Munculnya ketentuan Itsbat Nikah juga berkaitan dengan masalah status pencatatan perkawinan. Ada dua pandangan mengenai masalah status pencatatan perkawinan tersebut :
Â
Pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan hanya merupakan persayaratan administratif, tidak merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, jadi pencatatan perkawinan hanya proses untuk mendapatkan suatu bukti, bahwa telah terjadi perkawinan yang dilakukan oleh seseorang.
Â
Pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan menjadi syarat sah perkawinan.
Â
Sahnya suatu perkawinan hanya didasarkan pada ketentuan agama yang dipeluk oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan, sebagaimana disebutkan Pasal 2 ayat (1) Undnag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif dan berada diluar unsur keabsahan perkawinan tersebut. Saat mulai sahnya suatu perkawinan adalah sesaat setelah terjadinya ijab qobul antara wali nikah dengan calon pengantin pria.[8]
Â
Argumentasi yang mengatakan bahwa pencatatan merupakan bagian dari sahnya perkawinan, terutama dengan alasan kepastian hukum tentang bukti adanya perkawinan tersebut. Dalam pandangan ini ayat (1) dan ayat (2) dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. lebih jauh alasan pandangan ini dihubungkan dengan manfaat kemaslahatan yang didapat dengan pencatatan tersebut, dengan mengacu kepada maslahat mursalah atau untuk menghindari akibat yang merugikan/tidak diinginkan (sad al dzari'ah). Ada juga pandangan yang meletakan pencatatan perkawinan sebagai ganti kehadiran saksi, sebagai salah satu rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu akad nikah.
Â
Kalau kita ingin pencatatan perakawinan merupaka bagian dari syarat sahnya perkawinan, maka hal itu harus dimunculkan dalam Undang-Undang, yaitu pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang merupakan gabungan dari ayat (1) dan ayat (2) Pasal 2 tersebut. Sehingga Pasal 2 menjadi berbunyi :"Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatat menurut peraturan perUndang-Undangan".