetap hidup karena satu permintaan yang paling luhur dikabulkan.
Begitulah kata-kata yang secara tidak sengaja kubaca pada lembar penutup diary milik ibu ketika  ku antar makanan untuknya.
Masa depan andreas suram seperti menulis babak di parade kehidupan yang kelam.
***
Disaat bulan purnama tiba,di saat itulah ibu mengawali penderitaannya.
Ibu murung, sesekali surut dalam tawa yang menjengkelkan bahkan semua pakayan pun ditanggalkan, dan ibu telanjang layaknya orang yang telah kehilangan martabatnya.
Diobrak-abrik rambutnya yang mulai kuning ketua-tuaan mirip tuak di pulau solor, didekapnya erat boneka sambil membagi senyum kepada segenap isi kamar.
Meredam tangisan yang semakin lama semakin gaduh, akhirnya dengan langkah berani kulemaskan tubuhku didadanya, kukecup keningnya mengharapkan belaian kasih sayang yang telah lama kerdil.
Dilepasnya boneka murahan dan mulai memelukku.
"Ibu,Andreas merindukanmu!"Kataku berkecamuk dalam jiwaku, takut kalau ibu akan secepatnya melepaskan pelukannya.
"Dimana Andreas,adikmu? Tanya ibu diantara butir-butir air mata yang memenuhi kelopak matanya.
"Entalah Bu, sebelum siang, Andreas mengatakan bahwa ia berkunjung ke makam ayah.Ia merindukan ayah".
"Aku juga rindu  ayah, maka dari itu izinkan aku bertemu dan meminta maaf kepada Andreas" Ibu menarik tanganku menuju makam ayah.
Mengakhiri penderitaan Ibu, aku sepertinya telah menangkap purnama di atas kuburan.
Bukan karena aku fasih mengeja musim-musim langit, bukan pula karena aku mampu menggenggam misteri di balik kematian ayah akan  tetapi aku telah mengembalikan suka dalam cita yang masih menjadi milik kami.
Ayah, kami semua merindukanmu, seperti engkau melupakan kami adalah mengingat kami.
Senja di tasik itu bukan takdir kami tetapi takdirNya.
Sekian dan Terimakasih
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI