Mohon tunggu...
Basir SH
Basir SH Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Pasca UNMA BANTEN

Saya adalah Mahasiswa Pasca Sarjana pada Perguruan Tinggi Universtitas Matlaul Anwar Banten

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Implementasi Norma Agama dalam Keabsahan Setatus Anak Berdasarkan Isbat Nikah

11 Mei 2024   13:51 Diperbarui: 11 Mei 2024   13:53 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


BAB I

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai macam alasan yang bisa dibenarkan perkawinan sering dilakukan dalam berbagai macam model seperti kawin bawa lari, kawin bawah tangan dan juga kawin kontrak, sehingga muncullah kawin yang sekarang paling populer dimasyarakat yakni kawin siri. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan dikantor Pegawai Pencatatan Nikah atau Kantor Urusan Agama.[1]

 

Nikah tidak dicatatkan kepada Pejabat Pencatatan Nikah (PPN) adalah salah satu bentuk masalah yang terjadi di Negara Indonesia saat ini. Permasalahan ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka yang melaksanakan pernikahan ini tidak melaporkan pernikahan mereka kepada pihak yang berkompeten dalam bidang tersebut yakni Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beagama non muslim.

 

Membicarakan itsbat nikah tentu terkait dengan sesuatu yang kurang pantas terhadap suatu peristiwa hukum yang mendahuluinya dan terkadang hal itu dirasakan sebagai suatu kelalaian mengapa pada waktu itu tidak mendaftarkan perkawinan yang telah dilaksanakan tersebut. Namun kenyataan dalam masyarakat, seolah ada anggapan kalau sudah sah secara agama maka dirasakan cukup, tapi disisi lain ketika berhadapan dengan institusi negara maka dirasakan ada sesuatu yang mengharuskan mereka untuk mau tidak mau harus mentaatinya

 

Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini,[2] tidak ada Perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP).[3]

 

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.

 

Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah.

 

Perkawinan merupakan perbuatan hukum, tujuan utama pengaturan hukum dalam perkawinan adalah upaya untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmat serta menghindari potensi penzaliman antara satu pihak dengan pihak lainnya. Kenyataan di masyarakat masih banyak ditemukan perkawinan yang dilakukan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan berbagai sebab dan alasan sehingga mereka tidak mempunyai Buku Nikah.

 

Jelas bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai Buku Nikah karena perkawinannya tidak tercatat atau dicatatkan, tidak dapat memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan dokumen pribadi yang dibutuhkan, termasuk anak-anak mereka tidak akan memperoleh Akta Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil. Solusi yang dapat ditempuh oleh mereka adalah mengajukan permohoan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu sendiri, kemudian digunakan dasar untuk mencatatkan perkawinan mereka pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama, dan selanjutnya Kantor Urusan Agama akan menerbitkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.

 

hukum syar'i itu sendiri secara eksplisit memang tidak satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan keharusan adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi seperti sekarang ini, pencatatan perkawinan menjadi sebuah keharusan bagi seseorang, hal ini disebabkan karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan jika tidak dilakukan pencatatan. Islam menggariskan bahwa setiap kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana ungkapan sebuah kaedah fikih[4] yang berbunyi :

 

"Kemudharatan harus dihilangkan"

 

Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, dengan tegas membagi syarat nikah kepada syarat syar'iy dan syarat tautsiqy.[5] Syarat syar'iy adalah suatu syarat tentang keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan syarat tawtsiqiy merupakan suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan di kemudian hari. Syarat tawtsiqiy tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadiran dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar'iy, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai syarat tawtsiqiy.[6]

 

Dalam Pandangan Islam Perkawinan (nikah) merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Syari'at Islam. Agar Perkawinan itu mempunyai nilai ibdah, maka perkawinan tersebut harus memenuhi unsur yang menjadi ukuran keabsahan perkawinan tersebut, menurut ketentuan yang sudah ditetapkan oelh Pencipta Syariat itu sendiri ( Allah dan RasulNya) seperti rukun, syarat, dan tidak adanya larangan diantara mereka yang melaksanakakn perkawinan.

 

Masalahnya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai dasar hukum itsbat nikah untuk perkawinan yang dilaksanakan sebelum lahirnya undang-undang tersebut namun setalah Undang-Undang Perkawinan tersebut diterbitkan dan diberlakukan pernikahan yang tidak tercatat tetap terjadi sehingga terjadi ketidak tertiban dalam hal perkawinan di Indonesia, dengan begitu dalam penelitian ini yang harus ditela'ah dan dikaji adalah bagaimana Para Hakim dalam menetapkan pengesahan nikah dan atas pertimbangan hukum apa dalam penerapkan hukumnya.

 

Beberapa permasalahan akibat dari permasalahan hukum dalam itsbat nikah sehingga perlu adanya penyikapan secara hukum guna mendapat kepastian, dalam hal ini yang akan disikapi adalah kepastian hukum itsbat nikah terhadap kedudukan dan setatus anak yang dilahirkan baik dalam perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkanya Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau penikahan yang dilakukan sesudah Undang-Undang tersebut bahkan terhadap kedudukan dan setatus anak yang dilahirkan dari pernikahan kedua yang tidak tercatat.

 

 

 

BAB II

 

PERMASALAHAN

 

Ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji baik di lihat dari segi permasalahan politik hukumnya atau dari segi praktisinya yang kadang tidak dapat mengakomodasi problem di lapangan yang terjadi, diantaranya yaitu, Bagaimana kepastian hukum itsbat nikah terhadap perkawinan yang tidak tercatat sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diberlakukan, apakah kaidah norma agama dapat memastikan Hukum Itsbat Nikah terhadap status perkawinan yang sebelumnya tidak diketahui dan tercatat dihadapan pegawai pencatat pernikahan serta bagaimana status anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan sebelum pernikahan tersebut tercatat pada pencatatan Kantor Usrusan Agama (KUA)?

 

 

 

BAB III

 

PEMBAHASAN

 

 

 

Analisis Norma Agma dalam Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Yang Terjadi Sebelum dan Setelah Undang-Undang Perkawinan.

 

Munculnya ketentuan Itsabat Nikah tidak bida dipisahkan dari ketentuan keharusan adanya pencatatan perkawinan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang. Landasan hukum Itsbat Nikah, kalau kita analisis bisa dibedakan menjadi :

 

Itsbat Nikah terhadap perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Landasan hukumnya Undang-Undang Nomor & Tahun 1989, Penjelasan Pasal 49 (2) angka 22 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Penjelasan Pasal 49 huruf a angka 22 yang kemudian dipertegas dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam.

 

Itsbat Nikah terhadap perkawinan yang tidak dicatat yang terjadi baik sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Landasan hukumnya dari pemahaman Pasal 7 ayat (2) dan (3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Indonesia.[7]

 

Munculnya ketentuan Itsbat Nikah juga berkaitan dengan masalah status pencatatan perkawinan. Ada dua pandangan mengenai masalah status pencatatan perkawinan tersebut :

 

Pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan hanya merupakan persayaratan administratif, tidak merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, jadi pencatatan perkawinan hanya proses untuk mendapatkan suatu bukti, bahwa telah terjadi perkawinan yang dilakukan oleh seseorang.

 

Pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan menjadi syarat sah perkawinan.

 

Sahnya suatu perkawinan hanya didasarkan pada ketentuan agama yang dipeluk oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan, sebagaimana disebutkan Pasal 2 ayat (1) Undnag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif dan berada diluar unsur keabsahan perkawinan tersebut. Saat mulai sahnya suatu perkawinan adalah sesaat setelah terjadinya ijab qobul antara wali nikah dengan calon pengantin pria.[8]

 

Argumentasi yang mengatakan bahwa pencatatan merupakan bagian dari sahnya perkawinan, terutama dengan alasan kepastian hukum tentang bukti adanya perkawinan tersebut. Dalam pandangan ini ayat (1) dan ayat (2) dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. lebih jauh alasan pandangan ini dihubungkan dengan manfaat kemaslahatan yang didapat dengan pencatatan tersebut, dengan mengacu kepada maslahat mursalah atau untuk menghindari akibat yang merugikan/tidak diinginkan (sad al dzari'ah). Ada juga pandangan yang meletakan pencatatan perkawinan sebagai ganti kehadiran saksi, sebagai salah satu rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu akad nikah.

 

Kalau kita ingin pencatatan perakawinan merupaka bagian dari syarat sahnya perkawinan, maka hal itu harus dimunculkan dalam Undang-Undang, yaitu pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang merupakan gabungan dari ayat (1) dan ayat (2) Pasal 2 tersebut. Sehingga Pasal 2 menjadi berbunyi :"Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatat menurut peraturan perUndang-Undangan".

 

Apabila alternatif ini yang dipilih, maka perlu dipikirkan lebih lanjut tentang sanksi bagi perkawinan yang tidak dicatat menurut ketentuan perUndang-Undangan. Hal ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah, memerlukan pemikiran yang cukup lama dan mendalam serta komprehensif. Sebagaimana kita maklumi pada saat ini, sanksi mengenai pencatatan perkawinan tersebut adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan.`

 

Apabila kita akan mempertahankan pencatatan perkawinan merupakan persyaratan administratif, tidak merupakan bagian dari syarat sahnya perkawinan, maka dalam Undang-Undang perlu ada kelausul yang menyatakan tentang kemungkinan adanya Itsbat Nikah bagi perkawinan yang tidak dicatat yang terjadi baik sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Jadi ketentuan Itsbat Nikah harus diatur dalam Undang-Undang, bukan dalam Instruksi Presiden.

 

Sebagaimana diketahui bahwa kata/istilah Itsbat Nikah dan landasan hukum Itsbat Nikah bagi perkawinan yang terjadi sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 didasarkan bukan kepada Undang-Undang, tetapi didasarkan kepada Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Terhadap Kompilasi Hukum Islam ini ada yang memandang hanya sebagai fiqh Indonesia yang sifatnya tidak mengikat. Di sisi lain menurut informasi praktek produk Peradilan Agama mengenai Itsbat Nikah terhadap perkawinan yang terjadi sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah cukup banyak, yang berarti masih banyak perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang belum mnegikuti ketentuan pencatatan perkawinan.

 

Selanjutnya menarik untuk dikaji sejauh mana kekuatan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang membolehkan Itsbat Nikah bagi perkawinan yang tidak dicatat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, kalau dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang, yaitu Pasal 49 huruf a angka 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang secara explicit tidak membuka ruang pengesahan perkawinan bagi perkawinan yang tidak dicatat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan demikian sebenarnya menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak mungkin ada Itsbat Nikah bagi perkawinan yang tidak dicatat dan yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.

 

Mengenai hubungan kedudukan Instruksi Presiden (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) dengan (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) dapat kita liha dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undnganan, jenis dan hierarki peraturan perUndang-Undangan terdiri atas:

 

Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945;

 

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

 

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

 

Peraturan Pemerintah

 

Peraturan Presiden

 

Peraturan Daerah Provinsi dan

 

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

 

Dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undagan sesuai dengan hierarki tersebut diatas.dengan melihat urutan PerUndang-Undangan diatas, Instruksi Presiden sebagai produk yang dikeluarkan oleh Lembaga presiden berada di bawah Undang-Undang, termasuk urutan kelima setelah Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, Tap MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.[9]

 

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak berlaku surut, oleh karena itu perkawinan baik yang pertama atau yang kedua dan seterusnya yang terjadi sebelum tanggal 1 Oktober 1975 yang dilakukan adalah sah. Sehingga menurut penulis perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UNDANG-UNDANG No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan inilah yang harus dikabulkan oleh Pengadilan Agama jika dimintakan permohonan itsbat nikah, dan hal inilah yang menjadi pokok dalam masalah Itsbat Nikah karena pernikahan sebelum Tahun 1974 perlu dan penting untuk mendapat bukti otentik yaitu Akta Nikah demi kepentingan keluarga guna mendapatkan kepastian hukum, keadailan bahkan kemanfaat dimasa depan dalam bertindak untuk hukum.

 

Ada kesamaan persepsi dikalangan praktisi hukum, khususnya hakim peradilan agama, bahwa yang dimaksud dengan itsbat nikah merupakan produk hukum declarative sekedar untuk menyatakan, perkawinan yang dilaksanakan secara sah menurut hukum agama namun tidak dicatatkan tersebut setelah diitsbatkan menjadi memiliki kepastian hukum (rechtszekerheid). Dalam beberapa event pembinaan dan bimbingan tehnis hakim peradilan agama, H.M. Tahir Hasan, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banten menekan bahwa itsbat nikah tidak identik dengan istilah "tashih nikah" yang mengesahkan matter peristiwa akadnya atau substansi nikahnya. Itsbat nikah hanya sebuah pernyataan (declaratoir) terhadap perkawinan yang secara substantive telah sah dan memenuhi ketentuan syari'at Islam. Oleh karena hanya bersifat declaratoir saja, itsbat nikah tak ubahnya bagai surat keterangan penting lainnya semisal surat kematian dan kelahiran.[10]

 

Dari ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 100 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan adanya akta perkawinan atau akta nikah yang dicatatdalam register. Bahkan ditegaskan, akta ta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Namun dmeikian, menurut Undang-Undang Perkawinan itu sendiri, akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan. Oleh karena itu, walaupun dipandang sebagai alat bukti, akta perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahaan perkawinan. Kalau demikian, fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (bagi pasangan suami isteri yang beragama Islam) adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) semata.

 

Tidak ada yang meragukan ketertiban hukum merupakan instrumen kepastian hukum. Karena itu, bagi pasangan suami isteri yang telah melangsungkan perkawinan menurut hukm agamanya, tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka pasangan suami isteri tersebut dapat mengajukan permohona itsbat nikah ke pengadilan Agama. Akan tetapi, Itsbat Nikah dimaksud hanya dimungkinkan bila berkenan dengan : a) dalam rangka penyelesaian perceraian; b) hilangnya akta nikah; c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d) perkawinan terjadi sebelum berlakunya UNDANG-UNDANG Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UNDANG-UNDANG Nomor 1 Tahun 1974.

 

Perkembangan terakhir, permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai alasan di antaranya: 1) Itsbat nikah diajukan untuk melengkapi persyaratan akta kelahiran anak; 2) Itsbat nikah untuk melakukan perceraian secara resmi di Pengadilan; 3) Itsbat nikah untuk mendapat pensiunan janda; 4) Itsbat nikah diajukan untuk dapat menetapkan ahli waris; 5) Isbat nikah diajukan sebagai isteri sah dalam poligami.

 

Permasalahan yang timbul dari itsbat sesudah atau di atas tahun 1974 nikah tersebut berkaitan dengan ketentuan waktu pelaksanaan perkawinan sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diatur Pasal 7 Ayata 3 (d) KHI, sedangkan kenyataannya permohonan Itsbat Nikah tersebut diajukan terhadap perkawinan yang dilaksanakan. Terhadap hal demikian perlu meramu legal ratio dan mencari alas hukum yang membolehkan pengadilan agama menerima perkara itsbat nikah meski perkawinan yang dimohonkan itsbat tersebut terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan.

 

Setidaknya terdapat dua alasan pengadilan agama dapat menerima dan memutus perkara itsbat nikah terhadap perkawinan pasca berlakunya Undang-Undang Perkawinan. Pertama, berkaitan dengan iuscurianovit yakni hakim dianggap mengetahui hukum itsbat nikah, dan asas kebebasan Hakim untuk menemukan hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak terdapat peraturan hukmnya (rechtsvacUndang-Undangm). Kedua, pendekatan sosiologis yang mendorong hakim menganalisis suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran baru terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah bahwa hukum itu berubah karena ada perubahan, waktu, tempat, keadaan, dan adat istiadat.[11] Langkah-langkah ini kemudian dikenal dengan sebutan penemuan hukum (rechtsvinding).

 

Dalam sosiologi hukum, dikenal istilah maturity of law atau hukm yang matang yaitu hukum yang benar-benar efektif sebagai busana masyarakat (clothes body of society), yang bersifat praktis, rasional dan actual sehingga dapat menjembatani dinamika nilai kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat, tanpa terbelenggu formalistik melaksanakan suatu peraturan. Kalau perlu, dibutuhkan adanya keberanian untuk melakukan contra legem untuk menghadapi peraturan atau ketentuan yang kurang logis.[12] Dalam kajian hukum islam, terdapat kaidah ushuliyah "al-hukmu yaduru ma'a illatih wujudan wa'adaman" (hukum itu terkait dengan ada tidaknya casualitas hukum), sehingga dapatlah terus diadakan pembaruan hukum islam yang menyesuaikan dengan situasi, kondisi serta perkembangan zaman. Ijtihad untuk melakukan pembaruan hukum islam bukanlah sesuatu yang terlarang melainkan suatu yang dianjurkan jika menghadapi suatu permasalahan hukum.[13] dengan demikian, menolak permohonan itsbat nikah sebelum dilakukan pemeriksaan dnegan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya, bukan merupakan pilihan utama.

 

Selain itu, dalam hal itsbat nikah pun terdapat kekosongan hukum atau rechtsvacUndang-Undangm, yakni tidak adanya peraturan itsbat nikah pasca berlakunya Undang-Undang Perkawinan, yang ditenggarai sebagai "politik hukum" adar setiap perkawinan dicatatkan pada instansi yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakuakan pencatatan nikah.

 

Karena fungsi dan peran hakim untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat lantaran tidak lengakapnya peraturan perUndang-Undangan untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, maka dengan mengalaskan pada ajaran Cicero ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat disanalah ada hukum), maka kekosongan hukum pun dipandang tidak pernah ada, dengan reasoning setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptaka kaidah-kaidah hukum apabila hukum resmi tidak memadai atau tidak ada.[14]

 

Selain bersifat legal, suatu peraturan juga bersifat sociological, empirical yang tak bisa dipisahkan secara mutlak. Dengan menggunakan pisau interpretasi, hakim tidak semata-mata membaca peraturan melainkan juga membaca kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sehingga keduanya dapat disatukan. Dari situlah akan timbul suatu kreatifitas, inovasi serta progresifisme yang melahirkan konstruksi hukum.[15]

 

Pola pikir inilah yang mengarahkan Pengadilan Agama untuk dapat menerima perkara permohona itsbat nikah untuk keperluan Akta Kelahiran Anak yang belum memiliki meskipun berusia lebih dari satu tahun dengan merujuk pada Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan yang menyatakan anak itu anak orang tua yang bersangkutan. Dengan demikian itsbat nikah untuk keperluan membuat akta kelahiran anak merupakan sintesa penyimpangan hukum yang dibina atas dasar pengisian kekosongan hukum (rechsvacUndang-Undangm) karena selain tidak ada peraturan yang mengatur tentang Itsbat Nikah untuk keperluan membuat akta kelahiran anak, juga perkawinan secara syar'iyah tersebut dilaksanakan sesudah berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974, ini merupakan asas pemanfaatan bagi masyarakat yang mencari keadilan khusunya dalam itsbat nikah.

 

Namun demikian, dalam mengambil suatu keputusan sikap hakim bersifat bebas dengan pertimbangan dan penafsiran peraturan perundangan demi kemaslahatan dan keadilan bagi masyarakat. Seperti ketentuan Pasal 6 Ayat (1) KHI bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan PPN, dan pada Ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode Argumentum a contra riro (mungkin tidak pas), dapat ditarik kesimpulam bahwa tidak mempunyai kekuatan hukum itu tidak berarti bahwa perkawinan tersebut tidak sah atau batal dmei hukum.

 

Pemikiran ini didasari pada pemahaman bahwa yang menjadi patokan keabsahan suatu perkawinan itu adalah dilaksanakan berdasarkan hukum Agama (Islam) dan kepercayaannya itu. Belum ditemukan satu pasalpun yang menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan tidak sah atau batal demi hukum.

 

Dari sinilah hakim mempertimbangkan Itsbat Nikah apakah akan dikabulkan atau ditolak dengan pertimbangan yang memadai dan tidak terjebak oleh onvooldoende gemotiveerd ( putusan yang kurang pertimbangan). Setelah terbit penetapan yang menyatakan sahnya perkawinan, apakah penetapan tersebut sah dengan sendirinya sebagai bukti dari sahnya suatu perkawinan atau berdasarkan penetapan pengadilan tersebut perkawinan dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Ada dua pandangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, Penetapan Itsbat Nikah merupakan produk hukum pengadilan yang bersifat final, sehingga berfungsi sebagai alat bukti yang sah bagi suatu perkawinan dan karenanya tidak perlu dilakukan pencatatan pada Kantor Urusan Agama. Masalah yang muncul dari model ini adalah tetapnya perkawinan tanpa tercatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Kedua, Penetapan pengadilan terhadap Itsbat Nikah tersebut menjadi alat bukti yang harus dicatatkan pada Kantor Urusan Agama untuk mendapatkan Akta Nikah. Dalam hal ini penyaji lebih cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa dengan penetapan Itsbat Nikah, pemohon dapat mengajuakan ke KUA setempat untuk mendapatkan kutipan Akta Nikah. Namun masalah yang timbul adalah peristiwa perkawinan yang menjadi dasar pencatatan, karena ada perbedaan antara peristiwa perkawinan dengan peristiwa pencatatan. Itulah sebabnya kemudian Pegawai Pencatat Nikah melakukan Tajdid Nikah, dengan memperbaharui pernikahannya. Jika dilakukan pembaharuan nikah, bagaimana status anak yang dilahirkan sebelumnya? Hal tersebut akan menjadi permasalahan yang sangat penting untuk menetapkan setatus anak dalam pernikahan sah yang sebelumnya tidak pernah tercatat.

 

Terlepas dari kedua model implikasi masalahnya, pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah inilah, maka masing-masing suami isteri memiliki bukti autentik atas pernikahan sebagai perbuatan hukum yang mereka lakukan, sehingga hidup tenang dalam kehidupan masyarakat, dan dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing. Dengan demikian, Itsbat Nikah sebagai alas hukum dari pencatatan perkawinan, melahirkan kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak dan harata benda dalam perkawinan, tentu ini merupakan pandangan hakim terhadap kemaslahatn umat menuju perbaikan dan ketertiban.

 

Kepastian hukum model apa yang lahir dari Itsbat Nikah? Kepastian hukum sesungguhnya merupakan pernyataan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Jika konstatasi ini parameternya, maka kepastian hukum "Itsbat Nikah" terhadap suatu perkawinan, status harta bersama, masih terus menarik gairah untuk mempertanyakan dan membahasnya.

 

Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu dengan terpenuhinya rukun dan syarat serta tidak ada larangan perkawinan di antara mereka menurut agama tersebut, maka perkawinan tersebut sudah sah menurut agama dan menurut perUndang-Undangan di Indonesia (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Bila perkawinan tersebut tidak dicatat pada saat terjadinya perkawinan, maka bisa ditempuh melalui upaya pengesahan perkawinan tersebut yang kemudian muncul istilah "Itsbat Nikah". Bila perkawinan sudah dinyatakan sah melalui Itsbat Nikah, maka status perkawinan tersebut manjadi sudah sah secara hukum, seperti apabila suatu perkawinan sudah dinyatakan sah sejak awal yang tidak melalui Itsbat Nikah. Dengan demikian segala akibat hukum yang timbul dan melekat dengan perkawinan tersebut menjadi sah, sejak tanggal perkawinan tersebut dinyatakan sah (saat perkawinan dilangsungkan).

 

Dengan keluarnya Itsbat Nikah, status perkawinan tersebut sudah sah menurut agama dan resmi tercatat sesuai perUndang-Undangan yang berarti itu sudah dilengkapi dengan bukti hukum otentik adanya perkawinan tersebut. Dengan demikian sejak itulah perkawinan tersebut sudah mempunyai kepastian hukum, baik menurut hukum agama maupun hukum di Indonesia. Hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah ditetapkan sebagai suami isteri dalam Itsbat Nikah tersebut, sudah muncul hubungan hak dan kewajiban antara suami isteri sebagaimana diatur dalam Pasal 30 s.d Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 77 s.d Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

 

Dengan keluarnya Itsbat Nikah, anak yang lahir dalam perkawinan ( anak yang lahir dalam batas minimal kandungan setelah akad nikah) atau anak yang lahir akibat perkawinan (anak yang lahir dalam batas maksimal kandungan setelah perkawinan putus) yang sah atau dinyatakan sah melalui Itsbat Nikah, dengan sendirinya merupakan anak yang sah dari suami isteri yang perkawinannya telah disahkan tadi, sejak tanggal perkawinan sesuai dengan Itsbat Nikah tersebut.

 

Hubungan anak-anak tersebut dengan orang tuanya (suami isteri yang telah dinyatakan sah dengan Itsbat Nikah) memunculkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak sesuai perUndang-Undangan seperti diatur dalam Pasal 45 s.d Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 77 s.d 84 Kompilasi Hukum Islam.

 

Anak-anak yang lahir sebelum/kurang dari batas minimal kandungan atau anak-anak yang lahir setelah/lebih dari batas maksimal kandungan merupakan anak-anak yang tidak sah (anak luar kawin). Mereka hanya mempunyai hubungan perdata/hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

 

Anak-anak tersebut tidak mempunyai hubungan nasab/hubungan perdata dengan laki-laki yang menyebabkan kelahiran mereka. Setelah dikabulkannya itsbat nikah, implikasinya terhadap status perkawinan dimana perkawinan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum. Begitu pula anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut mendapat pengakuan Negara, dimana anak-anak tersebut berhak atas harta warisan dari bapaknya. Selain itu, harta yang diperoleh sejak berlangsungnya perkawinan merupakan harta bersama.

 

Dengan demikian pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan, persyaratan formil ini bersifat procedural dan administratif. Itsbat nikah punya implikasi memberikan jaminan lebih konkret secara hukum atas hak anak dan isteri dalam perkawinan tersebut dan juga apabila pasangan suami isteri tersebut bercerai. Atau dengan kata lain itsbat nikah sebagai dasar hukum dari pencatatan perkawinan yang melahirkan kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak serta harta benda dalam perkawinan.

 

 

 

BAB III

 

PENUTUP

 

KESIMPULAN

 

Dengan keluarnya Itsbat Nikah, status perkawinan tersebut sudah sah menurut agama dan resmi tercatat sesuai perUndang-Undangan yang berarti itu sudah dilengkapi dengan bukti hukum otentik adanya perkawinan tersebut. Dengan demikian sejak itulah perkawinan tersebut sudah mempunyai kepastian hukum, baik menurut hukum agama maupun hukum di Indonesia. Hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah ditetapkan sebagai suami isteri dalam Itsbat Nikah tersebut, sudah muncul hubungan hak dan kewajiban antara suami isteri untuk bertindak hukum selanjutnya begitu juga dengan keluarnya Itsbat Nikah, anak yang lahir dalam perkawinan atau anak yang lahir akibat perkawinan yang sah atau dinyatakan sah melalui Itsbat Nikah, dengan sendirinya merupakan anak yang sah dari suami isteri yang perkawinannya telah disahkan tadi, sejak tanggal perkawinan sesuai dengan Itsbat Nikah.

 

 

 

SARAN

 

            Pentingnya pencatatan dalam pernikahan merupakan syarat administrative yang diharuskan oleh negara terhadap masyarakat untuk terhindar dari hal-hal kekeliruan serta penyalahgunaan hak-hak yang mesti dilindungi sebagai warga negara, seperti hak setatus anak dalam kekeluargaan, hak pasca perceraian, hak kewarisan dan hak-hak lain yang lahir dengan adanya syarat pernikahan yang sah maka pemerintah mesti memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat akan pentingnya nikah tercatat.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. I, Bandung: CV. Mandar Maju, 2008.

 

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Cet.I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

 

Abdullah A. Gani, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, Jakarta : Intermasa, 1991.

 

Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008.

 

Endang Ali Ma'sum, Kepastian Hukum Itersebutat Nikah, Makalah disampaikan dalam Forum Diskusi Penelitian dilaksanakan oleh Balitbang Diklat Kumdil MA RI, di hotel Le Dian Serang, tanggal 15 Mai 2012.

 

Ibnu Al-Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwaqi'in, Juz VII , Bairut: Dar al-Fikr, 1397H/1977M.

 

Jalaluddin al-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazdo'ir, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, 1987.

 

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat MenurutHukum Tertulis Di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

 

Satjipto Raharjdo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Cet.I , Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

 

Sulaikin Lubis,Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia. Ed. 1 Cet 3,Jakarta : Kencana, 2008.

 

Suparman Usman, Kepastian Hukum Itersebutat Nikah terhadap status anak, yang di sampaikan dalam acara Penelitian dan Pengkajian Aspek Hukum Itersebutat Nikah, oleh Mahkamah Agung pada tanggal 14-16 Mei 2012.

 

Suparman Usman, Kepastian Hukum Itsbat Nikah terhadap status anak, yang di sampaikan dalam acara Penelitian dan Pengkajian Aspek Hukum Itersebutat Nikah, oleh Mahkamah Agung pada tanggal 14-16 Mei 2012.

 

Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Damsiq Syria, Daar Al-Fikri, 2005.

https://www.pa-cilegon.go.id/artikel/639-kepastian-hukum-itsbat-nikah-dan-status-anak-setelah-undang-undang-nomor-1-tahun-1974.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun