Sedetik kemudian, ia memusatkan konsentrasinya pada bola api Vorlemot yang semakin mendekatinya. Hawa panas bola api meninggi hingga 1111 derajat Celcius dan berlipat ganda jadi sebesar tiga kali lapangan sepakbola masuk ke dalam selubungnya. Sekujur tubuh Arya Wirajaya bercucuran keringat. Tubuhnya lunglai, tetapi selubung “Benteng Kawijayan” masih melindunginya. Kemudian tubuhnya turun, nyaris menyentuh tanah, hanya tinggal 0,9 cm.
“Matilah kau, manusia angkuh. Ayolah cepat bersujud menyembahku, Arya Wirajaya. Cepat......!!!!”
Vorlemot menyumpahi Arya Wirajaya. Ia yang sudah jadi bola api Raptor yakin akan kemenangannya. Bola api itu mengurung selubung yang melindungi Arya Wirajaya. Sebanyak 213 lidah apinya menjilat-jilat selubung “Benteng Kawijayan”. Sehingga delapan titik api sudah menempel pada delapan bagian selubung “Benteng Kawijayan”. Tak lama lagi 213 titik api akan membakar “Benteng Kawijayan”.
Namun, Alloh Yang Maha Kuasa tak sudi bahwa kejahatan memenangkan pertarungan ini.
04.03 WIB
Tubuh Arya Wirajaya sangat lemas lunglai, tetapi dengan sisa-sisa keyakinan akan kemenangan Rabbnya, tiba-tiba ia mengucapkan.
"Allohu Akbar!!!!! Allohu Akbar!!!!! Allohu Akbar!!!!!"
Lantas ia pun teringat akan keris “Kalimasada” pemberian ayahandanya, Rakaryan Samudera. Kemudian sesegera mungkin ia mengambil keris “Kalimasada”, dan mengucapkan.
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Alloh dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan (rosul) Alloh”.
Pyarrrrr......!!!!!!! Blarrrrrr......!!!!!!!!! Brakkk..................!!!!!
Seketika itu pula bola api Vorlemot ambyar, hancur lebur, sebelum mampu menyentuh tubuh Arya Wirajaya.
"Alhamdulillah.... Alhamdulillah.... Allohu Akbar..... Allohu Akbar......"
Arya Wirajaya yang melafalkan "Segala Puji bagi Alloh" dan "Alloh Maha Besar" dengan lirih, masih sempat melihat sosok berjubah hitam Blood Vorlemot berkelebat meninggalkan area pertarungan. Arya Wirajaya pun kemudian tersungkur ke tanah, sangat lemas. Baju pencak silatnya compang-camping. Kedua lengan bajunya robek. Celananya robek pula di bagian paha. Mulutnya mengeluarkan darah hitam kental. Dadanya lebam memerah kehitaman.
Hawa dingin di Kampung Girigori mendadak berubah jadi agak hangat, tidak dingin seperti sebelum kedatangan para dementor itu.
Girigori, 18 Ramadhan 1409 Hijriyah
04.25 WIB
Allohu Akbar Allohu Akbar . Allohu Akbar Allohu Akbar
Terdengar kumandang suara adzan Shubuh di sebuah langgar (surau, mushola) Al-Ikhlas di Kampung Girigori. Arya Wirajaya terbangun.
Kemudian ia meraba-raba dadanya, tak terasa sakit sedikit pun. Ia bangun dari tempat tidur, lantas bercermin. Ia melihat dirinya segar-bugar. Tak ada tanda-tanda sedikit pun ia habis berkelahi. Ia merogoh keris “Kalimasada” di pinggangnya.
“Kok tak ada, di mana kerisku. Kok aku masih anak kecil????”
Di tengah kebingungannya, Dara Kinasih memanggilnya.
“Thole, Arya. Bangun Anakku sayang. Ambil wudhu, kemudian sembahyang di langgar bersama ayahmu, ya..” rayu ibunya.
Sleman, 26 September 2012
Bersambung.....
Baca juga: http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/08/16/serial-arya-wirajaya/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H