Mohon tunggu...
Banyu Wijaya
Banyu Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

#nusantaraindonesiatrulyuniversa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Arya Wirajaya, Sang Antimurtad

26 September 2012   09:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:39 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Girigori, 18 Ramadhan 1881 Hijriyah

03.59 WIB

"Hahh... Allohu Akbar. Hahhh...! Allohu Akbar! Hahh....!! Allohu Akbar!! Hahh.....!!! Allohu Akbar!!! Hahh........!!!! Allohu Akbar!!!!"

Seorang kakek renta berumur 80-an tahun mendesah diiringi dengan seruan Allohu Akbar itu tanpa henti kian lama kian berkurang frekuensinya. Tetapi desahnya kian keras.

Huk... huhuk....huhuk....

Suara burung hantu membuat suasana menakutkan. Sementara suasana Kampung Girigori berselimutkan kabut nan dingin merasuk ke sumsum tulang. Sosok tua renta itu ternyata Arya Wirajaya. Kakek renta itu membawa tongkat, karena jalannya sudah tertatih-tatih. Ia berpakaian ala pendekar pencak silat. Ia berbaju putih dan bercelana hitam setinggi betis. Kepalanya diikat dengan kain merah laiknya pendekar Barry Prima. Ia juga membawa keris kecil bernama Kalimasada sepanjang 33 cm. Keris itu dibungkus kain dan diikatkan di pinggangnya.

Ia menuju ke sebuah tempat. Sering kali ia menengok ke belakang. Dan.....

Brukkk....

Tubuh renta itu pun ambruk tepat di depan pos ronda paling ujung Kampung Girigori. Ia memang baru menempuh perjalanan yang sangat jauh, dari Kutabangun, sejauh 111 kilometer. Tanpa seorang pun menemaninya.

"Innalillahi..... hahh......! Allohu Akbar! hahh.....!! Allohu Akbar!! hahh.......!!! Allohu Akbar!!!"

Spontan mulutnya berucap innalillahi. Desah nafas dan ucapan Alloh Akbar kian jarang, tetapi intensitasnya kian meninggi. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berusaha mendudukkan tubuhnya dan bersandar di dinding pos ronda yang ber alas tikar pandan wangi. Kemudian desah nafasnya nyaris berhenti. Tetapi ia tanpa henti melafalkan Allohu Akbar.

03.59.30 WIB

Srettt...srettt....

Tiba-tiba sebuah sosok hitam berkelebat di depannya. Sosok berjubah hitam yang sangat mirip dementor itu meliuk-liuk bak penari Tari Gambyong sehingga tak menabrak pohon nangka di samping pos ronda. Gerakan tubuhnya begitu lembut, begitu gemulai, tanpa meninggalkan suara. Sunyi senyap. Tetapi menebarkan hawa dingin yang serasa membetotot sumsung tulang.

"Allohu Akbar!!! Allohu Akbar!!!! Allohu Akbar!!!!"

Arya Wirajaya tak henti-hentinya berucap Allohu Akbar, yang artinya Alloh Maha Besar. Pandangan matanya menerawang sangat jauh sekali bak segaris lurus cahaya yang sangat cemerlang. Kecepatan cahaya yang sangat cepat sekali sehingga tak butuh waktu lama untuk sampai pada tujuannya. Pandangannya menabrak batu hitam di Ka'bah, tak bisa lagi menembus dindingnya. Lima detik kemudian, kedua matanya melihat sosok dirinya yang sedang bersujud di sebuah ruang bercahaya di dalam lubang batu hitam itu.

"Astaghfirulloh, betapa kecil aku di hadapan-Mu, ya Alloh, Rabbku Yang Maha Besar. Astaghfirulloh, betapa angkuhnya aku selama ini".

04.00 WIB

Srettt....srettt....srettt..... srettttttt......

Sosok berjubah hitam berkelebat lagi. Kali ini ia tidak sendiri. Wah wah... ia memimpin 212 sosok berjubah hitam duplikasinya yang berbentuk formasi pesawat F-16. Suasana di sekitarnya langsung terasa sangat-sangat dingin hingga menusuk bagian tulang yang terdalam.

“Pantas saja hawanya sangat dingin. Ternyata ada si pelahap maut itu”, batin kakek warga pribumi Girigori ini.

Sebanyak 213 dementor masing-masing setinggi 23 meter dan bertangan sepanjang 18 meter itu mendekat pada Arya Wirajaya yang tak henti-hentinya berucap, "Allohu Akbar!!! Allohu Akbar!!!! Allohu Akbar!!!!!"

"Hai manusia sombong, manusia pongah, bersujudlah di kakiku. Cepat.....!!! Cepat.....!!!"

Perintah dementor paling depan, mungkin saja ketuanya, sangat mirip Lord Voldemort itu menggelegar begitu kerasnya hingga merobohkan pos ronda yang memang sudah rapuh termakan usia.

Brakkk......

Pos ronda itu ambruk, rebah ke tanah, hanya tersisa saka tunggal (tiang utama). Getaran suara dari robohnya pos ronda membuat Arya Wirajaya mengalihkan pandangan dari tontonan film mengenai dirinya nun jauh di Ka'bah, Makkah sana. Pandangannya menabrak ketua dementor yang sudah ancang-ancang merengkuh tubuhnya dengan kedua tangan panjangnya.

Arya Wirajaya secepat yang ia bisa berkelit menghindari tangkapan ketua bayangan itu. Ketua dementor hanya menangkap angin. Arya Wirajaya memang dikenal sebagai pendekar sakti mandraguna yang kemampuannya melebihi ayahandanya, Rakarya Samudera alias Jaka Tetulung. Karena gagal menangkap Arya Wirajaya, ketua dementor sangat marah sekali, dan mengeluarkan teriakan.

"Bedebahhh..... jangan coba-coba melawanku,  hai manusia angkuh!!!. Cepat bersujud, cepat, cepat!!!!!"

Secepat kilat pula Arya Wirajaya mengumpulkan keberaniannya. Mulutnya tak henti-hentinya berucap, Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar!!!

Tiga detik kemudian, tindakannya membuahkan hasil.

Krekkkk.......!!

Ia merasakan semua anggota tubuhnya membengkak sebagaimana Hulk sehingga tubuhnya sebesar Mahapatih Majapahit Gadjahmada. Tanpa menundukkan tubuhnya, kemudian ia berkata dengan ramah.

"Hai Dementor. Saya, Arya Wirajaya, pemilik Kampung Girigori ini. Maaf saya belum mengenal Anda. Siapakah Anda?"

Sosok berjubah hitam yang dipanggil dementor oleh Arya Wirajaya menyeringai lirih sembari membuka jubah yang menutupi matanya dengan lirih pula, suasana jadi bertambah sunyi senyap. Seketika itu pula Arya Wirajaya melihat mata kanan dementor yang ditutupi dengan bantalan mata berwarna merah menyala. Mata itu begitu menyilaukan hingga membuat Arya Wirajaya menutupi matanya dengan jari-jemarinya.

Ternyata, dementor hanya melihat menggunakan mata kirinya. Mata itu bak mata Krishna, di tengahnya berwarna hitam sangat cerah dan halus, di pinggirnya tergambar ribuan bintang, bulan, dan planet seperti sistem tata surya Galaksi Bimasakti.

Saat Arya Wirajaya menatap mata Milkyway itu, serasa ia tersedot ke dalamnya. Sekejap, ia melihat dirinya bersama istrinya, Rara Cahaya, melayang-layang  naik burung garuda emas menuju cincin terluar planet Saturnus sambil tertawa riang gembira.

"Woww... indahnya.... wuhuy......!!!!!"

Namun secepat kilat pula Arya Wirajaya sadar kemudian mengalihkan pandangannya pada jubah dementor yang sudah menutup kedua matanya. Seketika pula Rara Cahaya dan garuda emas menghilang. Raib entah kemana. Ternyata, itu hanyalah ilusi semata.

Suasana kembali sunyi senyap. Melihat ilusinya gagal total memperdaya Arya Wirajaya, sedetik kemudian, sekoyong-konyong.....

"Okay, kalau itu maumu, hai manusia angkuh. Akulah Blood Vorlemot, pemimpin para dementor di seluruh jagad raya ini. Cepat bersujudlah, cepat.....!!!!! Sebelum kesabaran saya habis, cepat.....!!!!!".

Gelegar suara Bllod Vorlemot tanpa ampun meruntuhkan pohon-pohon akasia, asam, kelapa, pisang, jati, waru, dan pohon-pohon lain di kampung Girigori.

Brukk... !! brukkk....!!! brukk..... !!! bum... !!! bum....!!! bum.....!!!!!

Nyaris seluruh pohon kecil dan besar yang ada di Kampung Girigori roboh bertumbangan. Hanya pohon nangka yang masih tetap tegak berdiri.

Arya Wirajaya teringat betul kalau tiang utama pos ronda yang kokoh itu dibuatnya bersama warga Kampung Girigori dari kayu pohon nangka. Pohon nangka meskipun sudah sangat jarang ditemui di Girigori, tetapi merupakan pohon yang dipercaya sangat bermanfaat bagi kehidupan penduduk Girigori. Selain kayunya bisa untuk kayu bakar, membuat bagian-bagian rumah, juga daunnya untuk makanan ternak kambing dan hiasan dolanan/permainan mahkota-mahkotaan bak raja-raja Jawa. Selain itu, buahnya pun sangat enak dan manis.

Sedangkan rumah-rumah warga sudah lama dipindahkan ke kampung sebelah, yakni Kampung Girinata sejak setahun yang lalu, termasuk masjid dan langgar (surau, mushola). Sehingga yang tersisa hanyalah pos ronda dan pekarangan. Bedhol kampung dilakukan karena adanya ramalan sesepuh dari negeri Walandia bernama Ki Gedhe Hanacaraka, yakni akan datangnya para pelahap maut dementor.

Kita kembali ke kisah Arya Wirajaya yang berusaha melawan para dementor. Karena hanya Arya Wirajayalah yang berani melawan para dementor sekarang ini. Walaupun jika dihitung-hitung  ramalan Ki Gedhe Hanacaraka ini tidak tepat, karena sekarang ini baru menginjak hari ke-286 di tahun 1881 Hijriyah. Namun tak apalah, namanya saja ramalan, tentu tidaklah benar-benar tepat.

Sebanyak 212 dementor sudah bersiap siaga menunggu perintah boss Blood Vorlemot. Tangan dan kakinya bergetar menahan amarah besar. Tubuhnya berguncang hebat menahan luapan amarah besarnya. Sehingga tanah bergetar karena membuat gempa dangkal 9,3 SR di sekitarnya.

Krakkkk....!! krakkkk.... !!! krakkk.... !!! krakkk.....!!!!

Meskipun tanah bergetar sedemkian kuat, tetapi tiang utama pos ronda itu tetap tegak berdiri. Hanya sedikit bergoyang sehingga membuatnya miring tak lebih dari 0,1 derajat.

Selain itu, mulut para dementor mengeluarkan suara-suara yang sangat berisik, sekeras raungan suara pesawat F-16 yang hendak lepas landas.

Wuinnnngggg....!!!! wuinnnngggg...... !!!! wuinnnngggg.......!!!!!

Andai bukan pendekar sakti mandraguna, gendang telinga Arya Wirajaya sudah pecah dan jebol karena kebisingan suara itu. Andai bukan pendekar sakti mandraguna, tubuh Arya Wirajaya sudah terjatuh ke tanah dan terluka parah.

Melihat gelagat yang sangat-sangat berbahaya itu, Arya Wirajaya bergerak ke posisi bersemedi. Kaki kanan berada di atas kaki kiri. Tangan kanan dan kiri masing-masing berada di atas paha kanan dan kiri. Ibu jari dan jari telunjuk membentuk huruf 0. Nafasnya di atur sedemikian rupa sehingga sangat harmonis. Matanya terpejam, tetapi dalam kewaspadaan yang sangat tinggi.

Kemudian Arya Wirajaya secepat kilat memutar otak. Kembali ia menerawang hingga jauh ke Ka'bah di Makkah. Ia kembali melihat dirinya masih bersujud di sebuah ruangan yang bercahaya begitu terang benderang, cahayanya meneduhkan, cahayanya lembut membuatnya sangat nyaman sekali.

Lima detik kemudian sosoknya bersimpuh sembari berucap.

"Allohu Akbar! Allohu Akbar!! Allohu Akbar!!! Allohu Akbar!!!! Allohu Akbar!!!!!".

04.01 WIB

Dalam posisi bersemedi itu, tidak sedikit pun mengubah formasi semedinya, Arya Wirajaya mendapatkan suntikan kekuatan sangat hebat, kemudian meninggalkan film mengenai dirinya di Ka'bah sana, kemudian ia berucap.

"Saya, Arya Wirajaya, tak sudi bersujud kepada Anda, Vorlemot! Hanya kepada Allohu Akbar, saya bersujud menyembah-Nya!!! Allohu Akbar!!!!!"

Suara Arya Wirajaya membuat 23 dementor terdepan dalam formasi pesawat F-16 terjungkal. Mulut mereka mengeluarkan darah hitam pekat. Mereka memegangi dadanya. Tetapi karena sudah disuntik energi hitam keabadian oleh Blood Vorlemot, mereka secepat kilat berdiri dengan segar-bugar, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aksi Arya Wirajaya itu tentu saja memantik kemarahan Blood Vorlemot.

"Bedebahh!!!!! Beraninya kamu menantang perintahku!!!!!! Rasakan akibatnya!!!!!!"

Belum habis resonansi suara Blood Vorlemot, sebanyak 212 bola api jelmaan para dementor sebesar gawang sepakbola mendatangi Arya Wirajaya yang masih dalam posisi duduk bersemedi.

Mengetahui marabahaya yang sangat besar itu, secepat kilat Arya Wirajaya berdiri memasang kuda-kuda jurus “Paku Bumi Merapi". Tangannya bergerak membentuk bola dan mencengkeramnya sangat kuat seakan-akan ia memegang bola kecil Golden Snitch bersayap dua yang dipakai pada permainan Quidditch di film Harry Potter yang sangat liar gerakannya.

Segerombolan 212 bola api bergerak sangat cepat mendatangi Arya Wirajaya. Tepat pada jarak  0,9 meter darinya, Arya Wirajaya membungkus seluruh tubuhnya dengan ilmu kanuragan bernama “Benteng Kawijayan” yang berupa selubung/selaput putih transparan sebagai benteng pertahanan diri. Selaput putih itu sangat mirip  dengan selaput putih telur yang membungkus putih telur. Selaput itu sangat elastis dan seperti berair.

Serangan 212 bola api yang dilancarkan dementor-dementor itu tak mampu menembus selaput elastis yang membentengi Arya Wirajaya itu. Persentuhan bola api dengan selaput tipis itu tak hanya membuat bola api jadi padam, tetapi kemudian energi selaput tipis itu meningkatkan energi bola api yang padam jadi bara yang sangat panas, mendekati 1000 derajat Celcius.

Dan, kemudian energi baliknya berkecepatan cahaya, 300 km per detik, sekonyong-konyong menyerang 212 dementor sehingga mengagetkan mereka yang membuatnya tak sempat berkelit. Akibatnya, bola bara itu menabrak tepat di ulu hati para dementor itu sehingga menimbulkan lubang yang tembus ke bagian belakang. Sedetik kemudian tubuh-tubuh dementor itu hangus terbakar jadi debu, lantas beterbangan ke langit yang tinggi menuju tempat abadinya di neraka terdalam, kerak neraka.

04.01.25 WIB

Seiring dengan menyebarnya ajian “Benteng Kawijayan” Blood Vorlemot tak bisa lagi melayang-layang di udara. Sekarang pemimpin pelahap maut itu menjejakkan kakinya ke tanah. Ia berusaha sekuat kemampuannya untuk tidak menginjak tanah, tetapi usahanya menemui kegagalan.

“Giilaaaaa... itu Arya Wirajaya. Ajian apa yang dia miliki????” tanya batinnya meronta.

Blood Vorlemot sebenarnya takjub sekaligus bergidik gentar melihat pemandangan “anak buah”nya dipecundangi Arya Wirajaya seperti itu. Mata kanannya yang sudah buta mengeluarkan setitik air mata bervolume 0,001 ml. Tetapi energi kepongahannya telah menghanguskan air mata itu seketika nyaris menyentuh penutup mata berwarna merahnya. Bahkan adanya reaksi air mata yang hangus terbakar itu justru malah kemudian membuat energi kediriannya menutupi semua saluran energi kebenaran yang sebenarnya telah dicangkokkan oleh Tuhan kepadanya ketika ia masih dalam kandungan ibundanya. Sehingga yang tampak hanyalah kemarahannya meluap-luap, tak terkontrol, sangat brutal.

"Bedebahhh!!!!! Matilah kau, Arya Wirajaya anak sombong!!!!! Matilah kau....!!!!!"

Umpatannya yang begitu keras dan tanpa henti itu justru memantik bara dalam kediriannya yang dalam hitungan detik membuat seluruh tubuhnya jadi bola api yang menyala-nyala sangat besar melebihi luasnya lapangan sepakbola.

Wuinnnngggg....!!!! wuinnnngggg...... !!!! wuinnnngggg.......!!!!!

Bola api bermoncong Raptor itu mengeluarkan suara yang sangat berisik melebihi kekuatan suara 98 pesawat F-16 yang siap landing di landas pacu bandara.

Seketika itu pula Kampung Girigori jadi gurun tandus, tak ada lagi hewan dan tumbuhan, bahkan nyaris nir angin. Karena angin yang ada pun hanya berkecepatan 0,001 mm per detik. Itu semua karena semua air dan angin yang ada di perkampungan Girigori sudah tersedot habis oleh energi panas bola api Blood Vorlemot.

"Allohu Akbar!!!!! Allohu Akbar!!!!! Allohu Akbar!!!!! Allohu Akbar!!!!! Allohu Akbar!!!!!"

Arya Wirajaya melafalkan Allohu Akbar tanpa henti. Ia tak ingin keluarga dan saudara-saudaranya di kampung sebelah, Girinata, yang hanya berjarak 2,5 kilometer dari tempat pertarungan terimbas oleh kemarahan Blood Vorlemot yang menjadi-jadi.

Oleh karenanya, ia segera membuat barrier sebagai benteng untuk Kampung Girinata dan di sekitarnya sejauh dari jangkauan segala amukan marabahaya yang dilancarkan Blood Vorlemot. Benteng kokoh itu mirip selaput putih telur, tetapi karena tahu bahwa Blood Vorlemot sangat sakti, maka Arya Wirajaya meningkatkan kekuatan ilmu “Benteng Kawijayan”nya itu sebanyak 99 kali dari pada kekuatan saat menghadapi para dementor. Dengan begitu, benteng itu jadi setebal putih telur. Sedangkan perkampungan Girinata dan sekitarnya seperti halnya kuning telur yang berada di dalam yang terlindungi oleh putih telur.

04.02 WIB

Kemudian Arya Wirajaya memusatkan energi kekuatan "Allohu Akbar" untuk membentengi dirinya dari amukan Blood Vorlemot sekaligus untuk menghancurkan Blood Vorlemot sehancur-hancurnya agar tak berbekas lagi. Oleh karenanya, sama seperti sebelumnya, tangan Arya Wirajaya bergerak membentuk bola seakan-akan mencengkeram sangat kuat bola Golden Snitch bersayap dua yang bergerak 99 kali lebih liar dari pada sebelumnya.

Haww.....!!!!! Wuinngggg.....!!!!! Hawww.....!!!!!! Wuinngggg.....!!!!! Hawww.....!!!!!! Wuinngggg.....!!!!!

Bola api Raptor ajian Blood Vorlemot yang meraung-raung semakin mendekatinya. Sedetik kemudian Arya Wirajaya duduk dalam posisi bersemedi, tetapi tubuhnya mengambang setinggi 1,1 cm seperti batu mengambang di Palestina sana. Itulah ajian "Layangsila".

Bola api Vorlemot terus mendekati Arya Wirajaya yang tak berhenti melafalkan Allohu Akbar. Jarak mereka tak lebih dari 0,9 meter. Bola api Raptor Vorlemot berlari sangat cepat berkecepatan 289 km per detik.

Sedangkan Arya Wirajaya terus melafalkan Allohu Akbar. Setiap selesai 33 kali Arya Wirajaya melafalkan Allohu Akbar, tubuhnya naik 0,1 mm. Ketika itu pula Arya Wirajaya teringat dirinya berada di sebuah rumah Joglo bersama ayah dan ibunya tercinta, Rakaryan Samudera dan Dara Kinasih di kawasan perkampungan Girigori nan ijo royo-royo. Bola api Vorlemot semakin membesar dan semakin dekat sejarak 0,8 meter dari Arya Wirajaya.

Pada ketinggian berikutnya, 1,12 cm, Arya Wirajaya teringat dirinya berada di sebuah rumah berkubah seperti kubah masjid bersama kakak-kakaknya, yaitu Jaka Tirta, Jaka Pamulang, Jaka Panengah, dan Woro Kuning. Bola api Vorlemot semakin membesar dan semakin dekat sejarak 0,7 meter dari Arya Wirajaya. Pada ketinggian selanjutnya, 1,13 cm, Arya Wirajaya teringat dirinya berada di sebuah lapangan sepakbola di sekolahnya bersama sahabat-sahabatnya, yaitu Badrun, Samad, Rangga, Sangga, Mamad, dan Nararya, dan sahabat-sahabat yang lain. Bola api Vorlemot semakin membesar dan semakin dekat sejarak 0,5 meter dari Arya Wirajaya.

Sedetik kemudian, selubung “selaput telur” melindungi seluruh tubuh Arya Wirajaya. Ia terus-menerus tiada henti mengingat nostalgia bersama ayah-ibu, saudara, dan sahabat-sahabat tercintanya. Sehingga......

"Hahahaha.......hahahaha........ hahaha......."

Meledaklah tawa Arya Wirajaya, tak kuasa ia membendung perasaan suka citanya bertemu ayah-ibu, saudara, dan sahabat-sahabat tercintanya. Ia masih tersenyum: menang.

Sedetik kemudian, ia memusatkan konsentrasinya pada bola api Vorlemot yang semakin mendekatinya. Hawa panas bola api meninggi hingga 1111 derajat Celcius dan berlipat ganda jadi sebesar tiga kali lapangan sepakbola masuk ke dalam selubungnya. Sekujur tubuh Arya Wirajaya bercucuran keringat. Tubuhnya lunglai, tetapi selubung “Benteng Kawijayan” masih melindunginya. Kemudian tubuhnya turun, nyaris menyentuh tanah, hanya tinggal 0,9 cm.

“Matilah kau, manusia angkuh. Ayolah cepat bersujud menyembahku, Arya Wirajaya. Cepat......!!!!”

Vorlemot menyumpahi Arya Wirajaya. Ia yang sudah jadi bola api Raptor yakin akan kemenangannya. Bola api itu mengurung selubung yang melindungi Arya Wirajaya. Sebanyak 213 lidah apinya menjilat-jilat selubung “Benteng Kawijayan”. Sehingga delapan titik api sudah menempel pada delapan bagian selubung “Benteng Kawijayan”. Tak lama lagi 213 titik api akan membakar “Benteng Kawijayan”.

Namun, Alloh Yang Maha Kuasa tak sudi bahwa kejahatan memenangkan pertarungan ini.

04.03 WIB

Tubuh Arya Wirajaya sangat lemas lunglai, tetapi dengan sisa-sisa keyakinan akan kemenangan Rabbnya, tiba-tiba ia mengucapkan.

"Allohu Akbar!!!!! Allohu Akbar!!!!! Allohu Akbar!!!!!"

Lantas ia pun teringat akan keris “Kalimasada” pemberian ayahandanya, Rakaryan Samudera. Kemudian sesegera mungkin ia mengambil keris “Kalimasada”, dan mengucapkan.

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Alloh dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan (rosul) Alloh”.

Pyarrrrr......!!!!!!! Blarrrrrr......!!!!!!!!! Brakkk..................!!!!!

Seketika itu pula bola api Vorlemot ambyar, hancur lebur, sebelum mampu menyentuh tubuh Arya Wirajaya.

"Alhamdulillah.... Alhamdulillah.... Allohu Akbar..... Allohu Akbar......"

Arya Wirajaya yang melafalkan "Segala Puji bagi Alloh" dan "Alloh Maha Besar" dengan lirih, masih sempat melihat sosok berjubah hitam Blood Vorlemot berkelebat meninggalkan area pertarungan. Arya Wirajaya pun kemudian tersungkur ke tanah, sangat lemas. Baju pencak silatnya compang-camping. Kedua lengan bajunya robek. Celananya robek pula di bagian paha. Mulutnya mengeluarkan darah hitam kental. Dadanya lebam memerah kehitaman.

Hawa dingin di Kampung Girigori mendadak berubah jadi agak hangat, tidak dingin seperti sebelum kedatangan para dementor itu.

Girigori, 18 Ramadhan 1409 Hijriyah

04.25 WIB

Allohu Akbar Allohu Akbar . Allohu Akbar Allohu Akbar

Terdengar kumandang suara adzan Shubuh di sebuah langgar (surau, mushola) Al-Ikhlas di Kampung Girigori. Arya Wirajaya terbangun.

Kemudian ia meraba-raba dadanya, tak terasa sakit sedikit pun. Ia bangun dari tempat tidur, lantas bercermin. Ia melihat dirinya segar-bugar. Tak ada tanda-tanda sedikit pun ia habis berkelahi. Ia merogoh keris “Kalimasada” di pinggangnya.

“Kok tak ada, di mana kerisku. Kok aku masih anak kecil????”

Di tengah kebingungannya, Dara Kinasih memanggilnya.

Thole, Arya. Bangun Anakku sayang. Ambil wudhu, kemudian sembahyang di langgar bersama ayahmu, ya..” rayu ibunya.

Sleman, 26 September 2012

Bersambung.....

Baca juga: http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/08/16/serial-arya-wirajaya/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun