Gunung Lawu, bahkan jauh melintas abad
Sekadar mencari jejakmu di Sangiran yang membatu" (Widiatmoko, 2017)
Dalam pengembaraan silsilahnya, Bambang Widiatmoko telah berkelana ke berbagai penjuru bumi di sejumlah Negara yang tercermin dalam puisi-puisinya ketika berada di Jepang, Thailand, dan berbagai daerah di Indonesia. Lagi-lagi Bambang Widiatmoko tetap kukuh dengan kejawaannya. Terbukti dengan adanya puisi "Keris di Atas Pintu" yang menjadi saksi atas pudarnya sebuah peradaban (Jawa). "Walaupun tergolong jenis senjata tikam, keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh, keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik." (Darmojo). Karena itulah Bambang Widiatmoko mengatakan "mungkin karena berdarah biru" sehingga disimbolkan dengan adanya keris di atas pintu. Â Puisi di halaman 50 -- 51 tersebut menyebutkan sederet nama wilayah seperti Purwosari, Wonogiri, Solo yang kental dengan aroma Jawa. Bahkan Bambang Widiatmoko mempertegas ciri kejawaan tersebut dengan panggung wayang Sriwedari dan alun-alun yang identik dengan keraton Jawa sebagaimana dinyatakan dalam penggalan puisinya berikut ini:
"Pada akhirnya makin merasa perlu
Mewarisi tanah nenek moyang berpagar batu
Belajar memahami sekalipun tak pernah menyatu
Mungkin karena darah berwarna biru
Keris yang diletakkan di atas pintu
Belajar memahami meski sedikit tahu dan keliru
Tak akan ragu lagi -- Solo pun merasa jemu" (Widiatmoko, 2017)
Dalam perjalanan rohaninya, Bambang Widiatmoko telah melampaui berbagai pengalaman batin dari wilayah Indonesia bagian barat hingga ke timur. Namun lagi-lagi pengembaraan batin Bambang Widiatmoko kembali pada "Sangkan Paraning Dumadi" sebagai manusia Jawa sebagaimana tertulis di halaman 62.Â