Ia pun tidak rela membiarkan ayah memenuhi hasratnya dan melupakan dirinya.
Baginya,ayah adalah masa depannya bukan perahu dan tasik yang menyisir maut, bukan pula masa depan yang membekukan kenangan pada selembar diary yang usang.
Hanya karena sama-sama tidak tega saling membiarkan, Andreas pun memutuskan pergi dari rumah tanpa pamit.
Sedangkan aku, masih dalam proses perjuangan menggapai masa depan di sebuah Universitas yang sengaja tidak kusebut namanya dan lebih tepatnya kubungkam lantaran aku tahu, menceritakan perjuangan sama dengan menampar luka di wajah ayah.
Ayah yang sejatinya diam, menginginkan agar proses perjuangan yang sedang aku tapaki haruslah selalu dalam nuansa diam bahkan terkadang terlalu diam aku pun lupa mengatakan kepadanya tentang cita-citaku.
Ayah seorang nelayan dengan perahu yang kerap disapanya sahabat,selalu setia menemani baik  pasang maupun  surut gelombang di tasik.
***
Aku ingat betul, senja itu 20 Juni merupakan pertemuan sekaligus perpisahan yang membawa duka di tasik itu.
Ayah yang masih mempunyai harapan dan semangat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan ikan untuk dijual supaya aku bisa melunasi SKS, Â tetapi harapan hanyalah sebatas harapan.
Semakin larut, pasangpun semakin bergelora.
Dengan rasa kesal bercampur lelah, ayah membalikan badan perahu menuju arah pantai .