Â
Karena fungsi dan peran hakim untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat lantaran tidak lengakapnya peraturan perUndang-Undangan untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, maka dengan mengalaskan pada ajaran Cicero ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat disanalah ada hukum), maka kekosongan hukum pun dipandang tidak pernah ada, dengan reasoning setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptaka kaidah-kaidah hukum apabila hukum resmi tidak memadai atau tidak ada.[14]
Â
Selain bersifat legal, suatu peraturan juga bersifat sociological, empirical yang tak bisa dipisahkan secara mutlak. Dengan menggunakan pisau interpretasi, hakim tidak semata-mata membaca peraturan melainkan juga membaca kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sehingga keduanya dapat disatukan. Dari situlah akan timbul suatu kreatifitas, inovasi serta progresifisme yang melahirkan konstruksi hukum.[15]
Â
Pola pikir inilah yang mengarahkan Pengadilan Agama untuk dapat menerima perkara permohona itsbat nikah untuk keperluan Akta Kelahiran Anak yang belum memiliki meskipun berusia lebih dari satu tahun dengan merujuk pada Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan yang menyatakan anak itu anak orang tua yang bersangkutan. Dengan demikian itsbat nikah untuk keperluan membuat akta kelahiran anak merupakan sintesa penyimpangan hukum yang dibina atas dasar pengisian kekosongan hukum (rechsvacUndang-Undangm) karena selain tidak ada peraturan yang mengatur tentang Itsbat Nikah untuk keperluan membuat akta kelahiran anak, juga perkawinan secara syar'iyah tersebut dilaksanakan sesudah berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974, ini merupakan asas pemanfaatan bagi masyarakat yang mencari keadilan khusunya dalam itsbat nikah.
Â
Namun demikian, dalam mengambil suatu keputusan sikap hakim bersifat bebas dengan pertimbangan dan penafsiran peraturan perundangan demi kemaslahatan dan keadilan bagi masyarakat. Seperti ketentuan Pasal 6 Ayat (1) KHI bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan PPN, dan pada Ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode Argumentum a contra riro (mungkin tidak pas), dapat ditarik kesimpulam bahwa tidak mempunyai kekuatan hukum itu tidak berarti bahwa perkawinan tersebut tidak sah atau batal dmei hukum.
Â
Pemikiran ini didasari pada pemahaman bahwa yang menjadi patokan keabsahan suatu perkawinan itu adalah dilaksanakan berdasarkan hukum Agama (Islam) dan kepercayaannya itu. Belum ditemukan satu pasalpun yang menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan tidak sah atau batal demi hukum.
Â